Inggris Pisah dari UE, Antara Optimisme dan Pesimisme

Sabtu, 02 Januari 2021 - 06:44 WIB
loading...
Inggris Pisah dari UE,...
Inggris telah resmi melepaskan diri dari orbit Uni Eropa (UE) dengan nuansa optimisme dan pesimisme dalam memandang masa depan. FOTO/briefingsforbritain.co.uk
A A A
LONDON - Inggris telah resmi melepaskan diri dari orbit Uni Eropa (UE) dengan nuansa optimisme dan pesimisme dalam memandang masa depan. Optimisme karena Inggris bisa lepas dari kekangan UE dan bebas menentukan diri sebagai negara merdeka. Inggris tak lagi didikte para pemimpin UE seperti Prancis dan Jerman. Di sisi lain, pesimisme juga muncul lantaran Inggris tidak memiliki ikatan ekonomi dan geopolitik dengan UE lagi.

Inggris lepas dari UE pada Kamis (31/12) waktu setempat tepat pukul 13.00 secara de facto. Proses transisi berlangsung selama 11 bulan, setelah secara formal akan berakhir pada 31 Januari mendatang. Keputusan final ini lahir setelah lima tahun negosiasi antara Inggris dan UE yang berlangsung alot dan sengit. Brexit merupakan peristiwa mahasejarah di Eropa sejak 1991 ketika Uni Soviet hancur berkeping-keping.

Para pendukung Brexit menyebutkan era baru telah muncul di mana Inggris akan bangkit dengan Inggris, Wales, Skotlandia, dan Irlandia Utara lewat kekuatan ekonomi senilai USD3 triliun. "Ini merupakan momen menakjubkan bagi negara ini," kata Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson, 56, dilansir Reuters. Dia menambahkan, Inggris memiliki kebebasan, "semuanya tergantung kita untuk memanfaatkannya." ( )

Keputusan Brexit bermula pada 23 Juni 2016. Saat itu, sebanyak 17,4 juta pemilih atau 52% mendukung Brexit. Sedangkan 16,1 atau 48% mendukung UE. Inggris dan Wales memilih keluar UE, sedangkan Skotlandia dan Irlandia Utara mendukung UE.

Para pendukung Brexit menganggap Inggris itu tidak sekadar UE. Mereka juga khawatir dengan masuknya migran secara massal hingga kapitalisme, dan legasi kerajaan Inggris. Posisi Inggris yang bergabung dengan UE pada 1973, atau saat "sakit" hingga dua dekade lalu, tak henti diliputi perdebatan para pemimpin London. Mereka berdebat apakah harus bergabung dengan mata uang euro atau tidak. Narasi patriotik, nasionalisme dan ambisi masa depan yang lebih baik selalu dimainkan pendukung Brexit. "Kita melihat masa depan global kita," kata Johnson yang menjadi PM pada 2019.

Para pendukung Brexit juga selalu melihat Inggris harus keluar dari dominasi Prancis-Jerman yang menguasai UE. Mereka berargumen bahwa bahwa Inggris harusnya bisa bersaing dengan Amerika Serikat (AS) dan China yang sudah semakin memimpin. Namun kini London justru tertinggal dari persaingan tersebut.

Lord Frost, kepala negosiator Inggris mengungkapkan, Inggris telah kembali menjadi negara yang merdeka lagi. Deputi Kepala European Research Group dan anggota Partai Konservatif, David Jones pun menilai Inggris kini menjadi negara berdaulat. Hal senada diungkapkan anggota parlemen Konservatif Bill Cash. "Brexit adalah kemenangan bagi demokrasi dan kedaulatan," kata Cash. ( )

Namun demikian, para penentang Brexit dan pendukung UE di Inggris melihat Inggris justru akan semakin melemah. Panggung global Inggris semakin tergerus, masyarakat makin miskin, serta tren kosmopolitanme pun berkurang. Selepas meninggal Single Market UE, maka kekacauan dan disrupsi akan terjadi di perbatasan. Inggris harus mengeluarkan biaya besar untuk mengekspor atau pun mengimpor produk pada lintas perbatasan UE dan Inggris. Inggris pun mengeluarkan kajian bagi perusahaan mengenai aturan baru yang harus diikuti. Pelabuhan Dover memperkirakan volume ekspor akan menurun pada awal Januari. Namun, banyak pihak yakni ekspor akan kembali naik pada akhir Januari.

