Aung San Suu Kyi Desak Rakyat Myanmar Lawan Kudeta Militer
loading...
A
A
A
NAYPYIDAW - Pemimpin pemerintahan sipil Myanmar , Aung San Suu Kyi , mendesak rakyat di seluruh negera itu untuk menentang kudeta yang dilakukan militer. Aung San Suu Kyi dan pejabat terkemuka lainnya ditahan sehari sebelum anggota parlemen terpilih pada November lalu dijadwalkan untuk memulai masa jabatan parlemen baru.
"Saya mendesak rakyat untuk tidak menerima ini, untuk merespons dan sepenuh hati memprotes kudeta oleh militer," bunyi pernyataan yang menggunakan nama Suu Kyi tetapi tidak ada tanda tangannya.
"Hanya rakyat yang penting," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari NBC News, Selasa (2/2/2021).
Sebuah catatan tulisan tangan di bagian bawah pernyataan yang diposting ke Facebook oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi mengatakan pernyataan itu ditulis sebelum hari Senin untuk mengantisipasi perebutan kekuasaan oleh tentara.
NLD memenangkan 83 persen suara dalam pemilihan umum bulan November dan komisi pemilihan negara itu telah menolak tuduhan kecurangan. Tentara Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan mengatakan akan mengadakan pemilihan umum baru.
Menurut Myawaddy TV, yang dikendalikan oleh tentara panglima militer Min Aung Hliang sekarang akan memimpin pemerintahan. Militer Myanmar mengatakan pihaknya mengambil kendali sebagai tanggapan atas kecurangan pemilu.
Pengumuman di televisi milik militer mengutip konstitusi negara, yang memungkinkan militer mengambil alih pada saat-saat darurat. Penyiar mengatakan krisis virus Corona dan kegagalan pemerintah untuk menunda pemilihan umum pada bulan November adalah alasan keadaan darurat tersebut.
Militer merancang konstitusi pada 2008 dan mempertahankan kekuasaannya di bawah piagam dengan mengorbankan pemerintahan sipil yang demokratis. Juru kampanye internasional Human Rights Watch yang berbasis di New York menggambarkan klausul itu sebagai "mekanisme kudeta yang menunggu."
Pengambilalihan tersebut dengan cepat dikutuk di luar negeri. Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, Australia dan Singapura semuanya menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi.
Suu Kyi (75), pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, menang telak dalam pemilihan umum tahun 2015 setelah 15 tahun menjalani tahanan rumah.
Reputasinya ternoda setelah terungkap bahwa ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari penganiayaan tentara pada tahun 2017, tetapi dia tetap populer di negaranya.
Thinzar Shunlei Yi, seorang aktivis hak asasi manusia di Yangon, menyebut apa yang terjadi sebagai pengulangan sejarah sehubungan dengan kemenangan NLD pada pemilihan umum tahun 1990.
"Militer menggunakan taktik yang sama ketika mereka tidak setuju dengan hasil pemilu," katanya.
"Kami prihatin tentang berapa lama kudeta ini akan berlangsung," tambahnya.
"Sebelumnya, ketika mereka melakukannya pada tahun 1962, itu berlangsung selama beberapa dekade," tukasnya.
"Saya mendesak rakyat untuk tidak menerima ini, untuk merespons dan sepenuh hati memprotes kudeta oleh militer," bunyi pernyataan yang menggunakan nama Suu Kyi tetapi tidak ada tanda tangannya.
"Hanya rakyat yang penting," sambung pernyataan itu seperti dikutip dari NBC News, Selasa (2/2/2021).
Sebuah catatan tulisan tangan di bagian bawah pernyataan yang diposting ke Facebook oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi mengatakan pernyataan itu ditulis sebelum hari Senin untuk mengantisipasi perebutan kekuasaan oleh tentara.
NLD memenangkan 83 persen suara dalam pemilihan umum bulan November dan komisi pemilihan negara itu telah menolak tuduhan kecurangan. Tentara Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan mengatakan akan mengadakan pemilihan umum baru.
Menurut Myawaddy TV, yang dikendalikan oleh tentara panglima militer Min Aung Hliang sekarang akan memimpin pemerintahan. Militer Myanmar mengatakan pihaknya mengambil kendali sebagai tanggapan atas kecurangan pemilu.
Pengumuman di televisi milik militer mengutip konstitusi negara, yang memungkinkan militer mengambil alih pada saat-saat darurat. Penyiar mengatakan krisis virus Corona dan kegagalan pemerintah untuk menunda pemilihan umum pada bulan November adalah alasan keadaan darurat tersebut.
Militer merancang konstitusi pada 2008 dan mempertahankan kekuasaannya di bawah piagam dengan mengorbankan pemerintahan sipil yang demokratis. Juru kampanye internasional Human Rights Watch yang berbasis di New York menggambarkan klausul itu sebagai "mekanisme kudeta yang menunggu."
Pengambilalihan tersebut dengan cepat dikutuk di luar negeri. Amerika Serikat (AS), Inggris, Uni Eropa, Australia dan Singapura semuanya menyerukan pembebasan Aung San Suu Kyi.
Baca Juga
Suu Kyi (75), pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, menang telak dalam pemilihan umum tahun 2015 setelah 15 tahun menjalani tahanan rumah.
Reputasinya ternoda setelah terungkap bahwa ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari penganiayaan tentara pada tahun 2017, tetapi dia tetap populer di negaranya.
Thinzar Shunlei Yi, seorang aktivis hak asasi manusia di Yangon, menyebut apa yang terjadi sebagai pengulangan sejarah sehubungan dengan kemenangan NLD pada pemilihan umum tahun 1990.
"Militer menggunakan taktik yang sama ketika mereka tidak setuju dengan hasil pemilu," katanya.
"Kami prihatin tentang berapa lama kudeta ini akan berlangsung," tambahnya.
"Sebelumnya, ketika mereka melakukannya pada tahun 1962, itu berlangsung selama beberapa dekade," tukasnya.
(ber)