Korut Miliki 10.000 Artileri, Alasan Korsel Bikin Senjata ala Iron Dome Israel?

Sabtu, 17 Juli 2021 - 12:23 WIB
loading...
Korut Miliki 10.000 Artileri, Alasan Korsel Bikin Senjata ala Iron Dome Israel?
Sistem pertahanan rudal Iron Dome Israel saat menembakkan misil pencegat. Foto/REUTERS
A A A
SEOUL - Korea Selatan sedang mengembangkan artileri baru dan sistem pertahanan roket jarak pendek yang meniru Iron Dome Israel . Para pakar mengatakan perkiraan Korea Utara (Korut) memiliki 10.000 artileri dan peluncur roket diduga menjadi salah satu alasan Seoul mengembangkan senjata pertahanan canggih tersebut.

Pemerintah Korea Selatan mengatakan bulan lalu bahwa mereka berencana untuk menghabiskan sekitar USD2,5 miliar untuk penelitian dan pengembangan dan menyebarkan sistem pertahanan baru pada tahun 2035.



Perang Korea 1950-1953 berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai, dan sejak itu kedua Korea telah membangun pasukan dan persenjataan di sepanjang zona demiliterisasi (DMZ) yang memisahkan kedua negara.

Korea Utara juga dalam beberapa tahun terakhir mengembangkan senjata nuklir dan rudal balistik. Meskipun sistem pertahanan Korea Selatan yang dibayangkan tidak akan mampu bertahan melawan senjata-senjata itu, ia akan dapat menargetkan artileri dan roket jarak pendek.

Korea Utara diperkirakan memiliki 10.000 artileri dan termasuk peluncur roket yang digali di utara DMZ. Wilayah DMZ berjarak kurang dari 100 kilometer (62 mil) dari wilayah Seoul yang menjadi rumah bagi 25 juta orang—setengah dari populasi Korea Selatan.

Sistem baru Korea Selatan ala Iron Dome Israel akan bertujuan untuk mempertahankan Ibu Kota Korea Selatan, fasilitas intinya, serta infrastruktur militer dan keamanan utama dari potensi pemboman Korea Utara, menggunakan rudal pencegat.

Tetapi sistem pencegat artileri Korea Selatan harus jauh lebih mampu daripada sistem Iron Dome Israel.

“Iron Dome menanggapi roket yang ditembakkan oleh kelompok militan, seperti Hamas dan pasukan lain tidak teratur secara sporadis,” kata Kolonel Suh Yong-won, juru bicara Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) pada bulan Juni.

"Beberapa bagian dari sistem akan memiliki kesamaan, tetapi apa yang akan kami bangun dirancang untuk mencegat artileri jarak jauh oleh Korea Utara, yang membutuhkan tingkat teknologi yang lebih tinggi mengingat situasi keamanan saat ini.”

Itu sebabnya, kata dia, sistem Korea Selatan diperkirakan lebih mahal daripada sistem Israel.



Menurut laporan surat kabar Hankyoreh, pakar militer juga mencatat bahwa Israel perlu menembak jatuh jauh lebih sedikit proyektil daripada yang mungkin harus dilakukan Korea Selatan. Hamas menembakkan sekitar 4.300 roket selama 10 hari dalam konflik Gaza terbaru. Tetapi menggunakan penargetan yang lebih maju, meriam besar dan peluncur roket, Korea Utara pada awalnya dapat menembakkan sekitar 16.000 proyektil per jam.

“Ini adalah usaha yang sangat menantang,” kata Ankit Panda, fellow senior Stanton di Nuclear Policy Programme pada Carnegie Endowment for International Peace.

Tak Ada Pilihan

Namun, para ahli tampaknya yakin Korea Selatan akan mampu mengembangkan pertahanan rudal yang efektif terhadap tembakan artileri dan roket Korea Utara. Pertanyaannya adalah harga.

"Tidak ada pilihan untuk Korea Selatan, mau bagaimana lagi," kata Jo Dong Joon, direktur Pusat Studi Korea Utara di Universitas Nasional Seoul. “Korea Selatan khawatir bahwa Korea Utara dapat menembakkan artileri jarak jauhnya tanpa banyak rasa takut akan pembalasan.”

Dorongan untuk mengembangkan sistem pertahanan ala Iron Dome Israel itu datang pada 2010, ketika Korea Utara menembaki pulau perbatasan Yeonpyeong dan menewaskan empat orang.

Menurut surat kabar Hankyoreh, setelah insiden Yeonpyeong, pihak berwenang Korea Selatan mempertimbangkan untuk memperkenalkan sistem Iron Dome, tetapi akhirnya menganggapnya tidak pantas. Fokus mereka saat itu adalah menghancurkan sumber tembakan yang masuk.

Untuk itu, kata Jo, Korea Selatan tahun lalu mengerahkan Korea Tactical Surface to Surface Missiles (KTSSMs) yang disebut "pembunuh artileri" dengan jangkauan 100 km (62 mil) dan dirancang khusus untuk menghancurkan artileri Korea Utara.

