Konflik dengan Media, Duterte Kembangkan Sikap Antikritik

Kamis, 18 Juni 2020 - 06:46 WIB
loading...
Konflik dengan Media,...
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Foto/Reuters
A A A
MANILA - Presiden Filipina Rodrigo Duterte memiliki sejarah panjang konflik dengan media dan pers yang menuntut kebebasan di bawah pemerintahannya. Dia dikenal sebagai pemimpin yang tidak suka dengan kritik dari media.

The Philippine Daily Inquirer merupakan salah satu harian ternama di Filipina yang memiliki slogan "balanced news, fearless views". Ketika Duterte meluncurkan kebijakan perlawanan terhadap bandar narkoba pada 2016, media tersebut mengkritik tajam pembunuhan massal tersebut. Dalam berbagai forum, Duterte pun menyerang media ini. “Sungguh memalukan para jurnalis itu,” katanya. Beberapa bulan kemudian, pemilik The Philippine Daily Inquirer menjual media tersebut kepada pengusaha kuat yang menjadi pendukung Duterte.

Stasiun televisi ABS-CBN dipaksa menutup siarannya pada Mei lalu setelah bertahun-tahun diancam oleh Duterte. Duterte menuding ABS-CBN tidak menyiarkan iklan kampanyenya pada 2016 dan tidak mengembalikan pembayaran. “Saya akan melihat kamu akan selesai,” kata Duterte.

Namun, juru bicara Duterte mengatakan presidennya dalam posisi netral dalam upaya pemberian izin bagi ABS-CBN untuk beroperasi kembali. (Baca: Abus Sayyaf Sergap Militer Filipina, 11 Tentara Dihabisi)

Duterte juga pernah mengungkapkan kemarahan kepada jurnalis saat kampanye presiden pada 2016. “Kamu (jurnalis) tidak dikecualikan dari pembunuhan,” katanya. National Union of Journalists of the Philippines (NUJP) menggambarkan komentar itu sebagai suatu ancaman bagi jurnalis.

Terbaru adalah pemimpin eksekutif Rappler, situs berita daring dari Filipina, Maria Ressa, yang dikenal kritis terhadap Presiden Rodrigo Duterte menghadapi ancaman hukuman enam tahun penjara karena dinyatakan bersalah di Pengadilan Manila. Itu menjadi tekanan terhadap kebebasan pers di Filipina.

Ressa, yang merupakan mantan jurnalis CNN, dinyatakan bersalah dalam kasus pencemaran nama baik dalam sebuah artikel pada 2012 terkait pengusaha yang melakukan aktivitas ilegal. Setelah menjatuhkan vonis kemarin, hakim Rainelda Estacio-Montesa mengatakan, pelaksanaan kebebasan harus digunakan dengan memperhatikan kebebasan orang lain. Estacio-Montesa juga mengatakan, Ressa menghadapi hukuman lebih dari enam tahun penjara. (Baca juga: Bos Instagram Bakal Tinjau Ulang Kebijakan Lawan Rasisme)

Ressa mengaku akan mengajukan banding atas keputusan tersebut. “Keputusan untuk saya sangat menghancurkan karena pada dasarnya mengatakan kami di Rappler salah,” katanya. Reynaldo Santos, mantan peneliti dan penulis Rappler, juga dinyatakan bersalah dalam kasus tersebut. Namun, Ressa dan Santos bisa bebas dengan membayar uang jaminan selagi upaya banding dilakukan.

Selama persidangan Ressa membantah semua tuduhan dan mengklaim hal tersebut dilancarkan dengan motif politik. "Kami akan berdiri menentang segala bentuk serangan terhadap kebebasan pers," kata Ressa.

Kasus ini bermula dari sebuah artikel delapan tahun lalu terkait dugaan hubungan seorang pengusaha, Wilfredo Keng, dengan mantan hakim di pengadilan tertinggi Filipina. Berita itu bersumber dari laporan intelijen lembaga yang tidak disebutkan. “Berita Rappler itu merupakan tuduhan yang jahat,” kata Keng dalam komplainnya.

Pada 2017, si pengusaha kemudian menuntut Ressa menggunakan undang-undang kontroversial "cyber-libel" yang mulai berlaku pada bulan September 2012, empat bulan setelah tulisan tersebut terbit.

Ressa merupakan jurnalis senior Filipina yang merupakan wartawan investigatif utama media AS, CNN, terkait dengan terorisme di Asia Tenggara. Dia memenangkan sejumlah penghargaan internasional karena liputannya dan dipilih menjadi Time Magazine Person of the Year 2018 karena usahanya mempertanyakan tanggung jawab kekuasaan di lingkungan yang semakin memusuhinya. (Baca juga: Duterte Larang Siswa ke Sekolah Sampai Ada Vaksin Covid-19)

Para pendukung kebebasan pers mengatakan wartawan veteran itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte karena sejumlah laporan kritis Rappler terkait pemerintah. Penangkapan berulang-ulang terhadap Ressa telah menuai kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran tentang memburuknya kebebasan pers di negara itu.

Rappler menyatakan kasus tersebut merupakan kasus ketujuh yang membelit Ressa dan kasus ke-11 yang melibatkan Rappler. Duterte sebelumnya membantah tuduhan bahwa penangkapan itu bermotivasi politik dan dia menyebut Rappler sebagai situs "berita palsu". “Ini menjadi hari paling gelap bukan hanya bagi media independen di Filipina, tetapi seluruh Filipina,” kata Serikat Nasional Jurnalis Filipina (NUJP). “Vonis itu bisa membunuh kebebasan berbicara dan pers.” (Lihat videonya: Seorang Pemotor di Solo Tewas Terjerat Benabg Layangan di Leher)

Lembaga pemantau media pun menyatakan vonis terhadap Ressa memang berusaha mengintimidasi kritikus atas Duterte . Banyak pemberitaan Rappler kerap mengkritik perang melawan narkoba yang digaungkan Duterte dan banyak kebijakan luar negeri yang dinilai tidak tepat. Duterte pun berulang kali menyalahkan Rappler dalam beberapa pidato di depan publik.

Bukan hanya kebebasan pers, sejak 1986 tidak kurang dari 176 wartawan terbunuh di Filipina. Catatan ini menjadikan negara itu salah satu negara yang paling berbahaya di dunia bagi wartawan. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1488 seconds (0.1#10.140)