Besok, Biden Akan Telepon Jinping Bahas Rusia-Ukraina
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan mengadakan panggilan telepon pada Jumat (18/3/2022) dengan pemimpin China Xi Jinping, Gedung Putih mengatakan pada Kamis (17/3/2022). Panggilan telepon ini dilakukan ketika AS menekan China untuk tidak memberikan dukungan kepada Rusia dalam invasinya ke Ukraina.
"Kedua pemimpin akan membahas pengelolaan persaingan antara kedua negara kami, serta perang Rusia melawan Ukraina dan masalah lain yang menjadi perhatian bersama," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, seperti dikutip dari Reuters.
Menurutnya, panggilan telepon ini juga sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka.
Sebelumnya, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengadakan pembicaraan selama tujuh jam di Roma dengan diplomat China Yang Jiechi pada Senin. Gedung Putih memperingatkan Beijing untuk tidak mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dalam invasinya ke Ukraina.
Ditanya pihak mana yang meminta panggilan itu, seorang pejabat pemerintah mengatakan itu disepakati bersama di Roma. Para pejabat AS menggambarkan pembicaraan itu sebagai "sulit" dan masih memperdebatkan bagaimana harus bereaksi jika Xi memberi Putin dukungan militer atau ekonomi.
Invasi Putin ke Ukraina, yang memasuki minggu keempat, telah menewaskan ratusan warga sipil. Invasi itu telah membuat kota-kota menjadi puing-puing dan memicu krisis kemanusiaan. Serangan Rusia ke wilayah Ukraina juga membuat jutaan orang meninggalkan negara itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan pada minggu ini, bahwa Rusia mengandalkan China untuk membantunya menahan pukulan terhadap ekonominya dari sanksi Barat atas invasi ke Ukraina.
Pejabat Amerika Serikat dan negara-negara lain telah berusaha untuk menekankan dalam beberapa pekan terakhir, bahwa memihak Rusia dapat membawa konsekuensi bagi arus perdagangan dan pengembangan teknologi baru dan dapat membuat China terkena sanksi sekunder.
"Saya pikir pesan ke China saat ini pada dasarnya adalah ada berbagai masa depan untuk hubungan tersebut. Beberapa sangat gelap, beberapa lebih moderat," ungkap Evan Medeiros, seorang spesialis Asia dalam pemerintahan Obama yang sekarang mengajar di Universitas Georgetown.
"Kedua pemimpin akan membahas pengelolaan persaingan antara kedua negara kami, serta perang Rusia melawan Ukraina dan masalah lain yang menjadi perhatian bersama," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, seperti dikutip dari Reuters.
Menurutnya, panggilan telepon ini juga sebagai bagian dari upaya berkelanjutan untuk menjaga jalur komunikasi tetap terbuka.
Sebelumnya, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengadakan pembicaraan selama tujuh jam di Roma dengan diplomat China Yang Jiechi pada Senin. Gedung Putih memperingatkan Beijing untuk tidak mendukung Presiden Rusia Vladimir Putin dalam invasinya ke Ukraina.
Ditanya pihak mana yang meminta panggilan itu, seorang pejabat pemerintah mengatakan itu disepakati bersama di Roma. Para pejabat AS menggambarkan pembicaraan itu sebagai "sulit" dan masih memperdebatkan bagaimana harus bereaksi jika Xi memberi Putin dukungan militer atau ekonomi.
Invasi Putin ke Ukraina, yang memasuki minggu keempat, telah menewaskan ratusan warga sipil. Invasi itu telah membuat kota-kota menjadi puing-puing dan memicu krisis kemanusiaan. Serangan Rusia ke wilayah Ukraina juga membuat jutaan orang meninggalkan negara itu.
Sementara itu, Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov mengatakan pada minggu ini, bahwa Rusia mengandalkan China untuk membantunya menahan pukulan terhadap ekonominya dari sanksi Barat atas invasi ke Ukraina.
Pejabat Amerika Serikat dan negara-negara lain telah berusaha untuk menekankan dalam beberapa pekan terakhir, bahwa memihak Rusia dapat membawa konsekuensi bagi arus perdagangan dan pengembangan teknologi baru dan dapat membuat China terkena sanksi sekunder.
"Saya pikir pesan ke China saat ini pada dasarnya adalah ada berbagai masa depan untuk hubungan tersebut. Beberapa sangat gelap, beberapa lebih moderat," ungkap Evan Medeiros, seorang spesialis Asia dalam pemerintahan Obama yang sekarang mengajar di Universitas Georgetown.
(esn)