Para pendukung kemerdekaan Skotlandia juga mulai melirik peluang melepaskan diri dari Inggris. Pemimpin Skotlandia Nicola Sturgeon mengatakan, Skotlandia akan kembali bersama UE. "Skotlandia akan segera kembali, Eropa," katanya.

Menteri Luar Negeri Irlandia, Simon Coveney mengatakan ketetapan Brexit itu bukanlah sesuatu untuk dirayakan. Dia menegaskan, hubungan Inggris dengan Irlandia akan berbeda mulai saat ini. "Kami berharap mereka baik-baik saja," ujarnya.

Masa depan Inggris pun dianggap tidak jelas selepas Brexit. Itu tidak lepas karena Brexit berangkat dari populisme dan politik ketidakjujuran. Apalagi, populisme Inggris adalah metode politik, bukan sebagai ideologi yang mengakar di negara tersebut. "Bagi kita, Inggris selalu diidentikkan dengan ekonomi yang progresif, politik yang stabil, penegakan hukum, dan benih dari demokrasi liberal," kata Rem Korteweg, peneliti dari think tank Clingendael Institute di Belanda.



Pandangan serupa juga diungkapkan Nicolai von Ondarza, analis dari German Institute for International and Security Affairs. Dia menganggap Inggris akan berada di dalam rollercoaster Brexit terus. "Boris John memang penjudi yang menampilkan kepastian dan fleksibel dengan kebenaran. Dia adalah PM yang telah melakukan kesalahan terburuk," katanya kepada The Guardian.

Ke depan diyakini akan banyak yang berubah dengan Brexit. Pergerakan bebas warga Inggris dan negara-negara UE telah berakhir. Itu akan telah digantikan dengan sistem imigrasi berbasis sejumlah kesepakatan di Inggris. Misalnya, siapa pun penduduk Inggris yang ingin tinggal di sebagian besar wilayah UE selama lebih dari 90 hari dalam jangka waktu 180 hari harus memiliki visa.

Kemudian, aturan belanja bebas bea atau duty free diberlakukan kembali, di mana warga yang kembali ke Inggris dari UE dapat membawa hingga 42 liter bir, 18 liter anggur, empat liter minuman beralkohol, dan 200 batang rokok tanpa membayar pajak. Warga negara UE yang ingin pindah ke Inggris akan dihadapkan sistem berbasis poin yang sama dengan orang-orang di tempat lain di dunia.

Dalam keamanan, kepolisian Inggris telah kehilangan akses yang cepat ke sistem data di seluruh UE berisi catatan kriminal, sidik jari, dan buronan. Namun, kerja sama keamanan bisa dinegosiasikan ulang dengan UE.
Tak hanya itu, pebisnis di Inggris, Skotlandia dan Wales harus menyelesaikan lebih banyak dokumen saat berurusan dengan negara-negara UE. Perusahaan-perusahaan Inggris yang mengekspor barang-barang ke Eropa harus segera mengisi pernyataan bea cukai.

Apa akibat dari semua ini? "Brexit akan menjadi bencana," demikian kekhawatiran CEO Retail Economic, Richard Lim, dilansir The Guardian.

Situasi ini terjadi karena harga produk makanan dan kebutuhan sehari-hari akan meningkat tajam sebagai dampak pembelakuan pajak dan bea cukai. Bahkan, chairman supermarket Tesco, John Allan, mengatakan Brexit tidak memiliki dampak positif dalam jangka panjang ekonomi Inggris. "Tapi, ketika kita bertahan di UE, kita juga akan bertambah buruk," katanya.

Pemeriksaan barang yang masuk ke Inggris dari benua itu akan dilakukan secara bertahap selama periode enam bulan hingga Juli 2021, meskipun beberapa prosedur bea cukai baru telah diberlakukan, untuk impor alkohol, tembakau, bahan kimia, dan obat-obatan yang terdaftar.

Perubahan besar lain yang berbeda dengan sebelumnya, Pengadilan Eropa (European Court of Justice) tidak akan berwenang untuk memutuskan sengketa antara Inggris dan UE. Dan Inggris secara bertahap akan dapat mendapatkan lebih banyak ikan yang ditangkapnya di perairannya sendiri. Tidak seperti anggota Inggris Raya lainnya, Irlandia Utara akan terus mengikuti banyak aturan UE, karena perbatasannya dengan Republik Irlandia tetap ada. (andika h mustaqim)
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3906 seconds (0.1#10.140)