Berlutut Hadang Polisi Myanmar, Biarawati: Tembak Aku Saja
loading...
A
A
A
YANGON - Aksi heroik diperlihatkan seorang biarawati di tengah keberingasan pasukan keamanan junta Myanmar terhadap para demonstran anti kudeta. Berlutut di depan mereka, Suster Ann Rose Nu Tawng memohon kepada sekelompok petugas polisi bersenjata lengkap untuk menyelamatkan "anak-anak" dan mengambil nyawanya sebagai gantinya.
Foto biarawati Katolik dengan pakaian putih sederhanadantangan terentang, memohon kepada pasukan militer Myanmar itu pun langsung viral dan menuai pujian di negara mayoritas Buddha itu.
"Saya berlutut ... memohon kepada mereka (tentara) untuk tidak menembak dan menyiksa anak-anak, tetapi untuk menembak dan membunuh saya," kata Suster Ann kepada AFP seperti dikutip dari CBS News, Selasa (9/3/2021).
Aksi heroik Suster Ann Rose Nu Tawng itu terjadi di kota Myitkyina pada hari Senin kemarin. Kala itu para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di Myitkyina, Ibu Kota negara bagian Kachin, mengenakan helm bangunan dan membawa perisai buatan sendiri.
Saat polisi mulai berkumpul di sekitar mereka, Suster Ann Rose Nu Tawng dan dua biarawati lainnya memohon agar mereka pergi.
"Polisi mengejar untuk menangkap mereka dan saya mengkhawatirkan anak-anak," katanya. Pada saat itulah biarawati berusia 45 tahun itu berlutut.
Beberapa saat kemudian, saat dia memohon untuk menahan diri, polisi mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa di belakangnya.
"Anak-anak panik dan lari ke depan...Saya tidak bisa berbuat apa-apa tetapi saya berdoa agar Tuhan menyelamatkan dan membantu anak-anak," katanya.
Pertama dia melihat seorang pria tertembak di kepala jatuh mati di depannya - kemudian dia merasakan sengatan gas air mata.
"Saya merasa dunia sedang runtuh," katanya. "Saya sangat sedih itu terjadi saat saya memohon kepada mereka," imbuhnya.
Sebuah tim penyelamat lokal mengkonfirmasi kepada AFP bahwa dua pria ditembak mati di tempat selama bentrokan Senin kemarin, meskipun tidak mengkonfirmasi apakah peluru tajam atau peluru karet yang digunakan.
Pada hari Selasa, salah satu korban, Zin Min Htet, dibaringkan dalam peti kaca dan diangkut dengan mobil jenazah emas yang ditutupi bunga putih dan merah.
Para pelayat mengangkat tiga jari sebagai simbol perlawanan, saat ansambel musik pemain instrumen kuningan, penabuh genderang dan seorang bagpiper berseragam putih bersih memimpin prosesi pemakaman.
Insiden pada Senin kemarin bukanlah pertemuan pertama Suster Ann Rose Nu Tawng dengan pasukan keamanan. Pada 28 Februari dia membuat permohonan yang sama untuk belas kasihan, berjalan perlahan ke arah polisi dengan perlengkapan anti huru hara, berlutut dan memohon agar mereka berhenti.
"Saya mengira diri saya sudah mati sejak 28 Februari," katanya tentang hari saat dia membuat keputusan untuk melawan polisi bersenjata.
Pada hari Senin, dia ditemani oleh para suster dan uskup setempat, yang mengelilinginya saat dia memohon belas kasihan bagi para pengunjuk rasa.
"Kami berada di sana untuk melindungi saudara perempuan kami dan orang-orang kami karena dia mempertaruhkan nyawanya," kata Suster Mary John Paul kepada AFP.
Suster Ann Rose Nu Tawng mengaku mengalami ketakutan sangat mendalam, tetapi dia berkata bahwa dia harus berani dan akan terus membela "anak-anak".
"Saya tidak bisa berdiri dan menonton tanpa melakukan apapun, melihat apa yang terjadi di depan mata saya sementara semua Myanmar berduka," tukasnya.
Myanmar tengah berjuang menghadapi kekacauan setelah penggulingan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari oleh militer.
