Cerita Pilu Sniper Pasukan Khusus Afghanistan Dieksekusi Taliban
loading...
A
A
A
KABUL - Pasukan Taliban telah mengeksekusi seorang sniper pasukan khusus pemerintah terguling Afghanistan . Korban merupakan tentara yang dididik sekaligus jadi sekutu pasukan khusus Inggris selama perang di negara itu.
Sebelum pemerintah Afghanistan yang didukung Barat runtuh, Noor, 29, telah menjadi anggota pasukan khusus militer yang dikenal sebagai pasukan CF333. Namun, dia tidak diselamatkan dalam evakuasi udara dari bandara Kabul setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.
Saudaranya, Shakar Chi, 36, menceritakan kisah pilu adiknya yang dieksekusi pasukan Taliban.
Shakar, yang juga bekerja bersama pasukan khusus Inggris, berhasil dievakuasi ke Inggris.
Dia menceritakan kepada The Times, yang dilansir Jumat (1/10/2021), bahwa Noor telah menunggu berhari-hari untuk penerbangan evakuasi dari Kabul. Namun, pada akhirnya ditolak karena dia tidak memegang paspor Inggris.
Shakar—yang merupakan nama samaran—, naik pesawat pada 27 Agustus 2021 dan dijanjikan oleh seorang anggota tentara Inggris bahwa Noor dan keluarganya juga akan berada dalam penerbangan dalam waktu 24 jam.
Namun, keesokan harinya pada tanggal 28 Agustus 2021, hari penerbangan evakuasi terakhir berangkat dari bandara Kabul, Shakar berbicara kepada saudaranya melalui telepon yang mengungkapkan bahwa dia tidak mendapat tempat duduk karena tidak ada kapasitas.
Noor, kata Shakar, mengatakan kepadanya bahwa dia telah dikeluarkan dari hotel Baron, yang digunakan oleh diplomat dan militer Inggris untuk memproses mereka yang memenuhi syarat untuk terbang ke Inggris.
Noor mengatakan melalui telepon bahwa seorang tentara Inggris mengatakan: "Ada begitu banyak orang di sini dengan paspor merah [Inggris]. Kami tidak dapat membawa lebih banyak orang dalam penerbangan. Kami tidak memiliki kapasitas apa pun."
"Itulah sebabnya mereka mengusir saya," kata Shakar, menirukan ucapan Noor sebelum dibunuh Taliban.
Lima belas hari kemudian, Noor dilacak oleh pasukan Taliban ke rumah saudara perempuannya di tepi Ibu Kota Afghanistan, Kabul, dan dibunuh.
Dia ditembak tiga kali di dada dan sekali lagi saat dia terbaring di tanah oleh dua pria bersenjata dari kelompok Taliban.
Noor ditembak mati, sementara istri dan lima anaknya—yang semuanya masih di bawah sembilan tahun—berada di pintu masuk rumah.
Kementerian Pertahanan (MOD) Inggris, melalui seorang juru bicaranya, mengatakan: "Kami menyadari situasi selama Operation Pitting sangat sulit bagi semua yang terlibat, dan personel Inggris bekerja dalam situasi yang bergerak cepat dan kompleks untuk mengevakuasi ribuan orang di Kabul."
MOD menambahkan bahwa mereka tidak memiliki catatan aplikasi dalam kasus Noor, dan dipahami bahwa Noor tidak secara resmi mengajukan permohonan untuk datang ke Inggris di bawah skema Kebijakan Relokasi dan Bantuan Afghanistan (ARAP) pemerintah.
Pembunuhan itu memicu keterkejutan dan kemarahan dari anggota militer Inggris, di mana mantan Kolonel Ash Alexander-Cooper, OBE, seorang komandan operasi spesialis SAS, menulis dalam tweet: "Bagi para pemimpin yang masih tidak yakin, ini bukan permainan, 'N' dieksekusi oleh Taliban dengan darah dingin hanya beberapa jam yang lalu. Kejahatannya? Tahun layanan setia dan profesional, dibimbing oleh unit Inggris."
"Tidak ada amnesti. Ditinggalkan oleh kami, pembunuhan ini tidak akan menjadi yang terakhir," tulisnya.
“Ini adalah realitas Taliban 'baru',” kata Alexander-Cooper.
"Bicara tentang inklusivitas, keragaman, dan amnesti adalah lelucon dan beberapa orang menyukainya. Bangun," seru Alexander-Cooper.