Menurut Jo, yang juga berspesialisasi dalam strategi nuklir, KTSSM Korea Selatan akan membutuhkan waktu untuk menargetkan dan menghancurkan sumber tembakan—artileri dan peluncur roket—yang dapat memberikan cukup waktu bagi Pyongyang untuk menyerang dan menghancurkan fasilitas utama di Seoul.

Sistem pertahanan baru ala Iron Dome Israel yang dikembangkan Korea Selatan akan bertahan melawan ancaman itu, dengan pertahanan anti-rudal Patriot dan Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) sudah dikerahkan untuk bertahan melawan rudal balistik Korea Utara.

Dengan bertahan melawan artileri dan roket Korea Utara di sepanjang DMZ, beberapa ahli percaya provokasi terbatas akan terhalang, dan kecil kemungkinannya untuk meningkat menjadi konflik yang lebih besar yang melibatkan senjata nuklir Korea Utara.

“Tingkat eskalasi Korea Utara sekarang mencapai sangat tinggi—hingga senjata nuklir,” jelas Jo, yang menambahkan bahwa Korea Selatan harus mampu merespons secara khusus ancaman artileri, atau memaksakan risiko yang lebih besar untuk memprovokasi eskalasi.

Pencegah Nuklir

Pengembangan senjata nuklir Korea Utara menciptakan sejumlah tantangan strategis di luar senjata itu sendiri. Ancaman penggunaannya memberanikan Pyongyang, dan menempatkan Seoul pada posisi yang kurang menguntungkan meskipun kekuatan konvensionalnya jauh lebih unggul, dan aliansi dengan Amerika Serikat.

“Kepemilikan senjata nuklir Korea Utara adalah penyebab rusaknya keseimbangan strategis pertahanan rudal sedikit menyesuaikan ketidakseimbangan itu,” jelas Go Myung-hyun, seorang peneliti di Asan Institute for Policy Studies.

Tetapi pertahanan anti-rudal dan anti-artileri dipandang sebagai usaha yang relatif mahal, yang melibatkan penelitian dan pengembangan selama bertahun-tahun, untuk keuntungan yang dapat diperdebatkan. Pengeluaran untuk sistem pertahanan dapat dikompensasikan dengan penyebaran rudal yang lebih ofensif untuk mengatasi sistem pertahanan, dan biayanya akan lebih murah.

“Akan selalu lebih murah bagi penyerang mana pun, baik itu Korea Utara, baik itu Hamas, untuk memperoleh lebih banyak rudal ofensif, daripada bagi para defenders untuk terus membeli pencegat defensif,” kata Panda dari Carnegie.

“Sumber daya yang akan dihabiskan Korea Selatan memiliki biaya peluang di tempat lain, pada apa yang dapat dibelanjakan oleh Korea Selatan untuk senjata ofensif.”

Pada saat yang sama, kompleks industri militer Korea Selatan yang sedang berkembang dapat sangat diuntungkan dari proyek di luar penelitian, pengembangan, dan penyebaran awal untuk Korea Selatan.

“Sistem seperti ini bisa menarik sebagai ekspor potensial,” kata Panda.

Dialog

Namun, beberapa orang dengan keras menentang program tersebut, dengan alasan bahwa pengeluaran militer Korea Selatan yang meningkat—sekarang mendekati USD50 miliar per tahun—yang mendorong perlombaan senjata antar-Korea.

“Artileri jarak jauh adalah ancaman, tetapi militer Korea Selatan dan penyebaran senjata juga merupakan ancaman bagi Korea Utara,” kata Park Jung-eun, sekretaris jenderal Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi Partisipatif, sebuah LSM terkemuka Korea Selatan.

Korea Selatan telah meningkatkan perangkat keras militernya di sejumlah bidang, termasuk pengembangan dan penyebaran kapal perusak Angkatan Laut canggih, artileri, sistem roket dan rudalnya sendiri, dan pesawat F-35 Joint Strike Fighter, yang semuanya di garis depan Korea Utara.

Ketidakseimbangan dalam kekuatan konvensional inilah yang mendorong Pyongyang ke strategi alternatif.

“Peningkatan senjata ini pada akhirnya mencegah Korea Utara membuat pilihan lain untuk fokus pada senjata asimetris seperti senjata nuklir dan senjata pemusnah massal,” kata Park.

Kepemimpinan demokratis Korea Selatan menghabiskan lebih banyak uang daripada kaum konservatif, kata Park, yang telah bekerja dalam aktivisme perdamaian selama 15 tahun. Kubu Demokrat ingin menghindari kritik karena bersikap lunak dan menenangkan militer yang kurang antusias dengan inisiatif perdamaian.

Ada juga motivasi perusahaan di balik persetujuan proyek yang begitu mahal.

“Ini bisa menjadi cara untuk memberi makan perusahaan pertahanan konglomerat, apakah Samsung atau Hanwha, untuk pertahanan militer yang tidak realistis,” kata Park seperti dikutip Al Jazeera, Jumat (16/7/2021).

Salah satu kritik terhadap Iron Dome adalah bahwa hal itu mencegah pemerintah Israel mengejar penyelesaian akar masalah yang sudah berlangsung lama secara diplomatis.

Park membuat penilaian yang sama untuk Korea Selatan. “Daripada Iron Dome, saya pikir kita perlu lebih fokus pada dialog," katanya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1673 seconds (0.1#10.140)