AS Hendak Jatuhkan Sanksi yang Terkait Program Rudal dan Drone Iran
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Pemerintah Amerika Serikat (AS) dilaporkan berencana untuk menjatuhkan sanksi yang menargetkan program drone dan peluru kendali (rudal) Iran . Washington menggunakan dalih program senjata Teheran itu berpotensi menjadi ancaman keamanan nasional Amerika.
The Wall Street Journalpada hari Kamis melaporkan bahwa para pejabat Amerika yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan tindakan yang direncanakan bertujuan untuk mengganggu pengembangan program senjata Iran.
Seorang pejabat senior AS mengatakan; "Ini adalah bagian dari pendekatan komprehensif sehingga kami berurusan dengan semua aspek ancaman Iran."
AS sebelumnya telah memberlakukan sanksi terhadap beberapa program rudal Iran, sedangkan sanksi yang akan datang secara khusus akan menargetkan kelompok yang menyediakan suku cadang yang digunakan untuk membangun drone dan rudal serta jaringan pasokan senjata lainnya.
Para pejabat Amerika mengatakan bahwa sanksi akan terpisah dari upaya berkelanjutan pemerintahan Joe Biden untuk menekan Iran agar kembali mematuhi perjanjian nuklir 2015 dan untuk terlibat dalam pembicaraan tentang negosiasi kesepakatan baru.
The Hill dalam laporannya hari Jumat (30/7/2021) mengatakan Departemen Keuangan, yang mengawasi penerapan sanksi AS, menolak berkomentar.
The Wall Street Journal melaporkan pekan lalu bahwa pemerintahan Biden mengincar sanksi baru atas penjualan minyak Iran ke China jika pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran gagal.
Menurut seorang pejabat AS, sanksi minyak potensial secara khusus akan menargetkan jaringan pengiriman yang mencakup 1 juta barel minyak per hari, sumber pendapatan yang signifikan bagi Iran.
Pembicaraan tentang komitmen ulang pada Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)—nama resmi untuk kesepakatan nuklir 2015—sebagian besar terhenti sejak pemilihan presiden Iran yang dimenangkan ulama garis keras Ebrahim Raisi.
Raisi telah mengatakan bahwa dia tidak akan terlibat dalam kesepakatan nuklir baru kecuali AS terlebih dahulu menghapus sanksinya terhadap program nuklir Teheran.
Namun, AS telah berulang kali menolak untuk melakukannya sampai Iran membatalkan kembali pengayaan uraniumnya dan perkembangan lainnya yang melanggar kesepakatan nuklir 2015.
Putaran keenam diskusi JCPOA 2015 berakhir pada Juni tanpa kesepakatan baru, tak lama sebelum terpilihnya Raisi sebagai presiden baru Iran.
Presiden Iran yang akan lengser, Hassan Rouhani, mengatakan awal bulan ini bahwa sementara negaranya berkomitmen untuk merundingkan kesepakatan nuklir 2015 yang retak, Iran memiliki kemampuan untuk mencapai tingkat pengayaan uranium 90 persen yang diperlukan untuk memproduksi senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir era Obama itu membatasi program Teheran untuk memperkaya uranium hanya hingga 3,67 persen, tetapi sejak Donald Trump "mengkhianati" perjanjian itu pada 2018, Iran menaikkan tingkat pengayaan uranium menjadi 60 persen.
Rouhani pada saat itu juga mengkritik pejabat tinggi di pemerintahannya sendiri, yang dia tuduh "tidak mengizinkan" pemulihan kesepakatan nuklir 2015.
"Mereka mengambil kesempatan untuk mencapai kesepakatan dari pemerintah ini. Kami sangat menyesal melewatkan kesempatan ini," katanya dalam rapat kabinet.
The Wall Street Journalpada hari Kamis melaporkan bahwa para pejabat Amerika yang berbicara dengan syarat anonim mengatakan tindakan yang direncanakan bertujuan untuk mengganggu pengembangan program senjata Iran.
Seorang pejabat senior AS mengatakan; "Ini adalah bagian dari pendekatan komprehensif sehingga kami berurusan dengan semua aspek ancaman Iran."
AS sebelumnya telah memberlakukan sanksi terhadap beberapa program rudal Iran, sedangkan sanksi yang akan datang secara khusus akan menargetkan kelompok yang menyediakan suku cadang yang digunakan untuk membangun drone dan rudal serta jaringan pasokan senjata lainnya.
Para pejabat Amerika mengatakan bahwa sanksi akan terpisah dari upaya berkelanjutan pemerintahan Joe Biden untuk menekan Iran agar kembali mematuhi perjanjian nuklir 2015 dan untuk terlibat dalam pembicaraan tentang negosiasi kesepakatan baru.
The Hill dalam laporannya hari Jumat (30/7/2021) mengatakan Departemen Keuangan, yang mengawasi penerapan sanksi AS, menolak berkomentar.
The Wall Street Journal melaporkan pekan lalu bahwa pemerintahan Biden mengincar sanksi baru atas penjualan minyak Iran ke China jika pembicaraan untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran gagal.
Menurut seorang pejabat AS, sanksi minyak potensial secara khusus akan menargetkan jaringan pengiriman yang mencakup 1 juta barel minyak per hari, sumber pendapatan yang signifikan bagi Iran.
Pembicaraan tentang komitmen ulang pada Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)—nama resmi untuk kesepakatan nuklir 2015—sebagian besar terhenti sejak pemilihan presiden Iran yang dimenangkan ulama garis keras Ebrahim Raisi.
Raisi telah mengatakan bahwa dia tidak akan terlibat dalam kesepakatan nuklir baru kecuali AS terlebih dahulu menghapus sanksinya terhadap program nuklir Teheran.
Namun, AS telah berulang kali menolak untuk melakukannya sampai Iran membatalkan kembali pengayaan uraniumnya dan perkembangan lainnya yang melanggar kesepakatan nuklir 2015.
Putaran keenam diskusi JCPOA 2015 berakhir pada Juni tanpa kesepakatan baru, tak lama sebelum terpilihnya Raisi sebagai presiden baru Iran.
Presiden Iran yang akan lengser, Hassan Rouhani, mengatakan awal bulan ini bahwa sementara negaranya berkomitmen untuk merundingkan kesepakatan nuklir 2015 yang retak, Iran memiliki kemampuan untuk mencapai tingkat pengayaan uranium 90 persen yang diperlukan untuk memproduksi senjata nuklir.
Kesepakatan nuklir era Obama itu membatasi program Teheran untuk memperkaya uranium hanya hingga 3,67 persen, tetapi sejak Donald Trump "mengkhianati" perjanjian itu pada 2018, Iran menaikkan tingkat pengayaan uranium menjadi 60 persen.
Rouhani pada saat itu juga mengkritik pejabat tinggi di pemerintahannya sendiri, yang dia tuduh "tidak mengizinkan" pemulihan kesepakatan nuklir 2015.
"Mereka mengambil kesempatan untuk mencapai kesepakatan dari pemerintah ini. Kami sangat menyesal melewatkan kesempatan ini," katanya dalam rapat kabinet.
(min)