Rezim Erdogan Dituding 'Jual' Uighur dengan Imbalan Vaksin China

Sabtu, 06 Februari 2021 - 05:37 WIB
loading...
Rezim Erdogan Dituding Jual Uighur dengan Imbalan Vaksin China
Rezim Erdogan dituding jual etnis Uighur dengan imbalan vaksin COVID-19 buatan China. Foto/NPR
A A A
ANKARA - Legislator oposisi Turki menuduh para pemimpin negara itu secara diam-diam telah menjual Muslim Uighur ke China dengan imbalan vaksin COVID-19 .

Puluhan juta botol vaksin COVID-19 buatan China yang dijanjikan belum dikirim. Sementara itu, dalam beberapa bulan terakhir, polisi Turki telah menggerebek dan menahan sekitar 50 etnis Uighur di pusat deportasi. Jumlah ini meningkat tajam dari tahun lalu.

Meskipun belum ada bukti kuat yang muncul, para legislator oposisi dan etnis Uighur khawatir jika Beijing menggunakan pengaruh vaksin untuk memenangkan pengesahan perjanjian ekstradisi. Perjanjian itu ditandatangani bertahun-tahun yang lalu tetapi tiba-tiba diratifikasi oleh China pada bulan Desember, dan dapat dihadapkan pada anggota parlemen Turki secepat bulan ini.



Ketakutan terhadap kesepakatan itu muncul ketika pengiriman pertama vaksin China ditahan selama berminggu-minggu di bulan Desember. Kala itu, para pejabat menyalahkan masalah izin.

Tetapi bahkan sekarang, Yildirim Kaya, seorang legislator dari partai oposisi utama Turki, mengatakan bahwa China hanya memberikan sepertiga dari 30 juta dosis yang dijanjikan pada akhir Januari. Turki sangat bergantung pada vaksin Sinovac China untuk mengimunisasi populasinya dari virus yang telah menginfeksi sekitar 2,5 juta dan menewaskan lebih dari 26.000 warganya.

“Penundaan seperti itu tidak normal. Kami telah membayar vaksin ini,” kata Kaya.

“Apakah China memeras Turki?” tanyanya seperti dikutip dari AP, Sabtu (6/2/2021).

Kaya mengatakan dia secara resmi bertanya kepada pemerintah Turki tentang tekanan dari China tetapi belum mendapat tanggapan.



Baik otoritas Turki dan China bersikeras bahwa rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi tidak dimaksudkan untuk menargetkan warga Uighur untuk dideportasi. Media pemerintah China menyebut kekhawatiran seperti itu "tercoreng," dan juru bicara Kementerian Luar Negeri Wang Wenbin menyangkal adanya hubungan antara vaksin dan perjanjian itu.

"Saya pikir spekulasi Anda tidak berdasar," kata Wang pada konferensi pers hari Kamis lalu.

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, mengatakan pada bulan Desember bahwa penundaan vaksin tidak terkait dengan masalah etnis Uighur.

“Kami tidak menggunakan Uighur untuk tujuan politik, kami membela hak asasi mereka,” tegas Cavusoglu.

Tetapi meskipun sangat sedikit yang benar-benar dideportasi untuk saat ini, penahanan baru-baru ini telah membuat merinding komunitas Uighur Turki yang diperkirakan berjumlah 50.000 orang. Dan dalam beberapa pekan terakhir, duta besar Turki di Beijing memuji vaksin China sambil menambahkan bahwa Ankara menghargai "kerja sama yudisial" dengan China. Banyak etnis Uighur takut pernyataan itu adalah sebuah kode untuk kemungkinan tindakan tegas.



Di masa lalu, sejumlah kecil etnis Uighur telah pergi ke Suriah untuk berlatih dengan militan. Tetapi kebanyakan etnis Uighur di Turki menghindari para ekstrimis dan khawatir mereka menyakiti perjuangan Uighur.

Pengacara yang mewakili warga Uighur yang ditahan mengatakan bahwa dalam kebanyakan kasus, polisi Turki tidak memiliki bukti terkait dengan kelompok teror. Profesor hukum Ankara Ilyas Dogan yakin penahanan itu bermotif politik.

"Mereka tidak memiliki bukti konkret," kata Dogan, yang mewakili enam orang Uighur yang sekarang berada di pusat deportasi. Mereka tidak serius.

Bahkan jika RUU itu disahkan, Dogan meragukan akan ada deportasi massal, mengingat simpati publik yang luas untuk etnis Uighur di Turki. Namun dia yakin kemungkinan individu dideportasi akan meningkat secara signifikan.

Karena ikatan budaya bersama, Turki telah lama menjadi tempat berlindung yang aman bagi etnis Uighur, kelompok Turki yang berasal dari wilayah Xinjiang barat jauh China. Presiden Turki Recep Erdogan mengecam perlakuan China terhadap Uighur sebagai "genosida" lebih dari satu dekade lalu.



Namun itu semua berubah sejak upaya kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Peristiwa itu mendorong pembersihan massal dan mengasingkan Erdogan dari pemerintah Barat. Yang berhasil mengisi kekosongan itu adalah China, yang meminjamkan serta menginvestasikan miliaran di Turki.

Tanda-tanda ikatan ekonomi yang kuat berlimpah, besar dan kecil. Seorang eksportir dengan bisnis di China ditunjuk sebagai duta besar Turki untuk Beijing. China juga mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara senilai USD1,7 miliar di tepi laut Mediterania Turki. Bandara Istanbul memperoleh sertifikasi "Bandara Ramah China" pertama di dunia, menyisihkan konter check-in untuk menerima ribuan wisatawan dari Shanghai dan Beijing. Dan retorika Presiden Erdogan yang dulu berapi-api telah berubah menjadi membosankan dan diplomatis, memuji para pemimpin China atas bantuan mereka.

China juga mulai meminta ekstradisi lebih banyak warga Uighur dari Turki. Dalam satu bocoran permintaan ekstradisi 2016 yang pertama kali dilaporkan oleh Axios dan diperoleh secara independen oleh The Associated Press, pejabat China meminta ekstradisi mantan vendor ponsel Uighur, menuduhnya mempromosikan kelompok teror ISIS secara online. Penjual ditangkap tetapi akhirnya dibebaskan dari dakwaan.

Abdurehim Parac, seorang penyair Uighur yang ditahan dua kali dalam beberapa tahun terakhir, mengatakan bahkan penahanan di Turki "seperti hotel" dibandingkan dengan kondisi "neraka" yang dia alami selama tiga tahun di penjara China. Imim akhirnya dibebaskan setelah hakim membersihkan namanya. Tapi dia kesulitan tidur di malam hari karena takut RUU ekstradisi akan disahkan, dan menyebut tekanan itu "tak tertahankan".

“Kematian menanti saya di China,” ujarnya.



Ketakutan yang meningkat sudah mendorong masuknya orang-orang Uighur ke Jerman, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya.

"Beberapa sangat putus asa sehingga mereka bahkan menyelinap melintasi perbatasan secara ilegal," kata Ali Kutad, yang melarikan diri dari China ke Turki pada tahun 2016.

“Turki adalah tanah air kedua kami,” kata Kutad. "Kami sangat takut," ia memungkasi.
(ber)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0962 seconds (0.1#10.140)