Ketika protes yang menuntut kembalinya demokrasi telah bergulir, junta terus meningkatkan penggunaan kekuatannya, menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan peluru tajam.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sejauh ini, lebih dari 60 orang telah tewas dalam demonstrasi anti-kudeta di seluruh negeri.
Foto biarawati Katolik dengan pakaian putih sederhanadantangan terentang, memohon kepada pasukan militer Myanmar itu pun langsung viral dan menuai pujian di negara mayoritas Buddha itu.
"Saya berlutut ... memohon kepada mereka (tentara) untuk tidak menembak dan menyiksa anak-anak, tetapi untuk menembak dan membunuh saya," kata Suster Ann kepada AFP seperti dikutip dari CBS News, Selasa (9/3/2021).
Aksi heroik Suster Ann Rose Nu Tawng itu terjadi di kota Myitkyina pada hari Senin kemarin. Kala itu para pengunjuk rasa turun ke jalan-jalan di Myitkyina, Ibu Kota negara bagian Kachin, mengenakan helm bangunan dan membawa perisai buatan sendiri.
Saat polisi mulai berkumpul di sekitar mereka, Suster Ann Rose Nu Tawng dan dua biarawati lainnya memohon agar mereka pergi.
"Polisi mengejar untuk menangkap mereka dan saya mengkhawatirkan anak-anak," katanya. Pada saat itulah biarawati berusia 45 tahun itu berlutut.
Beberapa saat kemudian, saat dia memohon untuk menahan diri, polisi mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa di belakangnya.
"Anak-anak panik dan lari ke depan...Saya tidak bisa berbuat apa-apa tetapi saya berdoa agar Tuhan menyelamatkan dan membantu anak-anak," katanya.
Pertama dia melihat seorang pria tertembak di kepala jatuh mati di depannya - kemudian dia merasakan sengatan gas air mata.
"Saya merasa dunia sedang runtuh," katanya. "Saya sangat sedih itu terjadi saat saya memohon kepada mereka," imbuhnya.
Sebuah tim penyelamat lokal mengkonfirmasi kepada AFP bahwa dua pria ditembak mati di tempat selama bentrokan Senin kemarin, meskipun tidak mengkonfirmasi apakah peluru tajam atau peluru karet yang digunakan.
Pada hari Selasa, salah satu korban, Zin Min Htet, dibaringkan dalam peti kaca dan diangkut dengan mobil jenazah emas yang ditutupi bunga putih dan merah.
Para pelayat mengangkat tiga jari sebagai simbol perlawanan, saat ansambel musik pemain instrumen kuningan, penabuh genderang dan seorang bagpiper berseragam putih bersih memimpin prosesi pemakaman.
Insiden pada Senin kemarin bukanlah pertemuan pertama Suster Ann Rose Nu Tawng dengan pasukan keamanan. Pada 28 Februari dia membuat permohonan yang sama untuk belas kasihan, berjalan perlahan ke arah polisi dengan perlengkapan anti huru hara, berlutut dan memohon agar mereka berhenti.
"Saya mengira diri saya sudah mati sejak 28 Februari," katanya tentang hari saat dia membuat keputusan untuk melawan polisi bersenjata.
Pada hari Senin, dia ditemani oleh para suster dan uskup setempat, yang mengelilinginya saat dia memohon belas kasihan bagi para pengunjuk rasa.
"Kami berada di sana untuk melindungi saudara perempuan kami dan orang-orang kami karena dia mempertaruhkan nyawanya," kata Suster Mary John Paul kepada AFP.
Suster Ann Rose Nu Tawng mengaku mengalami ketakutan sangat mendalam, tetapi dia berkata bahwa dia harus berani dan akan terus membela "anak-anak".
"Saya tidak bisa berdiri dan menonton tanpa melakukan apapun, melihat apa yang terjadi di depan mata saya sementara semua Myanmar berduka," tukasnya.
Myanmar tengah berjuang menghadapi kekacauan setelah penggulingan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari oleh militer.
Ketika protes yang menuntut kembalinya demokrasi telah bergulir, junta terus meningkatkan penggunaan kekuatannya, menggunakan gas air mata, meriam air, peluru karet, dan peluru tajam.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sejauh ini, lebih dari 60 orang telah tewas dalam demonstrasi anti-kudeta di seluruh negeri.
(ian)