Pertama dalam 15 Tahun, Abbas Umumkan Pemilu Palestina

Sabtu, 16 Januari 2021 - 13:41 WIB
loading...
Pertama dalam 15 Tahun,...
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan pemilu Palestina pertama dalam 15 tahun. Foto/The Hill
A A A
YERUSALEM - Presiden Palestina , Mahmoud Abbas , telah mengumumkan pemilihan parlemen dan presiden dalam upaya untuk mengakhiri perpecahan internal yang berkepanjangan. Ini akan menjadi pemilu pertama bagi Palestina dalam 15 tahun.

Keputusan itu juga terjadi beberapa hari sebelum pelantikan presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Joe Biden , di mana Palestina ingin mengatur ulang hubungan setelah mereka mencapai titik terendah di bawah Donald Trump .

Menurut keputusan yang dikeluarkan oleh kantor Abbas pada hari Jumat, Otoritas Palestina (PA), yang memiliki pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat yang diduduki Israel, akan mengadakan pemilihan legislatif pada 22 Mei dan pemilihan presiden pada 31 Juli.



"Presiden menginstruksikan komite pemilihan dan semua aparat negara untuk meluncurkan proses pemilihan demokratis di semua kota di tanah air," bunyi keputusan itu, mengacu pada Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (16/1/2021).

Faksi Palestina telah memperbarui upaya rekonsiliasi untuk mencoba dan menghadirkan front persatuan sejak Israel mencapai perjanjian diplomatik tahun lalu dengan empat negara Arab.

Kesepakatan itu membuat kecewa warga Palestina dan membuat mereka lebih terisolasi di wilayah yang telah melihat perubahandukungan yang lebihmencerminkan ketakutan bersama terhadap Iran oleh Israel dan negara-negara Teluk Arab.

Hamas , kelompok militan Islam Palestina yang merupakan saingan domestik utama Abbas, menyambut baik pengumuman tersebut.



"Kami telah bekerja dalam beberapa bulan terakhir untuk menyelesaikan semua hambatan sehingga kami dapat mencapai hari ini," bunyi pernyataan yang dikeluarkan Hamas.

Hamas menyerukan pemilihan umum yang adil di mana para pemilih dapat mengekspresikan keinginan mereka tanpa batasan atau tekanan.

Langkah tersebut secara luas dilihat sebagai respon atas kritik terhadap legitimasi demokrasi lembaga politik Palestina, termasuk kepresidenan Abbas.

"Dengan Biden menjabat pada 20 Januari, seolah-olah Palestina mengatakan kepada pemerintahan AS yang akan datang: kami siap untuk terlibat" kata Hani Habib, seorang analis Gaza.



Tetapi analis veteran Tepi Barat Hani al-Masri skeptis bahwa pemilu akan terjadi. Dia mengutip ketidaksepakatan internal dalam Fatah dan Hamas, dan kemungkinan sikap oposisi AS, Israel serta Uni Eropa terhadap pemerintah Palestina termasuk Hamas, yang mereka anggap sebagai kelompok teroris.

"Apakah itu akan mengakhiri perpecahan atau mengabadikannya dan akankah hasilnya dihormati oleh Palestina, Israel, dan Amerika?" tanya Masri dalam sebuah postingan di media sosial.

Pemilu parlemen terakhir Palestina, pada 2006, menghasilkan kemenangan mengejutkan oleh Hamas, menciptakan keretakan yang semakin dalam ketika Hamas merebut kendali militer di Gaza pada 2007.

Jajak pendapat terbaru menunjukkan persaingan yang ketat. Pada Desember 2020, Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menemukan bahwa 38% akan memilih Fatah dalam pemilihan parlemen, berbanding 34% untuk Hamas.



Tetapi mereka memperkirakan bahwa Hamas akan unggul dalam pemilihan presiden, dengan 50% lebih memilih pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dan 43% untuk Abbas.

Meskipun Abbas memenangkan pemilihan presiden terakhir pada tahun 2005, Hamas tidak mencalonkan diri untuk melawannya.

Hamas menghentikan boikotnya terhadap proses politik pada tahun berikutnya, menjalankan kampanye parlementer yang terorganisir dengan baik di bawah panji "Perubahan dan Reformasi" serta mengalahkan faksi Fatah yang dominan sampai sekarang yang secara luas dipandang korup, nepotisme, tidak tersentuh dan terpecah belah.

Masih belum jelas bagaimana Abbas akan mengatasi kesulitan logistik dalam menyelenggarakan pemilu di tiga wilayah, di mana masing-masing berada di bawah kendali yang berbeda.



Israel merebut Yerusalem Timur dalam perang Timur Tengah 1967 dan mencaploknya dalam suatu tindakan yang belum mendapat pengakuan internasional. Negara Zionis itu menganggap semua wilayah Yerusalem sebagai ibukotanya, sementara Palestina mencari timur kota sebagai ibu kota negara masa depan.

Israel melarang aktivitas resmi apa pun di Yerusalem oleh PA, dengan mengatakan itu melanggar kesepakatan perdamaian sementara tahun 1990-an.
(ber)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1247 seconds (0.1#10.140)