Biden Bekukan Penjualan Senjata ke Arab Saudi dan UEA

Kamis, 28 Januari 2021 - 04:33 WIB
loading...
Biden Bekukan Penjualan Senjata ke Arab Saudi dan UEA
Pemerintahan Joe Biden telah membekukan sementara penjualan senjata yang tertunda ke Arab Saudi dan UEA, termasuk penjualan pesawat tempur F-35. Foto/Ilustrasi
A A A
WASHINGTON - Pemerintahan Joe Biden telah membekukan sementara penjualan senjata yang tertunda ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) saat meninjau kesepakatan senjata era Trump. Demikian laporan Wall Street Journal (WSJ).

Pejabat AS mengatakan kepada WSJ bahwa pemerintahan Biden menghentikan sementara implementasi kesepakatan baru-baru ini yang diumumkan oleh pemerintahan Trump, termasuk penjualan amunisi ke Arab Saudi dan jet tempur F-35 ke UEA.

Rencana Washington untuk menjual jet tempur siluman canggih ke Abu Dhabi pertama kali muncul pada Agustus lalu, beberapa hari setelah UEA setuju untuk menormalisasi hubungan dengan Israel dalam pembicaraan yang ditengahi Gedung Putih.



Sampai saat itu, AS tidak mengizinkan negara mana pun di Timur Tengah untuk membeli F-35, kecuali Israel, karena khawatir peralatan militer tersebut akan merusak keunggulan militer kualitatif Israel atau QME.

QME adalah persyaratan hukum bagi AS untuk memastikan Israel mempertahankan superioritas militer di wilayah tersebut.

Pembekuan penjualan amunisi ke kerajaan di Timur Tengah kemungkinan menunjuk pada penjualan 7.500 peluru kendali presisi yang diumumkan oleh pemerintahan Trump bulan lalu.

Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri menggambarkan tindakan tersebut, yang diambil sehari setelah Menteri Luar Negeri Anthony Blinken dilantik, adalah untuk sementara waktu menghentikan implementasi beberapa transfer dan penjualan pertahanan AS yang tertunda di bawah Penjualan Militer Asing dan Penjualan Komersial Langsung untuk memungkinkan kepemimpinan yang baru mendapat kesempatan untuk meninjau keputusan.



"Ini adalah tindakan administratif rutin yang khas untuk hampir semua transisi, dan menunjukkan komitmen Administrasi untuk transparansi dan tata kelola yang baik, serta memastikan penjualan senjata AS memenuhi tujuan strategis kami untuk membangun mitra keamanan yang lebih kuat, dapat dioperasikan, dan lebih mampu," kata juru bicara itu seperti dikutip dari Middle East Eye, Kamis (28/1/2021).

Tidak jelas berapa lama pembekuan tersebut akan diberlakukan.

Namun, meskipun ada pembekuan, pejabat AS mengatakan kepada WSJ bahwa peninjauan penjualan itu tidak biasa, dan meskipun ada jeda, banyak transaksi kemungkinan akan dilanjutkan.

Saat kampanye, Biden berjanji untuk mengakhiri dukungan AS untuk perang yang dipimpin Saudi di Yaman, dan memastikan senjata Amerika tidak digunakan untuk memicu konflik.



"Presiden terpilih telah menjelaskan bahwa kami akan mengakhiri dukungan kami untuk kampanye militer yang dipimpin oleh Arab Saudi di Yaman, dan saya pikir kami akan mengerjakannya dalam waktu yang sangat singkat," kata Blinken pekan lalu selama sidang konfirmasi di Senat AS.

Kelompok hak asasi manusia telah mengkritik keras kesepakatan senjata dengan negara-negara Teluk. Mereka mengatakan bahwa senjata-senjata itu digunakan dalam perang di Yaman, negara yang menghadapi apa yang digambarkan oleh PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

CEO Raytheon Greg Hayes mengatakan kepada investor pada hari Selasa bahwa dia mengharapkan Biden untuk memblokir setidaknya satu dari kesepakatan senjata pabrikan senjata baru-baru ini dengan Riyadh.

"Kami berasumsi bahwa kami akan mendapatkan lisensi untuk menyediakan sistem senjata ofensif ini kepada pelanggan kami," situs berita Defense One mengutipnya.



"Dengan perubahan administrasi, kecil kemungkinan kami bisa mendapatkan lisensi untuk ini. Jadi kami dengan tepat memutuskan bahwa kami tidak dapat lagi mendukung pemesanan kontrak itu," sambungnya.

Namun, sementara pembekuan mungkin menandakan pergeseran dari pemerintahan Trump, kepala Raytheon mengatakan pada hari Selasa bahwa itu tidak akan berarti mengakhiri semua penjualan senjata ke Timur Tengah.

"Perdamaian tidak akan pecah di Timur Tengah dalam waktu dekat," kata Hayes.

"Saya pikir itu tetap menjadi area di mana kami akan terus melihat pertumbuhan yang solid," tukasnya.

(ber)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1462 seconds (0.1#10.140)