Cerita Warga Afrika Selatan Menentang Kerusuhan: 'Saya Lihat Kehancuran, Saya Menangis'

Kamis, 15 Juli 2021 - 10:31 WIB
loading...
Cerita Warga Afrika Selatan Menentang Kerusuhan: Saya Lihat Kehancuran, Saya Menangis
Para tentara patroli di sekitar toko yang hancur dijarah massa di Soweto, Afrika Selatan, sebagai protes atas pemenjaraan mantan presiden Jacob Zuma, 13 Juli 2021. Foto/REUTERS/Shipiwe Sibeko
A A A
JOHANNESBURG - Melihat kebuntuan yang tidak nyaman antara tentara Afrika Selatan dan kerumunan pemuda yang berhadapan pada Rabu di seberang jalan yang dipenuhi puing-puing di depan mal Maponya Soweto, Katlego Motati menggelengkan kepalanya dengan sedih.

“Saya berdiri di sini melawan pengacau dan hooligan,” kata pria berusia 32 tahun itu bercerita tentang kerusuhan dan penjarahan selama seminggu yang dipicu oleh pemenjaraan mantan Presiden Jacob Zuma. Rentetan kerusuhan itu telah menewaskan sedikitnya 72 orang.



Motati adalah salah satu dari puluhan warga yang keluar rumah untuk melawan kerusuhan yang mengguncang daerah miskin di Afrika Selatan.

"Ketika saya melihat kehancuran...saya menangis, melihat bagaimana semua ini terjadi," kata Motati seperti dikutip AP, Kamis (15/7/2021). “Pada akhirnya, kami akan berjuang karena ini. Ekonomi kita akan benar-benar rusak.”

Polisi dan tentara Afrika Selatan pada Rabu berjibaku untuk menertibkan daerah-daerah miskin di provinsi Gauteng dan Kwa-Zulu-Natal yang dilanda kerusuhan dan penjarahan yang dipicu oleh pemenjaraan Zuma pekan lalu.

Menurut pemerintah, lebih dari 200 insiden kekerasan terjadi dalam semalam.

Pihak berwenang secara dramatis meningkatkan jumlah tentara yang dikerahkan menjadi 25.000 personel untuk membantu polisi dalam memulihkan ketertiban. Hal itu disampaikan Menteri Pertahanan Nosiviwe Mapisa-Nqakula pada Rabu malam.

Pernyataan menteri itu merupakan sebuah isyarat bahwa patroli luas kemungkinan diperlukan untuk mencegah serangan baru oleh geng-geng pemuda miskin.

Polisi mengatakan sekitar 1.234 orang telah ditangkap dalam kekacauan itu. Banyak dari kematian disebabkan oleh kekacauan yang terjadi saat ribuan orang menggeledah toko, mencuri makanan, peralatan listrik, minuman keras dan pakaian.

Motati mengatakan dia tahu beberapa dari mereka yang mengambil bagian dalam penjarahan.

“Orang-orang seusia saya, di lingkungan saya, membual tentang mencuri barang-barang dan membuat keranjang belanja penuh dengan barang-barang,” katanya. “Sebentar lagi mereka akan datang ke tempat saya untuk meminjam gula. Hal-hal itu tidak akan membantu mereka.”

Motati, seorang koki terlatih dengan bisnis kateringnya sendiri, mengatakan sulit menemukan klien di tengah pandemi virus corona (COVID-19).

“Pandemi telah memperburuk keadaan, tentu saja, tetapi kemiskinan, pengangguran sudah buruk,” katanya tentang ekonomi Afrika Selatan, yang berada dalam resesi sebelum pandemi.



Tingkat pengangguran Afrika Selatan sebesar 32%, bahkan lebih tinggi di antara orang-orang yang berusia di bawah 35 tahun. Meskipun negara berpenduduk 60 juta tersebut memiliki ekonomi paling maju di Afrika, negara ini adalah salah satu yang paling tidak setara di dunia, dengan lebih dari 50% orang hidup dalam kemiskinan dan banyak yang menderita kerawanan pangan kronis. Itu merupakan data Bank Dunia.

Kemiskinan Afrika Selatan telah meningkat sejak 1994 ketika apartheid—sistem brutal penindasan rasial yang berakhir dengan pemilu demokratis—memperburuk frustrasi.

“Pandemi dan penguncian membuat lebih banyak orang kehilangan pekerjaan. Ini hanya kesempatan bagi orang-orang untuk mengambil apa pun yang bisa mereka dapatkan,” kata Motati.

“Saya tidak berpikir itu berasal dari Zuma yang dipenjara—itu dibangun sebelum itu. Kemudian satu orang mendobrak pintu dan yang lainnya mengikuti.”

Kekerasan pecah pekan lalu setelah Zuma mulai menjalani hukuman 15 bulan karena menghina pengadilan lantaran menolak mematuhi perintah pengadilan untuk bersaksi pada penyelidikan yang didukung negara yang menyelidiki tuduhan korupsi ketika dia menjadi presiden dari 2009 hingga 2018.

