Rohaniawan Ukraina Tuding Rusia Gunakan Kebohongan Naziisme untuk Invasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para pemimpin agama Kristen dan Islam Ukraina menuding Pemerintah Rusia menggunakan kebohongan upaya menghapuskan perkembangan naziisme sebagai alasan pembenaran melakukan invasi.
“Perang Ukraina ini adalah yang paling absurd karena tidak ada alasan. Perang ini sangat di luar nalar karena target sasaran yang tidak manusiawi seperti pengeboman terhadap Gereja Katolik Yunani,” tutur Romo Andrii Zelinskyi dari Gereja Katolik Yunani Ukraina dalam video dari diskusi bertajuk “Apa betul Naziisme berkembang di Ukraina?”
Diskusi tertutup melalui aplikasi zoom tersebut digelar Center of Communication Crisis and Conflict (C4) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid (Usahid) Jakarta dan Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) akhir Maret lalu.
Hadir dalam diskusi tersebut Vasyl Hamianin Dubes Ukraina untuk Indonesia, Sheikh Said Ismagilov Mufti (Pemimpin umat Islam) Ukraina, Sheikh Aider Rustemov Mufti komunitas Islam Crimea Tartar dan Romo Andrii Zelinskyi yang berasal dari Gereja Katolik Yunani.
Setidaknya 59 situs keagamaan di Ukraina telah rusak akibat invasi Rusia antara lain sejumlah katedral Ortodoks, rumah ibadah Yahudi, dan gereja-gereja paroki yang hampir seluruhnya rata dengan tanah.
Menurut Konvensi Den Haag menargetkan monumen bersejarah dan situs warisan budaya adalah kejahatan perang di bawah hukum internasional.
Romo Andrii Zelinskyi yang berasal dari kongregasi Serikat Yesuit tersebut menuturkan serangan Rusia tidak saja menyasar rumah ibadah, mereka juga menyerang teater tempat para korban bersembunyi, rumah bersalin, dan rumah sakit tempat anak dan wanita berlindung.
Romo Adriii menegaskan alasan de-naziisme merupakan kedok ideologi Russia World yang dianut Presiden Vladimir Putin dan didukung Ketua Gereja Kristen Ortodoks untuk menyatukan seluruh wilayah Rusia bekas Uni Soviet termasuk juga Ukraina.
“Perang ini menunjukkan tidak ada simpati dan empati dari pihak Kristen Ortodoks terhadap Ukraina yang memiliki mayoritas pemeluk Kristen Ortodoks dan katanya bagian dari mereka. Menurut saya, ini prinsipnya sama seperti NAZI,” tuturnya.
Naziisme merujuk pada ideologi totalitarian Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman. Naziisme menolak liberalisme, demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia, sebaliknya menekankan subordinasi individu kepada negara dan perlunya kepatuhan yang ketat kepada para pemimpin. Ini menekankan ketidaksetaraan individu dan "ras" dan hak yang kuat untuk memerintah yang lemah.
Sheikh Said Ismagilov Mufti (Pemimpin umat Islam) Ukraina dan Sheikh Aider Rustemov Mufti komunitas Islam Crimea Tartar menegaskan kehidupan beragama di Ukraina sejak merdeka dari Uni Soviet sangat semarak.
Hal senada ditegaskan Dubes Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin yang menyatakan paham naziisme bisa ditemukan di Ukraina namun kami hidup dalam keragaman masyarakat dan saling melindungi.
“Masyarakat Ukraina sangat beragam dan saling melindungi, apa ini yang disebut naziisme berkembang di negara kami? Benar adanya pasukan Batalyon Azov. Tapi mereka berperang melawan penjajahan Rusia,” ujar dia.
Secara sejarah Azov adalah milisi sukarelawan yang dibentuk di kota Berdyansk untuk mendukung tentara Ukraina dalam memerangi separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Beberapa pejuangnya berasal dari kelompok sayap kanan kecil, yang anggota intinya berasal dari Ukraina timur dan bisa berbicara bahasa Rusia.
Batalion Azov membela dan mempertahankan kota Mariupol yang berpenduduk 500.000 jiwa.
Gempuran Rusia membuat kota pelabuhan strategis di selatan Ukraina itu tidak memiliki aliran listrik, hanya ada sedikit air, dan sedikit persediaan makanan.
Mariupol menjadi markas Batalion Azov, yang merupakan bagian dari Garda Nasional Ukraina, sehingga berada di bawah Kementerian Dalam Negeri Ukraina.
Para pejuangnya terlatih dengan baik, tetapi unit ini anggotanya terdiri dari nasionalis dan radikal sayap kanan. Keberadaannya adalah salah satu dalih yang digunakan Rusia untuk perang melawan Ukraina.
“Azov adalah orang-orang yang mencintai Ukraina, ini sama saja propaganda Rusia tentang pahlawan negara kami, Stepan Bandera yang selalu dikerdilkan sebagai kolaborator NAZI. Padahal dia nasionalis. Sama seperti pahlawan Indonesia Tan Malaka yang merupakan tokoh komunis,” tegas Vasyl Hamianin.
Menurut Romo Andrii Zelinskyi sosok Stepan Bandera sudah tidak relevan digunakan Pemerintah Rusia sebagai alasan bahwa di Ukraina memelihara paham naziisme. “Stepan Bandera sudah meninggal sangat lama. Bukan alasan yang relevan menjadikannya sebagai bahaya ideologi!” papar dia.
