Momentum AS Kokohkan Pimpin Dunia
loading...
A
A
A
Pendekatan Biden tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan Presiden Barack Obama sebelumnya. Dia akan menempatkan China dalam sistem dunia untuk menjamin Beijing mematuhi peraturan internasional. Dia juga akan mengizinkan China masuk Badan Perdagangan Dunia (WTO).
Asia, dalam pandangan pengamat Asia dari Council on Foreign Relations, Sheila A Smith, mengatakan kawasan tersebut merupakan pilihan penting bagi AS. Tujuan AS nantinya adalah membangun keseimbangan kekuatan di Asia. (Baca juga: Benarkah Penyitas Covid-19 Tidak Akan terinfeksi Lagi?)
"Jika Trump melihat aliansi sebagai hal samping, Biden akan melihat aliansi sebagai pendekatan utama. AS juga akan mencari kesamaan pandangan untuk membangun jaringan," kata Smith dilansir Channel News Asia. Kemudian, Biden akan mengintegrasikan kerja sama dengan mitra Asia dalam penanganan berbagai isu global.
Bagaimana dengan Iran? Biden mengatakan bahwa dia akan kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran. Itu berujuan untuk memperkuat kesepakatan tersebut. Keputusan Biden diperkirakan akan membuat musuh Iran seperti Arab Saudi akan marah.
Kesepakatan itu, dinegosiasikan pada 2015 ketika Biden menjadi wakil presiden Barack Obama, akan memberikan Iran keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan kegiatan nuklir yang sensitif. Presiden Trump mengatakan kesepakatan itu "cacat" dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran dalam upaya untuk mendesak perundingan kesepakatan pengganti.
Biden juga akan membentuk gugus tugas Covid-19 selama pemerintahan transisi. Tim gugus virus korona versi Biden akan dipimpin seperti mantan dokter bedah Vivek Murthy dan mantan komisioner Badan Obat dan Makanan (FDA) David Kessler. Tim kampanye tersebut juga akan berjanji mendengarkan pendapat para ilmuwan jika terpilih dan beranggotakan para pakar kesehatan publik. (Baca juga: TYpo UU Ciptaker Human Error, Kemensetneg Beri Sanksi Disiplin Pejabatnya)
Selama kepemimpinan Trump, penanganan korona tidak terintegrasi dengan baik. Tidak ada koherensi antara pemerintahan federal dengan pemerintahan negaa bagian.Trump juga jarang menggelar rapat dan koordinasi dengan gubernur selama satu bulan terakhir saat puncak kampanyepemilu presiden.
Mantan Menteri Kesehatan AS Kathleen Sebelius mengatakan, pembentukan gugus tugas Biden merupakan kabar baik. "Kita masih memiliki 11 pekan lagi menuju pelantikan. Tapi, masa transisi merupakan masa paling bahaya bagi publik AS karena virus masih berkembang," katanya. Dia mengatakan, dengan gugus tugas baru itu akan memberikan rakyat AS semakin percaya diri.
Dalam pandangan pengamat hubungan internasional Sukmawani Bella Pertiwi, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin AS sebenarnya tidak secara langsung berdampak terhadap Indonesia. Namun, AS memiliki pengaruh besar di level global dan keterlibatan di regional, termasuk Asia Tenggara.
Secara regional, pemenang pemilu AS juga akan mempengaruhi keterlibatan dan bagaimana keterlibatan AS di kawasan, termasuk Asia. “Trump sudah kita lihat cukup keras dalam perang dagang dengan China dan bagaimana kebijakannya terkait Korea Utara dan Laut China Selatan. Secara garis besar kebijakannya cukup destabilizing dalam beberapa hal,” ujarnya. (Baca juga: Industri Sawit redup, Ini Sebabnya)
Asia, dalam pandangan pengamat Asia dari Council on Foreign Relations, Sheila A Smith, mengatakan kawasan tersebut merupakan pilihan penting bagi AS. Tujuan AS nantinya adalah membangun keseimbangan kekuatan di Asia. (Baca juga: Benarkah Penyitas Covid-19 Tidak Akan terinfeksi Lagi?)
"Jika Trump melihat aliansi sebagai hal samping, Biden akan melihat aliansi sebagai pendekatan utama. AS juga akan mencari kesamaan pandangan untuk membangun jaringan," kata Smith dilansir Channel News Asia. Kemudian, Biden akan mengintegrasikan kerja sama dengan mitra Asia dalam penanganan berbagai isu global.
Bagaimana dengan Iran? Biden mengatakan bahwa dia akan kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran. Itu berujuan untuk memperkuat kesepakatan tersebut. Keputusan Biden diperkirakan akan membuat musuh Iran seperti Arab Saudi akan marah.
Kesepakatan itu, dinegosiasikan pada 2015 ketika Biden menjadi wakil presiden Barack Obama, akan memberikan Iran keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan kegiatan nuklir yang sensitif. Presiden Trump mengatakan kesepakatan itu "cacat" dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran dalam upaya untuk mendesak perundingan kesepakatan pengganti.
Biden juga akan membentuk gugus tugas Covid-19 selama pemerintahan transisi. Tim gugus virus korona versi Biden akan dipimpin seperti mantan dokter bedah Vivek Murthy dan mantan komisioner Badan Obat dan Makanan (FDA) David Kessler. Tim kampanye tersebut juga akan berjanji mendengarkan pendapat para ilmuwan jika terpilih dan beranggotakan para pakar kesehatan publik. (Baca juga: TYpo UU Ciptaker Human Error, Kemensetneg Beri Sanksi Disiplin Pejabatnya)
Selama kepemimpinan Trump, penanganan korona tidak terintegrasi dengan baik. Tidak ada koherensi antara pemerintahan federal dengan pemerintahan negaa bagian.Trump juga jarang menggelar rapat dan koordinasi dengan gubernur selama satu bulan terakhir saat puncak kampanyepemilu presiden.
Mantan Menteri Kesehatan AS Kathleen Sebelius mengatakan, pembentukan gugus tugas Biden merupakan kabar baik. "Kita masih memiliki 11 pekan lagi menuju pelantikan. Tapi, masa transisi merupakan masa paling bahaya bagi publik AS karena virus masih berkembang," katanya. Dia mengatakan, dengan gugus tugas baru itu akan memberikan rakyat AS semakin percaya diri.
Dalam pandangan pengamat hubungan internasional Sukmawani Bella Pertiwi, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin AS sebenarnya tidak secara langsung berdampak terhadap Indonesia. Namun, AS memiliki pengaruh besar di level global dan keterlibatan di regional, termasuk Asia Tenggara.
Secara regional, pemenang pemilu AS juga akan mempengaruhi keterlibatan dan bagaimana keterlibatan AS di kawasan, termasuk Asia. “Trump sudah kita lihat cukup keras dalam perang dagang dengan China dan bagaimana kebijakannya terkait Korea Utara dan Laut China Selatan. Secara garis besar kebijakannya cukup destabilizing dalam beberapa hal,” ujarnya. (Baca juga: Industri Sawit redup, Ini Sebabnya)