Goita, Pemimpin Kudeta dan Didikan AS yang Jadi Presiden Mali
loading...
A
A
A
BAMAKO - Mahkamah Konstitusi Mali pada hari Jumat menyatakan Assimi Goita, kolonel yang memimpin kudeta militer minggu ini saat menjabat sebagai wakil presiden, menjadi presiden interim yang baru. Dia merupakan perwira dididikan pasukan Operasi Khusus AS dan mendapat pendidikan militer di Prancis dan Jerman.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut muncul justru ketika para pemimpin Afrika Barat bersiap untuk bertemu pada hari Minggu (30/5/2021) untuk menanggapi pengambilalihan kekuasaan di Mali. Kudeta militer itu telah membahayakan transisi kembali ke demokrasi dan dapat merusak perjuangan regional melawan kelompok militan bersenjata.
Goita menjadi wakil presiden sementara setelah memimpin kudeta Agustus lalu yang menggulingkan Presiden Ibrahim Boubacar Keita. Dia kemudian memerintahkan penangkapan Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane pada hari Senin lalu.
Keduanya mengundurkan diri pada Rabu saat masih dalam tahanan. Mereka kemudian dibebaskan.
Mahkamah Konstutusi mengatakan dalam putusannya bahwa Goita harus mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pengunduran diri Ndaw. "Untuk memimpin proses transisi sampai pada kesimpulannya dan menyandang gelar presiden transisi, kepala negara," bunyi putusan tersebut yang dilansir Reuters.
Putusan itu menetapkan Mali pada jalur yang bertentangan dengan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) yang beranggotakan 15 negara, yang bersikeras bahwa transisi, yang akan berakhir dengan pemilu pada Februari, tetap dipimpin oleh sipil.
Setelah menyetujui pada bulan Oktober untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan setelah kudeta terhadap Keita, ECOWAS mengatakan dalam sebuah deklarasi bahwa wakil presiden transisi dalam keadaan apa pun tidak dapat menggantikan presiden.
Para pemimpin ECOWAS dijadwalkan bertemu di Ghana pada hari Minggu besok.
Mereka dan kekuatan Barat termasuk Prancis dan Amerika Serikat (AS) khawatir krisis politik dapat memperburuk ketidakstabilan di Mali utara dan tengah, markas bagi afiliasi regional al-Qaeda dan ISIS.
Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut muncul justru ketika para pemimpin Afrika Barat bersiap untuk bertemu pada hari Minggu (30/5/2021) untuk menanggapi pengambilalihan kekuasaan di Mali. Kudeta militer itu telah membahayakan transisi kembali ke demokrasi dan dapat merusak perjuangan regional melawan kelompok militan bersenjata.
Goita menjadi wakil presiden sementara setelah memimpin kudeta Agustus lalu yang menggulingkan Presiden Ibrahim Boubacar Keita. Dia kemudian memerintahkan penangkapan Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane pada hari Senin lalu.
Keduanya mengundurkan diri pada Rabu saat masih dalam tahanan. Mereka kemudian dibebaskan.
Mahkamah Konstutusi mengatakan dalam putusannya bahwa Goita harus mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pengunduran diri Ndaw. "Untuk memimpin proses transisi sampai pada kesimpulannya dan menyandang gelar presiden transisi, kepala negara," bunyi putusan tersebut yang dilansir Reuters.
Putusan itu menetapkan Mali pada jalur yang bertentangan dengan Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) yang beranggotakan 15 negara, yang bersikeras bahwa transisi, yang akan berakhir dengan pemilu pada Februari, tetap dipimpin oleh sipil.
Setelah menyetujui pada bulan Oktober untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan setelah kudeta terhadap Keita, ECOWAS mengatakan dalam sebuah deklarasi bahwa wakil presiden transisi dalam keadaan apa pun tidak dapat menggantikan presiden.
Para pemimpin ECOWAS dijadwalkan bertemu di Ghana pada hari Minggu besok.
Mereka dan kekuatan Barat termasuk Prancis dan Amerika Serikat (AS) khawatir krisis politik dapat memperburuk ketidakstabilan di Mali utara dan tengah, markas bagi afiliasi regional al-Qaeda dan ISIS.