Rezim Erdogan Dituding 'Jual' Uighur dengan Imbalan Vaksin China
loading...
A
A
A
Karena ikatan budaya bersama, Turki telah lama menjadi tempat berlindung yang aman bagi etnis Uighur, kelompok Turki yang berasal dari wilayah Xinjiang barat jauh China. Presiden Turki Recep Erdogan mengecam perlakuan China terhadap Uighur sebagai "genosida" lebih dari satu dekade lalu.
Namun itu semua berubah sejak upaya kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Peristiwa itu mendorong pembersihan massal dan mengasingkan Erdogan dari pemerintah Barat. Yang berhasil mengisi kekosongan itu adalah China, yang meminjamkan serta menginvestasikan miliaran di Turki.
Tanda-tanda ikatan ekonomi yang kuat berlimpah, besar dan kecil. Seorang eksportir dengan bisnis di China ditunjuk sebagai duta besar Turki untuk Beijing. China juga mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara senilai USD1,7 miliar di tepi laut Mediterania Turki. Bandara Istanbul memperoleh sertifikasi "Bandara Ramah China" pertama di dunia, menyisihkan konter check-in untuk menerima ribuan wisatawan dari Shanghai dan Beijing. Dan retorika Presiden Erdogan yang dulu berapi-api telah berubah menjadi membosankan dan diplomatis, memuji para pemimpin China atas bantuan mereka.
China juga mulai meminta ekstradisi lebih banyak warga Uighur dari Turki. Dalam satu bocoran permintaan ekstradisi 2016 yang pertama kali dilaporkan oleh Axios dan diperoleh secara independen oleh The Associated Press, pejabat China meminta ekstradisi mantan vendor ponsel Uighur, menuduhnya mempromosikan kelompok teror ISIS secara online. Penjual ditangkap tetapi akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
Abdurehim Parac, seorang penyair Uighur yang ditahan dua kali dalam beberapa tahun terakhir, mengatakan bahkan penahanan di Turki "seperti hotel" dibandingkan dengan kondisi "neraka" yang dia alami selama tiga tahun di penjara China. Imim akhirnya dibebaskan setelah hakim membersihkan namanya. Tapi dia kesulitan tidur di malam hari karena takut RUU ekstradisi akan disahkan, dan menyebut tekanan itu "tak tertahankan".
“Kematian menanti saya di China,” ujarnya.
Ketakutan yang meningkat sudah mendorong masuknya orang-orang Uighur ke Jerman, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya.
"Beberapa sangat putus asa sehingga mereka bahkan menyelinap melintasi perbatasan secara ilegal," kata Ali Kutad, yang melarikan diri dari China ke Turki pada tahun 2016.
Namun itu semua berubah sejak upaya kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Peristiwa itu mendorong pembersihan massal dan mengasingkan Erdogan dari pemerintah Barat. Yang berhasil mengisi kekosongan itu adalah China, yang meminjamkan serta menginvestasikan miliaran di Turki.
Tanda-tanda ikatan ekonomi yang kuat berlimpah, besar dan kecil. Seorang eksportir dengan bisnis di China ditunjuk sebagai duta besar Turki untuk Beijing. China juga mendanai pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara senilai USD1,7 miliar di tepi laut Mediterania Turki. Bandara Istanbul memperoleh sertifikasi "Bandara Ramah China" pertama di dunia, menyisihkan konter check-in untuk menerima ribuan wisatawan dari Shanghai dan Beijing. Dan retorika Presiden Erdogan yang dulu berapi-api telah berubah menjadi membosankan dan diplomatis, memuji para pemimpin China atas bantuan mereka.
China juga mulai meminta ekstradisi lebih banyak warga Uighur dari Turki. Dalam satu bocoran permintaan ekstradisi 2016 yang pertama kali dilaporkan oleh Axios dan diperoleh secara independen oleh The Associated Press, pejabat China meminta ekstradisi mantan vendor ponsel Uighur, menuduhnya mempromosikan kelompok teror ISIS secara online. Penjual ditangkap tetapi akhirnya dibebaskan dari dakwaan.
Abdurehim Parac, seorang penyair Uighur yang ditahan dua kali dalam beberapa tahun terakhir, mengatakan bahkan penahanan di Turki "seperti hotel" dibandingkan dengan kondisi "neraka" yang dia alami selama tiga tahun di penjara China. Imim akhirnya dibebaskan setelah hakim membersihkan namanya. Tapi dia kesulitan tidur di malam hari karena takut RUU ekstradisi akan disahkan, dan menyebut tekanan itu "tak tertahankan".
“Kematian menanti saya di China,” ujarnya.
Ketakutan yang meningkat sudah mendorong masuknya orang-orang Uighur ke Jerman, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya.
"Beberapa sangat putus asa sehingga mereka bahkan menyelinap melintasi perbatasan secara ilegal," kata Ali Kutad, yang melarikan diri dari China ke Turki pada tahun 2016.