Pembunuhan itu adalah satu dalam satu seri pembunuhan balas dendam oleh Taliban yang pergi dari rumah ke rumah berburu orang-orang yang bekerja dengan pasukan Barat.
Sebelum pemerintah Afghanistan yang didukung Barat runtuh, Noor, 29, telah menjadi anggota pasukan khusus militer yang dikenal sebagai pasukan CF333. Namun, dia tidak diselamatkan dalam evakuasi udara dari bandara Kabul setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.
Saudaranya, Shakar Chi, 36, menceritakan kisah pilu adiknya yang dieksekusi pasukan Taliban.
Shakar, yang juga bekerja bersama pasukan khusus Inggris, berhasil dievakuasi ke Inggris.
Dia menceritakan kepada The Times, yang dilansir Jumat (1/10/2021), bahwa Noor telah menunggu berhari-hari untuk penerbangan evakuasi dari Kabul. Namun, pada akhirnya ditolak karena dia tidak memegang paspor Inggris.
Shakar—yang merupakan nama samaran—, naik pesawat pada 27 Agustus 2021 dan dijanjikan oleh seorang anggota tentara Inggris bahwa Noor dan keluarganya juga akan berada dalam penerbangan dalam waktu 24 jam.
Namun, keesokan harinya pada tanggal 28 Agustus 2021, hari penerbangan evakuasi terakhir berangkat dari bandara Kabul, Shakar berbicara kepada saudaranya melalui telepon yang mengungkapkan bahwa dia tidak mendapat tempat duduk karena tidak ada kapasitas.
Noor, kata Shakar, mengatakan kepadanya bahwa dia telah dikeluarkan dari hotel Baron, yang digunakan oleh diplomat dan militer Inggris untuk memproses mereka yang memenuhi syarat untuk terbang ke Inggris.
Noor mengatakan melalui telepon bahwa seorang tentara Inggris mengatakan: "Ada begitu banyak orang di sini dengan paspor merah [Inggris]. Kami tidak dapat membawa lebih banyak orang dalam penerbangan. Kami tidak memiliki kapasitas apa pun."
"Itulah sebabnya mereka mengusir saya," kata Shakar, menirukan ucapan Noor sebelum dibunuh Taliban.
Lima belas hari kemudian, Noor dilacak oleh pasukan Taliban ke rumah saudara perempuannya di tepi Ibu Kota Afghanistan, Kabul, dan dibunuh.
Dia ditembak tiga kali di dada dan sekali lagi saat dia terbaring di tanah oleh dua pria bersenjata dari kelompok Taliban.
Noor ditembak mati, sementara istri dan lima anaknya—yang semuanya masih di bawah sembilan tahun—berada di pintu masuk rumah.
Kementerian Pertahanan (MOD) Inggris, melalui seorang juru bicaranya, mengatakan: "Kami menyadari situasi selama Operation Pitting sangat sulit bagi semua yang terlibat, dan personel Inggris bekerja dalam situasi yang bergerak cepat dan kompleks untuk mengevakuasi ribuan orang di Kabul."
MOD menambahkan bahwa mereka tidak memiliki catatan aplikasi dalam kasus Noor, dan dipahami bahwa Noor tidak secara resmi mengajukan permohonan untuk datang ke Inggris di bawah skema Kebijakan Relokasi dan Bantuan Afghanistan (ARAP) pemerintah.
Pembunuhan itu memicu keterkejutan dan kemarahan dari anggota militer Inggris, di mana mantan Kolonel Ash Alexander-Cooper, OBE, seorang komandan operasi spesialis SAS, menulis dalam tweet: "Bagi para pemimpin yang masih tidak yakin, ini bukan permainan, 'N' dieksekusi oleh Taliban dengan darah dingin hanya beberapa jam yang lalu. Kejahatannya? Tahun layanan setia dan profesional, dibimbing oleh unit Inggris."
"Tidak ada amnesti. Ditinggalkan oleh kami, pembunuhan ini tidak akan menjadi yang terakhir," tulisnya.
“Ini adalah realitas Taliban 'baru',” kata Alexander-Cooper.
"Bicara tentang inklusivitas, keragaman, dan amnesti adalah lelucon dan beberapa orang menyukainya. Bangun," seru Alexander-Cooper.
Pembunuhan itu adalah satu dalam satu seri pembunuhan balas dendam oleh Taliban yang pergi dari rumah ke rumah berburu orang-orang yang bekerja dengan pasukan Barat.
(min)