Negara-negara Barat Tingkatkan Tekanan pada Junta Myanmar

Selasa, 23 Februari 2021 - 16:28 WIB
loading...
Negara-negara Barat Tingkatkan Tekanan pada Junta Myanmar
Kendaraan lapis baja terlihat saat unjuk rasa di Yangon, Myanmar, 14 Februari 2021. Foto/REUTERS
A A A
BRUSSELS - Uni Eropa (UE) sedang mempertimbangkan sanksi terhadap Myanmar sementara Amerika Serikat (AS) menghukum dua jenderal lagi atas kaitannya dengan kudeta militer.

Negara-negara Barat berusaha menekan junta agar tidak melakukan tindakan keras terhadap para demonstran.

Pemimpin junta Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyerukan agar energi dicurahkan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang terpuruk.



Pernyataan itu muncul sehari setelah pemogokan umum melumpuhkan bisnis dan pengunjuk rasa tetap turun ke jalan meskipun ada peringatan dari pihak berwenang.



Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan jutaan orang berunjuk rasa pada Senin (22/2) dalam jumlah yang "menakjubkan", meskipun ada ancaman junta.



“Para jenderal kehilangan kekuatan mereka untuk mengintimidasi dan dengan itu, kekuatan mereka. Sudah waktunya bagi mereka untuk mundur, saat rakyat Myanmar berdiri,” ungkap Andrews di Twitter.

Massa berkumpul kembali pada Selasa (23/2) meskipun dalam jumlah yang jauh lebih kecil. Tidak ada laporan konfrontasi dengan pasukan keamanan.

Semalam, pemerintah Uni Eropa (UE) menunjukkan dukungan bagi mereka yang berusaha melawan kudeta 1 Februari dan menuntut pembebasan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.

"Kami tidak siap untuk berdiri dan menonton," ungkap Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman Heiko Maas di Brussel.

Dia menambahkan bahwa sanksi dapat terjadi jika diplomasi gagal.

Uni Eropa sedang mempertimbangkan sanksi yang akan menargetkan bisnis yang dimiliki militer. Namun UE mengesampingkan sanksi pada sektor perdagangan untuk menghindari dampak pada para pekerja miskin.

Pasukan keamanan telah menunjukkan lebih banyak pengendalian daripada dalam konfrontasi sebelumnya dengan para demonstran.

Meski begitu, tiga pengunjuk rasa telah tewas, termasuk dua orang ditembak mati di kota kedua Mandalay pada Sabtu, dan seorang wanita yang meninggal pada Jumat setelah ditembak lebih dari sepekan sebelumnya di ibu kota, Naypyitaw. Sumber lain menyatakan total empat demonstran telah tewas.

Militer mengatakan seorang polisi tewas karena luka-luka yang dideritanya selama protes. Militer menuduh pengunjuk rasa memprovokasi kekerasan.

Minggu larut malam, media milik negara MRTV memperingatkan konfrontasi dapat menelan korban jiwa.

Pemimpin junta Myanmar Min Aung Hlaing mengatakan pihak berwenang mengikuti jalur demokrasi dan polisi menggunakan kekuatan minimal, seperti peluru karet, untuk menangani unjuk rasa.

Militer merebut kekuasaan setelah menuduh terjadi kecurangan pemilu 8 November yang dimenangkan partai pimpinan Suu Kyi, mengalahkan partai pro-militer.

Militer kemudian menahan Suu Kyi dan sebagian besar pimpinan partai. Komisi pemilu menolak gugatan militer tentang kecurangan pemilu.

“Di Naypyitaw, tempat militer bermarkas, polisi menahan puluhan pengunjuk rasa pada Senin ketika mereka membubarkan unjuk rasa,” ungkap pernyataan satu kelompok hak asasi manusia (HAM).

“Secara keseluruhan, 684 orang telah ditangkap, didakwa atau dijatuhi hukuman sejak kudeta,” papar kelompok itu.

Amerika Serikat pada Senin (22/2) memberlakukan sanksi terhadap dua anggota junta yakni Letnan Jenderal Moe Myint Tun dan Jenderal Maung Maung Kyaw. AS memperingatkan mereka dapat mengambil tindakan lebih lanjut.

Pemerintahan Presiden AS Joe Biden sebelumnya telah menjatuhkan sanksi kepada pelaksana presiden Myanmar dan beberapa perwira militer, serta tiga perusahaan di sektor batu giok dan permata.

"Militer harus mencabut tindakannya dan segera memulihkan pemerintahan yang terpilih secara demokratis," papar Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri Departemen Keuangan AS.

Inggris, Jerman dan Jepang juga mengutuk kekerasan di Myanmar. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak militer menghentikan penindasan pada para pengunjuk rasa.
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1895 seconds (0.1#10.140)