Di Tengah Wabah Covid-19, Harga Chanel dan Louis Vuitton Naik Fantastis

Senin, 18 Mei 2020 - 07:15 WIB
loading...
Di Tengah Wabah Covid-19,...
Warga melintas di depan toko Louis Vuitton di Chengdu, Provinsi Sichuan, China, beberapa waktu lalu. Foto/Reuters
A A A
MILAN - Pandemi corona (Covid-19) memang berimbas ke semua lini, tidak terkecuali barang-barang mewah. Brand mewah Chanel hingga Louis Vuitton mengalami kenaikan harga yang sangat fantastis di saat isolasi wilayah diberlakukan. Kenaikan itu disebabkan suplai produk mewah tidak lancar hingga upaya produsen itu menaikkan harga untuk menekan penurunan penjualan produk mereka.

Berbagai butik mewah melaporkan kenaikan harga produk di Korea Selatan (Korsel) dan China, di negara-negara ini mereka mulai membuka bisnis pada Maret lalu. Hal itu berbeda dengan penurunan penjualan di Eropa dan Amerika Serikat (AS) lantaran pelonggaran lockdown mulai diberlakukan.

Lembaga konsultan produk dan brand, Bain & Company, memperkirakan sektor bisnis senilai USD300 miliar itu akan mengalami penurunan hingga 35% pada tahun ini. Penurunan penjualan tersebut sekitar USD65 miliar hingga USD76 miliar. Itu menjadi momen terburuk dalam satu dekade terakhir.

Ingin menyelamatkan bisnis, perusahaan brand mewah pun berusaha meningkatkan harga untuk mendapatkan keuntungan. Perusahaan produsen pun melihat di China sebagai peluang untuk meningkatkan produk karena perekonomiannya mulai bangkit. (Baca: Chanel Luncurkan Arloji Bertahtahkan 400 Berlian)

“Pandemi sudah mulai menurun di China dan negara-negara Asia-Pasifik juga melonggarkan isolasi wilayah,” kata Guo Bin, kepala analisis industri ritel Pacific Securities Co. Dia mengungkapkan, kenaikan harga sebagai penolong agar perusahaan tetap bisa mendapatkan keuntungan besar.

Chanel mengungkapkan, mereka meningkatkan harga produk tas ikonik dan beberapa barang berbahan kulit sekitar 5% hingga 17% di seluruh dunia. Mereka berdalih bahwa pandemi corona menyebabkan biaya untuk mendapatkan material bahan bakar semakin tinggi dan ketersediaannya juga terbatas.
“Penyesuaian (harga) dibuat untuk menjamin kita menghindari perbedaan harga yang berlebihan di antara negara-negara,” demikian keterangan Chanel, dilansir Reuters.

Kelompok bisnis LVMH, label yang memproduksi Louis Vuitton, menyebutkan mereka mengalami kenaikan penjualan produksi hingga 50% di China pada awal April. Padahal, mereka telah menaikkan harga produk. Sebagai contoh, tas Neverfull MM Monogram dijual dengan harga USD1.500, padahal pada awal Mei lalu dijual USD1.430 dan USD1.320 pada akhir Oktober lalu. Itu menunjukkan adanya kenaikan 14%. Namun, Louis Vuitton menolak berkomentar mengenai kenaikan harga tersebut.

Di China dan Korsel, masyarakat harus rela mengantre di luar butik Chanel setelah rumor kenaikan harga itu menyebar di media sosial. Xie Lan, sutradara film dokumenter di Beijing, mengaku membeli tas senilai USD4.225 kesukaannya sebelum kenaikan harga. “Pekerjaan sangat sibuk dan membuat stres. Saya ingin menghibur diri (dengan membeli produk mewah),” paparnya.

Produsen perhiasan AS, Tiffany, yang dibeli LVMH, juga meningkatkan harga produknya di Korsel senilai 10% pada 6 Mei lalu. Hal itu diungkapkan seorang manajer toko Tiffany di Seoul. “Tiffany mengkaji secara reguler strategi kenaikan harga, termasuk membandingkan masing-masing pasar di mana kita berbisnis untuk merefleksikan hal lain, seperti fluktuasi mata uang dan biaya produksi,” ujar juru bicara Tiffany kepada Reuters.

Para analis menyatakan, brand kuat seperti Louis Vuitton bisa saja menaikkan harga untuk meningkatkan penjualan dan pendapatan karena krisis virus corona. Pasalnya, mereka juga mengalami penurunan pendapatan karena adanya larangan bepergian internasional dan krisis ekonomi yang melanda Eropa dan AS. “Itu (kenaikan harga) merupakan strategi untuk mendapatkan keuntungan,” ujar Luca Solca, analis produk mewah di Bernstein, firma konsultan ekonomi. (Baca juga: Balenciaga Luncurkan Sandal Rumah Kulit Rp7 Juta)

Solca menambahkan, tidak semua label mengikuti langkah menaikkan harga karena dikhawatirkan memicu kekecewaan dari konsumen. Tod’s, misalnya, tidak berencana mengubah harga produk. Mereka memilih mempertahankan untuk menjaga kepercayaan konsumen.

Namun, kebanyakan brand justru harus berjuang keras dengan banyaknya produk yang belum terjual. Mereka kini memilih menahan diri untuk tidak memberikan diskon besar di toko ataupun penjualan online. Mereka tetap menjual produk dengan harga yang sama untuk menjaga aura eksklusivitas produk mereka.

Menaikkan harga produk brand juga memicu risiko. Di Beijing, Luna Xin, broker keuangan, mengungkapkan dia menyerah untuk membeli Chanel Classic Flap karena harganya melonjak tajam pada Kamis lalu, 14,5%. “Pada September lalu, produk tersebut mencapai 39.000 yuan, kini harganya naik 10.000 yuan,” katanya.

Masih Mengandalkan China

China merupakan pasar utama brand produk mewah. Tidak kurang dari 35% pasar produk tersebut berada di Negeri Tirai Bambu pada 2019 lalu. Pada 2025, China diprediksi menguasai 50% penjualan produk mewah. Dalam analisis data transaksi UnionPay, separuh lebih penjualan produk barang mewah pada 2012-2018 berada di China. Laporan McKinsey China Luxury Report juga memproduksi penjualan produk mewah di China bisa mencapai 65% dari penjualan barang branded di seluruh dunia.

Dengan larangan bepergian ke luar negeri, konsumen China memilih membeli produk branded di dalam negeri. Itu justru akan meningkatkan penjualan produk mewah tersebut. Produsen pun memandang hal itu sebagai kesempatan untuk meningkatkan harga produknya. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1792 seconds (0.1#10.140)