Lavrov: AS-Inggris Ingin Rusia Berperang dengan Eropa
loading...
A
A
A
MOSKOW - Amerika Serikat (AS) dan Inggris ingin meningkatkan konflik Rusia-Ukraina menjadi konfrontasi yang lebih besar antara Moskow dan Eropa . Hal itu diungkapkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam sebuah wawancara dengan Russia Today dan Sputnik.
“Rekan-rekan AS dan Inggris kami…dengan dukungan dari Jerman, Polandia, dan negara-negara Baltik, sangat ingin menjadikan perang ini perang nyata, mengadu Rusia melawan negara-negara Eropa,” kata Lavrov, berbicara kepada Pemimpin Redaksi Russia Today Margarita Simonyan.
Menurut Lavrov, pemerintah Barat secara harfiah menahan Ukraina dari langkah konstruktif apa pun menuju penyelesaian damai.
"Mereka tidak hanya membanjiri negara (Ukraina) dengan senjata, tetapi juga memaksa Ukraina untuk menggunakannya dengan lebih berani," tambahnya seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (20/7/2022).
Rusia meluncurkan operasi militernya ke negara tetangganya itu pada akhir Februari. Banyak negara, termasuk anggota NATO, memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Moskow dan telah memasok senjata berat ke Kiev. Pengiriman terbaru termasuk peluncur roket ganda M142 HIMARS buatan AS dan howitzer M777.
Presiden AS Joe Biden pekan lalu mengatakan bahwa Rusia harus mengalami "kegagalan strategis" di Ukraina dan berjanji akan lebih banyak mendukung Kiev.
Lavrov mengklaim bahwa AS dan Inggris "diuntungkan" dari konflik antara Rusia dan Eropa karena ekonomi negara-negara Uni Eropa menanggung beban sanksi. Dia menambahkan bahwa AS telah bertindak “tidak bertanggung jawab” dengan memicu ketegangan dengan Rusia.
"Saya pikir mereka masih belum menyadari bahwa mereka memainkan permainan yang sangat berbahaya. Tetapi banyak orang di Eropa mulai memahami itu," ujar Lavrov.
Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari, dengan alasan kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberi wilayah Donetsk dan Lugansk status khusus di dalam negara Ukraina. Protokol, yang ditengahi oleh Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014.
Mantan Presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui bahwa tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan “menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.”
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui republik Donbass sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun. Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan.
“Rekan-rekan AS dan Inggris kami…dengan dukungan dari Jerman, Polandia, dan negara-negara Baltik, sangat ingin menjadikan perang ini perang nyata, mengadu Rusia melawan negara-negara Eropa,” kata Lavrov, berbicara kepada Pemimpin Redaksi Russia Today Margarita Simonyan.
Menurut Lavrov, pemerintah Barat secara harfiah menahan Ukraina dari langkah konstruktif apa pun menuju penyelesaian damai.
"Mereka tidak hanya membanjiri negara (Ukraina) dengan senjata, tetapi juga memaksa Ukraina untuk menggunakannya dengan lebih berani," tambahnya seperti dikutip dari Russia Today, Rabu (20/7/2022).
Rusia meluncurkan operasi militernya ke negara tetangganya itu pada akhir Februari. Banyak negara, termasuk anggota NATO, memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Moskow dan telah memasok senjata berat ke Kiev. Pengiriman terbaru termasuk peluncur roket ganda M142 HIMARS buatan AS dan howitzer M777.
Presiden AS Joe Biden pekan lalu mengatakan bahwa Rusia harus mengalami "kegagalan strategis" di Ukraina dan berjanji akan lebih banyak mendukung Kiev.
Lavrov mengklaim bahwa AS dan Inggris "diuntungkan" dari konflik antara Rusia dan Eropa karena ekonomi negara-negara Uni Eropa menanggung beban sanksi. Dia menambahkan bahwa AS telah bertindak “tidak bertanggung jawab” dengan memicu ketegangan dengan Rusia.
"Saya pikir mereka masih belum menyadari bahwa mereka memainkan permainan yang sangat berbahaya. Tetapi banyak orang di Eropa mulai memahami itu," ujar Lavrov.
Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari, dengan alasan kegagalan Kiev untuk mengimplementasikan perjanjian Minsk, yang dirancang untuk memberi wilayah Donetsk dan Lugansk status khusus di dalam negara Ukraina. Protokol, yang ditengahi oleh Jerman dan Prancis, pertama kali ditandatangani pada tahun 2014.
Mantan Presiden Ukraina Pyotr Poroshenko sejak itu mengakui bahwa tujuan utama Kiev adalah menggunakan gencatan senjata untuk mengulur waktu dan “menciptakan angkatan bersenjata yang kuat.”
Pada Februari 2022, Kremlin mengakui republik Donbass sebagai negara merdeka dan menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer Barat mana pun. Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan.
(ian)