Protes di provinsi Gauteng dan Kwa-Zulu-Natal meningkat menjadi aksi penjarahan di wilayah kota, meskipun belum menyebar ke tujuh provinsi lainnya di Afrika Selatan, di mana polisi bersiaga.

KwaZulu-Natal, provinsi timur yang merupakan daerah asal Zuma dan tempat protes pertama kali dipicu, telah mengalami kekerasan yang signifikan. Truk yang menuju dan dari Durban, pelabuhan terbesar di Afrika Selatan, harus melakukan perjalanan dalam konvoi yang dilindungi oleh tentara.

Provinsi itu merupakan pusat kelompok etnis terbesar di Afrika Selatan, Zulu, di mana Zuma telah menarik banyak dukungan. Namun, raja Zulu, Raja Misuzulu kaZwelithini, pada hari Rabu mengimbau agar kekacauan itu diakhiri dan perdamaian dipulihkan.

"Orang-orang ayahku melakukan bunuh diri," katanya. “Ketika makanan tidak dapat dikirim karena truk dan gudang dibakar, orang-orang kami akan kelaparan.”

"Kekerasan itu telah mempermalukan kita semua,” katanya.

Pembakaran telah merusak beberapa pabrik dan pemerintah memerintahkan bensin tidak dijual dalam wadah untuk mencegah kebakaran ilegal.

Komando untuk meredam situasi telah diberikan pada hari Rabu untuk pasukan keamanan di Gauteng, provinsi terpadat di Afrika Selatan yang mencakup kota terbesar, Johannesburg.

“Saya dapat memastikan bahwa saat ini di Gauteng tenang,” kata Kolonel Mmathapelo Maine, ketika tentara mengacungkan senapan, melindungi mal besar Maponya di Soweto.

“Kami memiliki kendali atas situasi dan ini dengan kerja sama masyarakat,” kata Maine.

Di seberang jalan, puluhan warga mengantre untuk membeli roti dari truk yang dijual langsung ke warga ketimbang diantar ke toko-toko yang sudah tutup.

Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa bertemu secara online Rabu dengan para pemimpin partai politik Majelis Nasional untuk mendesak semua bekerja sama untuk memulihkan ketertiban.

"Ramaphosa melakukan konsultasi dengan berbagai sektor masyarakat untuk mengembangkan respons masyarakat luas,” kata Tyrone Seale, pelaksana tugas (Plt) juru bicara presiden.

“Presiden mengatakan kehancuran yang disaksikan oleh bangsa melukai semua orang Afrika Selatan, tidak hanya mereka yang berada di daerah yang terkena dampak,” katanya. “Dan itu paling menyakitkan bagi orang miskin, orangtua, dan orang yang rentan.”

Di pusat perbelanjaan Diepkloof Soweto, pemilik bisnis menilai kerusakan.

"Ini seperti diperkosa," kata Thandi Johnson, melihat tokonya; TWJ Events Supply, yang sehari sebelumnya dijarah oleh perusuh. "Dan kemudian Anda melihat pemerkosa berjalan melewati Anda," katanya sambil menunjuk ke arah warga yang lewat.

“Dua belas tahun saya telah mengerjakan bisnis ini dan itu hancur dalam satu hari,” katanya, gemetar karena marah ketika dia melihat di mana dia telah menjual balon dan dekorasi untuk pesta anak-anak dan acara lainnya.

“Mereka mendorong saya ke samping,” katanya tentang para perusuh. “Saya memohon kepada mereka bahwa saya adalah salah satu dari mereka, tetapi mereka datang begitu saja dan mengambil semuanya. Lihat!" katanya sambil menunjuk ke rak-rak kosong. “Saya tidak datang ke sini dengan kereta api, saya orang Sowetan! Saya lahir di sini.”

Johnson mengatakan dia khawatir asuransi tidak akan menutupi kerugiannya karena asuransinya tidak menanggung untuk kekerasan politik. "Saya akan selesai," katanya.

Di dekatnya, sekelompok pemuda sedang menyapu pecahan botol bir dan sampah di depan toko minuman keras yang telah dijarah sehari sebelumnya.

“Kami berusaha menjadi pemuda yang membawa harapan kembali ke negara kami,” kata Thando Matsepe, 24, dari Zodwa Khoza Foundation, sebuah kelompok pengembangan pemuda.

“Kemarin tempat ini hancur. Jadi kami mencoba untuk membersihkan dan membuat negara ini bangkit kembali,” katanya.

“Ini adalah kejahatan. Ini bukan kampanye 'Zuma Bebas'. Ini dimulai dengan Zuma, tetapi ini bukan cara yang harus dilakukan di Afrika Selatan. Mereka punya hak untuk protes dengan damai, baik. Tapi ini membawa kehancuran. Semua orang akan menderita.”
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2315 seconds (0.1#10.140)