Parahnya Biden, Tak Tahu Apa dan Berapa Senjata AS yang Dirampas Taliban
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Pemerintah Presiden Joe Biden menjadi sorotan para anggota Parlemen Partai Republik. Musababnya, mereka tidak tahu apa dan berapa banyak senjata canggih Amerika Serikat (AS) di Afghanistan yang dirampas Taliban .
Para anggota Parlemen sekarang menekan Pentagon atau Departemen Pertahanan untuk menjawab soal nasib senjata-senjata tersebut.
Dua politisi Partai Republik di Komite Pengawas Parlemen telah meminta Pentagon merinci rencananya untuk memulihkan atau menghancurkan senjata AS senilai miliaran dollar yang sekarang berada di tangan Taliban.
Taliban merampas banyak senjata Amerika dari tangan keamanan nasional Afghanistan yang mereka kalahkan. Sebagai puncaknya, kelompok itu mengambil alih kekuasaan Afghanistan setelah menduduki istana presiden pada 15 Agustus lalu.
“Sebagai akibat langsung dari penarikan [pasukan] AS yang direncanakan dan dilaksanakan dengan buruk oleh Administrasi Biden dari Afghanistan, Taliban sekarang dipersenjatai dengan persenjataan yang signifikan dari persenjataan buatan AS," tulis para anggota Parlemen dalam suratnya untuk Pentagon.
"Lebih buruk lagi, tampaknya Administrasi Biden tidak tahu apa atau berapa banyak platform senjata yang sekarang dimiliki dan dioperasikan oleh Taliban," lanjut surat mereka, seperti dikutip The Hill, Selasa (24/8/2021).
Surat kepada Menteri Pertahanan Lloyd Austin tersebut ditandatangani James Comer, politisi Republik yang memimpin Komite Pengawas, dan Glenn Grothman, politisi Republik anggota Sub-Komite Keamanan Nasional.
Surat itu ditulis saat foto-foto yang beredar menunjukkan para milisi Taliban mencengkeram senapan Karabin M4 dan M16 buatan AS. Mereka juga telah terlihat mengendarai Humvee AS dan kendaraan anti-ranjau.
Peralatan militer lain yang dirampas kelompok itu adalah helikopter Black Hawk, pesawat serang A-29 Super Tucano dan kacamata penglihatan malam.
Surat dari Comer dan Grothman mengutip sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Intercept pekan lalu yang mengatakan bahwa Taliban menyita Handheld Interagency Identity Detection Equipment, yang menyimpan data biometrik seperti pemindaian iris mata dan sidik jari dan dapat digunakan untuk mengakses database.
“Kemungkinan informasi ini akan digunakan untuk menyerang sekutu AS,” tulis kedua anggota Parlemen tersebut.
Pentagon tidak segera menanggapi permintaan komentar yang diajukan wartawan.
Amerika Serikat menghabiskan sekitar USD83 miliar untuk pelatihan dan memperlengkapi pasukan keamanan Afghanistan selama dua dekade terakhir.
Antara 2003 hingga 2016, Amerika Serikat mentransfer 75.898 kendaraan, 599.690 senjata, 162.643 peralatan komunikasi, 208 pesawat, dan 16.191 peralatan intelijen, pengawasan, dan pengintaian ke pasukan Afghanistan. Data ini bersumber dari laporan Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) AS 2017.
Dari 2017 hingga 2019, Amerika Serikat juga memberi pasukan Afghanistan 7.035 senapan mesin, 4.702 Humvee, 20.040 granat tangan, 2.520 bom dan 1.394 peluncur granat, di antara peralatan lainnya. Itu merupakan laporan tahun lalu dari Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan.
Comer dan Grothman meminta pertanggungjawaban penuh atas senjata-senjata itu, termasuk yang sudah dinonaktifkan atau tidak di darat pada 1 Mei. "Semua dokumen dan informasi mengenai upaya yang direncanakan atau saat ini untuk merebut kembali, menghancurkan, atau menonaktifkan peralatan militer..yang tetap beroperasi di Afghanistan," imbuh surat mereka.
