Waspada Mutasi Baru Corona

Selasa, 17 November 2020 - 06:10 WIB
loading...
Waspada Mutasi Baru Corona
Temuan baru mutasi virus corona melalui cerpelai akhir-akhir ini membuat pola penularan Covid-19 kian kompleks. Foto/Koran SINDO
A A A
KOPENHAGEN - Temuan baru mutasi virus corona melalui cerpelai akhir-akhir ini membuat pola penularan Covid-19 kian kompleks. Jika tak diantisipasi dengan matang, mutasi khusus ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada kemanjuran vaksin.

Waspada Mutasi Baru Corona


Pekan lalu Denmark telah memerintahkan pemusnahan lebih dari 15 juta cerpelai setelah ditemukan virus corona yang bermutasi. Tercatat sejak Agustus, ada 200 orang terinfeksi virus korona melalui cerpelai. Kasus mutasi virus corona di cerpelai juga ditemukan di Yunani. Mereka yang tertular mengalami penurunan sensitivitas antibodi. Budi daya cerpelai di kawasan Kozani, Yunani, pun ditutup dan ribuan cerpelai dimusnahkan. (Baca: Nasihat yang Paling Baik adalah Kematian)

Otoritas di Jinan, China, akhir pekan lalu menemukan virus corona pada daging impor yang dari Brasil, Bolivia, dan Selandia Baru. Selain itu, dua provinsi China lainnya juga menemukan virus corona pada paket daging babi yang diimpor dari Argentina. Sebelum menyeruak di Eropa, kontaminasi virus corona juga sebelumnya dilaporkan dari kucing, anjing, bahkan singa dan harimau di kebun binatang New York, Amerika Serikat (AS).

Kasus di Denmark dikabarkan memiliki hal yang berbeda karena menular dari cerpelai ke manusia. “Menurut informasi dari otoritas Denmark, virus tersebut tidak patogenik dan tidak cepat menular,” kata ahli di Departemen Kesehatan Prancis, Gilles Salvat.

Ahli epidemiologi Cirad, lembaga penelitian Prancis, Marisa Peyre, menyebutkan perkembangan mutasi di Denmark memang "mengkhawatirkan". “Setiap kali virus menyebar di antara hewan, itu akan berubah,” paparnya kepada BBC News.

Jika virus terlalu banyak mengalami perubahan dari yang beredar di dalam manusia saat ini, menurut Peyre, itu mungkin berarti bahwa vaksin atau pengobatan apa pun yang akan segera diproduksi mungkin tidak berfungsi sebagaimana mestinya. (Baca juga: Banyak Klaster Baru, Siswa Masuk Sekolah Diusulkan Setelah Vaksinasi)

Cerpelai, seperti spesies, musang, rentan terhadap virus pernapasan. Cerpelai yang dipelihara dalam jumlah besar di peternakan telah tertular virus corona dari pekerja yang terinfeksi. Lebih dari 50 juta cerpelai setiap tahun dikembangbiakkan untuk diambil bulunya, terutama di China, Denmark, Belanda, dan Polandia. Wabah telah dilaporkan di peternakan cerpelai di Belanda, Denmark, Spanyol, Swedia, Italia, dan Amerika Serikat, dan jutaan hewan harus dimusnahkan.

Seperti manusia, cerpelai dapat mengalami berbagai gejala, mulai dari tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit sama sekali hingga gejala parah, seperti pneumonia. Para ilmuwan menduga virus menyebar di peternakan cerpelai melalui cipratan, pada pakan atau alas tidur, atau dalam debu yang mengandung kotoran. “Cerpelai telah menjadi waduk virus dan pengawasan diperlukan pada hewan liar dan domestik lain yang mungkin rentan,” ungkap Profesor Joanne Santini dari University College London.

Francois Balloux, ahli virus dari Universitas College London, sepakat dengan upaya pemusnahan cerpelai yang dilakukan banyak negara di Eropa. “Perlu upaya mengetahui risiko kalau cerpelai bisa membangkitkan pandemi kedua,” ujarnya. Meskipun begitu, dia juga menegaskan, mutasi virus corona pada cerpelai tidak menyebar luas kepada manusia secara cepat.

Salah satu ahli biologi molekuler Indonesia, Ahmad Rusdjan Utomo mengatakan mutasi virus merupakan hal yang normal terjadi. Mutasi tersebut tergantung bagian virus Covid-19 yang memiliki peran untuk menjangkiti bagian protein manusia ACE-2. Reseptor ini mencari inang baru berdasarkan keberadaan ACE-2 dan manusia memiliki kecocokan sehingga penularan virus Covid-19 antarmanusia ini dapat terjadi. (Baca juga: Tips Mudah Mengelola Hipertensi)

Manusia masuk kategori makhluk mamalia. Kekerabatannya pun dekat dengan kera, kucing, anjing, harimau, cerpelai, hamster, dan tikus. Jika dilihat dari rangkaian ACE-2 pada binatang tersebut, sebenarnya tidak identik dengan manusia.

“Hamster misalnya, mudah terinfeksi seperti manusia karena susunan genetiknya secara alami memang sudah punya rangkaian yang mirip seperti di manusia sehingga studi hamster itu menarik dan bisa tahu kapan transmisi itu sangat menular,” ujarnya kemarin.