“Perang Ukraina ini adalah yang paling absurd karena tidak ada alasan. Perang ini sangat di luar nalar karena target sasaran yang tidak manusiawi seperti pengeboman terhadap Gereja Katolik Yunani,” tutur Romo Andrii Zelinskyi dari Gereja Katolik Yunani Ukraina dalam video dari diskusi bertajuk “Apa betul Naziisme berkembang di Ukraina?”
Diskusi tertutup melalui aplikasi zoom tersebut digelar Center of Communication Crisis and Conflict (C4) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid (Usahid) Jakarta dan Paguyuban Wartawan Katolik Indonesia (PWKI) akhir Maret lalu.
Hadir dalam diskusi tersebut Vasyl Hamianin Dubes Ukraina untuk Indonesia, Sheikh Said Ismagilov Mufti (Pemimpin umat Islam) Ukraina, Sheikh Aider Rustemov Mufti komunitas Islam Crimea Tartar dan Romo Andrii Zelinskyi yang berasal dari Gereja Katolik Yunani.
Setidaknya 59 situs keagamaan di Ukraina telah rusak akibat invasi Rusia antara lain sejumlah katedral Ortodoks, rumah ibadah Yahudi, dan gereja-gereja paroki yang hampir seluruhnya rata dengan tanah.
Menurut Konvensi Den Haag menargetkan monumen bersejarah dan situs warisan budaya adalah kejahatan perang di bawah hukum internasional.
Romo Andrii Zelinskyi yang berasal dari kongregasi Serikat Yesuit tersebut menuturkan serangan Rusia tidak saja menyasar rumah ibadah, mereka juga menyerang teater tempat para korban bersembunyi, rumah bersalin, dan rumah sakit tempat anak dan wanita berlindung.
Romo Adriii menegaskan alasan de-naziisme merupakan kedok ideologi Russia World yang dianut Presiden Vladimir Putin dan didukung Ketua Gereja Kristen Ortodoks untuk menyatukan seluruh wilayah Rusia bekas Uni Soviet termasuk juga Ukraina.
“Perang ini menunjukkan tidak ada simpati dan empati dari pihak Kristen Ortodoks terhadap Ukraina yang memiliki mayoritas pemeluk Kristen Ortodoks dan katanya bagian dari mereka. Menurut saya, ini prinsipnya sama seperti NAZI,” tuturnya.
Naziisme merujuk pada ideologi totalitarian Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman. Naziisme menolak liberalisme, demokrasi, supremasi hukum, dan hak asasi manusia, sebaliknya menekankan subordinasi individu kepada negara dan perlunya kepatuhan yang ketat kepada para pemimpin. Ini menekankan ketidaksetaraan individu dan "ras" dan hak yang kuat untuk memerintah yang lemah.
Sheikh Said Ismagilov Mufti (Pemimpin umat Islam) Ukraina dan Sheikh Aider Rustemov Mufti komunitas Islam Crimea Tartar menegaskan kehidupan beragama di Ukraina sejak merdeka dari Uni Soviet sangat semarak.
Hal senada ditegaskan Dubes Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin yang menyatakan paham naziisme bisa ditemukan di Ukraina namun kami hidup dalam keragaman masyarakat dan saling melindungi.
“Masyarakat Ukraina sangat beragam dan saling melindungi, apa ini yang disebut naziisme berkembang di negara kami? Benar adanya pasukan Batalyon Azov. Tapi mereka berperang melawan penjajahan Rusia,” ujar dia.
Secara sejarah Azov adalah milisi sukarelawan yang dibentuk di kota Berdyansk untuk mendukung tentara Ukraina dalam memerangi separatis pro-Rusia di Ukraina timur. Beberapa pejuangnya berasal dari kelompok sayap kanan kecil, yang anggota intinya berasal dari Ukraina timur dan bisa berbicara bahasa Rusia.
Batalion Azov membela dan mempertahankan kota Mariupol yang berpenduduk 500.000 jiwa.
Gempuran Rusia membuat kota pelabuhan strategis di selatan Ukraina itu tidak memiliki aliran listrik, hanya ada sedikit air, dan sedikit persediaan makanan.
Mariupol menjadi markas Batalion Azov, yang merupakan bagian dari Garda Nasional Ukraina, sehingga berada di bawah Kementerian Dalam Negeri Ukraina.
Para pejuangnya terlatih dengan baik, tetapi unit ini anggotanya terdiri dari nasionalis dan radikal sayap kanan. Keberadaannya adalah salah satu dalih yang digunakan Rusia untuk perang melawan Ukraina.
“Azov adalah orang-orang yang mencintai Ukraina, ini sama saja propaganda Rusia tentang pahlawan negara kami, Stepan Bandera yang selalu dikerdilkan sebagai kolaborator NAZI. Padahal dia nasionalis. Sama seperti pahlawan Indonesia Tan Malaka yang merupakan tokoh komunis,” tegas Vasyl Hamianin.
Menurut Romo Andrii Zelinskyi sosok Stepan Bandera sudah tidak relevan digunakan Pemerintah Rusia sebagai alasan bahwa di Ukraina memelihara paham naziisme. “Stepan Bandera sudah meninggal sangat lama. Bukan alasan yang relevan menjadikannya sebagai bahaya ideologi!” papar dia.
(sya)