Vonis Hukuman Mati Hancurkan Hati Keluarga Tentara Asal Inggris

Minggu, 12 Juni 2022 - 09:14 WIB
loading...
Vonis Hukuman Mati Hancurkan...
Keluarga tentara asal Inggris Shaun Pinner menuntut ia diperlakukan sebagai tawanan perang. Foto/The Guardian
A A A
LONDON - Keluarga pria asal Inggris yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan Donetsk di Ukraina , Shaun Pinner, mengatakan mereka hancur atas putusan tersebut. Mereka menuntut agar Shaun tersebut diberikan semua hak sebagai tawanan perang menurut Konvensi Jenewa.

"Pertama, seluruh keluarga kami hancur dan sedih atas hasil pertunjukan sidang ilegal oleh apa yang disebut Republik Rakyat Donetsk (DPR)," kata keluarga Shaun Pinner dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kantor Luar Negeri Inggris.

“Sebagai penduduk Ukraina selama lebih dari 4 tahun dan dikontrak melayani Marinir di Brigade ke-36, yang sangat ia banggakan, Shaun harus diberikan semua hak tawanan perang menurut Konvensi Jenewa dan termasuk perwakilan hukum independen penuh,” sambung pernyataan itu.

“Kami sangat berharap semua pihak akan segera bekerja sama untuk memastikan pembebasan atau pertukaran Shaun dengan aman. Keluarga kami termasuk putranya dan istri asal Ukraina, sangat mencintai dan merindukannya dan hati kami tertuju pada semua keluarga yang terlibat dalam situasi yang mengerikan ini,” tambah pernyataan keluarga itu seperti dilansir dari CNN, Minggu (12/6/2022).



Pinner dijatuhi hukuman mati pada hari Kamis bersama rekan senegaranya Aiden Aslin dan warga negara Maroko Brahim Saadoune, setelah mereka dituduh sebagai "tentara bayaran" untuk Ukraina, menurut outlet media pemerintah Rusia RIA Novosti.

Pihak berwenang DPR mengatakan bahwa ketiga pria itu adalah pejuang asing yang telah ditangkap oleh pasukan Rusia di kota Mariupol, Ukraina, pada bulan April. RIA Novosti mengatakan bahwa Pinner, Aslin, dan Saadoune akan ditembak.

Rusia adalah satu-satunya negara yang mengakui DPR sebagai negara independen. Komunitas global tidak mengakui kawasan dan institusinya, dan menganggap wilayah itu sebagai bagian dari Ukraina. Kelompok pengawas independen secara historis mengutuk aksi separatis karena rekam jejak hak asasi manusia yang mengerikan dan penganiayaan terhadap tahanan.

RIA Novosti mengutip “kepala dewan yudisial” di Donetsk yang mengatakan para terpidana “dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut dalam waktu satu bulan.”

Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2246 seconds (0.1#10.140)