Beberapa peralatan militer AS berhasil keluar dari negara itu sebelum pengambilalihan negara oleh Taliban.
Setidaknya 46 dari 211 pesawat yang dipasok AS sekarang berada di Uzbekistan setelah lebih dari 500 tentara Afghanistan menggunakannya untuk melarikan diri ketika pemerintah di Kabul runtuh.
"Kami tidak memiliki gambaran yang lengkap, jelas, ke mana setiap artikel dari bahan pertahanan telah pergi, tetapi tentu saja cukup banyak dari itu telah jatuh ke tangan Taliban," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan pekan lalu.
"Dan jelas, kami tidak memiliki perasaan bahwa mereka akan dengan mudah menyerahkannya kepada kami di bandara."
Jenderal Mark Milley, ketua Kepala Staf Gabungan, pekan lalu menolak merinci kemungkinan penghancuran peralatan, dengan mengatakan fokus militer bukan pada operasi evakuasi. Namun, Milley mengatakan kepada wartawan bahwa; "Kami jelas memiliki kemampuan."
Para anggota Komite Pengawas Pemerintah Parlemen AS mengatakan pada hari Senin bahwa mereka khawatir senjata yang tidak ditemukan dapat menimbulkan risiko keamanan.
“Kami bertanya-tanya apakah Administrasi Biden memiliki rencana untuk mencegah Taliban menggunakan senjata kami melawan AS atau sekutunya, atau menjualnya ke musuh asing, seperti China, Rusia, Iran, atau Korea Utara,” tulis mereka.
Para Senator juga mengangkat kekhawatiran serupa minggu lalu.
“Tidak masuk akal bahwa peralatan militer berteknologi tinggi yang dibayar oleh pembayar pajak AS telah jatuh ke tangan Taliban dan sekutu teroris mereka,” tulis mereka dalam sebuah surat yang dipelopori oleh Senator Marco Rubio.
“Mengamankan aset AS seharusnya menjadi salah satu prioritas utama bagi Departemen Pertahanan AS sebelum mengumumkan penarikan dari Afghanistan,” lanjut surat mereka.
Para anggota Parlemen sekarang menekan Pentagon atau Departemen Pertahanan untuk menjawab soal nasib senjata-senjata tersebut.
Dua politisi Partai Republik di Komite Pengawas Parlemen telah meminta Pentagon merinci rencananya untuk memulihkan atau menghancurkan senjata AS senilai miliaran dollar yang sekarang berada di tangan Taliban.
Taliban merampas banyak senjata Amerika dari tangan keamanan nasional Afghanistan yang mereka kalahkan. Sebagai puncaknya, kelompok itu mengambil alih kekuasaan Afghanistan setelah menduduki istana presiden pada 15 Agustus lalu.
“Sebagai akibat langsung dari penarikan [pasukan] AS yang direncanakan dan dilaksanakan dengan buruk oleh Administrasi Biden dari Afghanistan, Taliban sekarang dipersenjatai dengan persenjataan yang signifikan dari persenjataan buatan AS," tulis para anggota Parlemen dalam suratnya untuk Pentagon.
"Lebih buruk lagi, tampaknya Administrasi Biden tidak tahu apa atau berapa banyak platform senjata yang sekarang dimiliki dan dioperasikan oleh Taliban," lanjut surat mereka, seperti dikutip The Hill, Selasa (24/8/2021).
Surat kepada Menteri Pertahanan Lloyd Austin tersebut ditandatangani James Comer, politisi Republik yang memimpin Komite Pengawas, dan Glenn Grothman, politisi Republik anggota Sub-Komite Keamanan Nasional.
Surat itu ditulis saat foto-foto yang beredar menunjukkan para milisi Taliban mencengkeram senapan Karabin M4 dan M16 buatan AS. Mereka juga telah terlihat mengendarai Humvee AS dan kendaraan anti-ranjau.
Peralatan militer lain yang dirampas kelompok itu adalah helikopter Black Hawk, pesawat serang A-29 Super Tucano dan kacamata penglihatan malam.