Demikian juga cerpelai atau mink, mirip seperti hamster. Ketika ada orang yang terinfeksi Covid-19 dan bekerja di peternakan cerpelai, maka bisa menginfeksi hewan peliharaan tersebut. “Jika hewan ini terinfeksi, bisa menginfeksi lagi atau spillover. Berbeda dengan harimau, kucing, anjing, tidak bisa spillover, bisa menginfeksi tapi tidak jumlahnya banyak. Kalau kera, mirip dengan manusia,” jelas lulusan Harvard Medical School, AS, tersebut.

Sejauh ini Ahmad menilai belum ada mutasi yang serius dari Covid-19. Meski ada variasi yang unik dari virus tersebut, hal itu jangan sampai mengganggu pengembangan vaksin yang sudah dijalankan. (Baca juga: Indonesia Harus Tetap Optimistis Atasi resesi Ekonomi)

“Karena harus tunggu dulu data-data yang ada pengembangan vaksin sekarang karena uji klinis itu tidak mengukur apakah mampu memproteksi dari penularan. Hal yang mereka ukur adalah proteksi dari gejala. Apakah mampu mencegah penularan? Kita enggak tahu,” ujarnya.

Dengan dasar itu dia menyarankan agar masyarakat paham tentang tujuan pengembangan vaksin. Ia pun mendorong agar masyarakat juga tetap berhati-hati terhadap potensi penyebaran Covid-19, meski nantinya sudah divaksin. Protokol kesehatan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun.

WHO Butuh Pendalaman

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan laporan mutasi virus corona dari cerpelai tersebut cukup mengkhawatirkan. Meski demikian, hal itu masih perlu pendalaman tentang dampak perawatan penderita virus corona dan pengembangan vaksinnya.

“Kita perlu menunggu dan melihat apa dampaknya, tetapi saya tidak berpikir kita harus sampai pada kesimpulan apa pun tentang apakah mutasi khusus ini akan berdampak pada kemanjuran vaksin," kata kepala ilmuwan WHO, Soumya Swaminathan, dilansir BBC. (Baca juga: Erdogan tawarkan Solusi Dua Negara Terpisah untuk Siprus)

Sama seperti virus lain, corona akan bermutasi dari waktu ke waktu. Namun, belum ada bukti bahwa mutasi yang ditemukan di Denmark berbahaya bagi manusia. Untuk risiko penularan virus korona dari makanan beku, menurut WHO, hingga kini relatif rendah. WHO pun tidak menyarankan makanan beku untuk diberi disinfektan. CDC AS juga menyatakan penyebaran virus corona tidak berkaitan dengan makanan.

Angela Rasmussen, pakar virus dari Universitas Columbia, New York, mengaku menunggu bukti lebih banyak dari kasus cerpelai tersebut. "Perlunya komunitas ilmuwan mengevaluasi klaim transmisi penularan virus corona dari cerpelai," katanya.

Virus corona yang awalnya berkembang dari mutasi dan variasi baru memang tidak lebih berbahaya dibandingkan jenis virus yang sama. Sejauh ini tidak ada petunjuk virus corona lebih cepat menular dan berbahaya dibandingkan sebelumnya.

Kontaminasi cerpelai dengan virus corona di peternakan baik di Belanda, Spanyol, Swedia, dan Amerika Serikat (AS) memang bukan hal baru. Sejumlah kasus manusia yang terinfeksi virus korona dari cerpelai pernah dilaporkan sebelumnya.

Di China, kasus daging babi yang mengandung virus corona juga dilaporkan di Zhengzhou, Provinsi Henan dan Xian, ibu kota Provinsi Shaanxi. Dua kasus tersebut tidak saling terkait. Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menegaskan bahwa produk daging asal Selandia Baru tidak mengandung Covid-19. "Kami percaya diri bahwa kami tidak mengekspor daging yang mengandung Covid-19, status kami sangat jelas bahwa kami bebas Covid-19," katanya dilansir Stuff. (Lihat videonya: Arab Saudi Tutup Kembali Izin Umrah untuk Jamaah Indonesia)

Meski begitu, Ardern mengungkapkan, daging asal Selandia Baru memang disimpan bersama produk daging asal Argentina yang dinyatakan positif mengandung virus corona. Para pakar juga masih berbeda pendapat mengenai persebaran virus corona melalui makanan beku. Meskipun, ada pendapat menyatakan temperatur dingin bisa menjaga virus corona tetap bertahan. "Risiko penularan virus corona melalui makanan beku memang rendah," ujar Siddharth Sridhar, pakar mikrobiologi di Universitas Hong Kong.

Namun, para peneliti masih mengkaji bagaimana virus corona masih aktif di permukaan makanan. Kajian WHO menunjukkan virus corona bisa bertahan selama dua tahun pada suhu -20 derajat Celsius. "Semua yang kita tahu, transmisi virus corona dari manusia saat bersin," kata Emanuel Goldman, profesor mikrobiologi di Universitas Rutgers. (Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1537 seconds (0.1#10.140)