Surat dari Comer dan Grothman mengutip sebuah artikel yang diterbitkan oleh The Intercept pekan lalu yang mengatakan bahwa Taliban menyita Handheld Interagency Identity Detection Equipment, yang menyimpan data biometrik seperti pemindaian iris mata dan sidik jari dan dapat digunakan untuk mengakses database.
“Kemungkinan informasi ini akan digunakan untuk menyerang sekutu AS,” tulis kedua anggota Parlemen tersebut.
Pentagon tidak segera menanggapi permintaan komentar yang diajukan wartawan.
Amerika Serikat menghabiskan sekitar USD83 miliar untuk pelatihan dan memperlengkapi pasukan keamanan Afghanistan selama dua dekade terakhir.
Antara 2003 hingga 2016, Amerika Serikat mentransfer 75.898 kendaraan, 599.690 senjata, 162.643 peralatan komunikasi, 208 pesawat, dan 16.191 peralatan intelijen, pengawasan, dan pengintaian ke pasukan Afghanistan. Data ini bersumber dari laporan Kantor Akuntabilitas Pemerintah (GAO) AS 2017.
Dari 2017 hingga 2019, Amerika Serikat juga memberi pasukan Afghanistan 7.035 senapan mesin, 4.702 Humvee, 20.040 granat tangan, 2.520 bom dan 1.394 peluncur granat, di antara peralatan lainnya. Itu merupakan laporan tahun lalu dari Inspektur Jenderal Khusus untuk Rekonstruksi Afghanistan.
Comer dan Grothman meminta pertanggungjawaban penuh atas senjata-senjata itu, termasuk yang sudah dinonaktifkan atau tidak di darat pada 1 Mei. "Semua dokumen dan informasi mengenai upaya yang direncanakan atau saat ini untuk merebut kembali, menghancurkan, atau menonaktifkan peralatan militer..yang tetap beroperasi di Afghanistan," imbuh surat mereka.
Beberapa peralatan militer AS berhasil keluar dari negara itu sebelum pengambilalihan negara oleh Taliban.
Setidaknya 46 dari 211 pesawat yang dipasok AS sekarang berada di Uzbekistan setelah lebih dari 500 tentara Afghanistan menggunakannya untuk melarikan diri ketika pemerintah di Kabul runtuh.
"Kami tidak memiliki gambaran yang lengkap, jelas, ke mana setiap artikel dari bahan pertahanan telah pergi, tetapi tentu saja cukup banyak dari itu telah jatuh ke tangan Taliban," kata penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan pekan lalu.
"Dan jelas, kami tidak memiliki perasaan bahwa mereka akan dengan mudah menyerahkannya kepada kami di bandara."
Jenderal Mark Milley, ketua Kepala Staf Gabungan, pekan lalu menolak merinci kemungkinan penghancuran peralatan, dengan mengatakan fokus militer bukan pada operasi evakuasi. Namun, Milley mengatakan kepada wartawan bahwa; "Kami jelas memiliki kemampuan."
Para anggota Komite Pengawas Pemerintah Parlemen AS mengatakan pada hari Senin bahwa mereka khawatir senjata yang tidak ditemukan dapat menimbulkan risiko keamanan.
“Kami bertanya-tanya apakah Administrasi Biden memiliki rencana untuk mencegah Taliban menggunakan senjata kami melawan AS atau sekutunya, atau menjualnya ke musuh asing, seperti China, Rusia, Iran, atau Korea Utara,” tulis mereka.
Para Senator juga mengangkat kekhawatiran serupa minggu lalu.
“Tidak masuk akal bahwa peralatan militer berteknologi tinggi yang dibayar oleh pembayar pajak AS telah jatuh ke tangan Taliban dan sekutu teroris mereka,” tulis mereka dalam sebuah surat yang dipelopori oleh Senator Marco Rubio.
“Mengamankan aset AS seharusnya menjadi salah satu prioritas utama bagi Departemen Pertahanan AS sebelum mengumumkan penarikan dari Afghanistan,” lanjut surat mereka.
(min)