Momentum AS Kokohkan Pimpin Dunia
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat diwarnai persaingan perolehan suara yang cukup ketat. Hingga tadi malam pukul 23.00 WIB, calon presiden Joe Biden masih memimpin atas lawannya, Donald Trump.
Baik Biden maupun Trump menjadikan pilpres sebagai ajang untuk menegaskan bahwa Amerika Serikat (AS) harus memperkokoh diri sebagai penguasa dunia. Menjaga posisi sebagai pemimpin dunia ini penting karena domininasi AS mulai banyak mendapat ancaman.
Biden menjanjikan bahwa tradisi AS adalah pemimpin dunia dan menggerakkan tatanan dunia yang lebih baik. Biden berulang kali dalam kampanye akan mengubah kebijakan luar negeri AS jika menang pada pemilu presiden. Rakyat AS pun paham bahwa mantan wakil presiden AS itu akan mengubah dan membalikkan semua kebijakan yang dilaksanakan Trump dalam isu Iran, perubahan iklim dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Selama ini, pelanggaran traktat dan tidak setia dengan aliansi menjadi identitas yang melekat pada pemerintahan Trump. (Baca: Waspada dengan Virus Kejahilan)
Biden akan menjalankan kebijakan yang sangat kontras dengan Trump yang cenderung mengisolasi diri. Biden akan membangun kembali aliansi, strategi untuk memperbaiki ulang kesepakatan perjanjian internasional dan merefleksikan tantangan terberat AS yakni pandemi korona dan krisis iklim.
“Kebijakan America First telah menjadikan Amerika sendirian,” kata Brian McKeon, penasihat kebijakan luar negeri Biden dan mantan penasihat Gedung Putih saat pemerintahan Barack Obama. Pada hari pertama berkantor, Biden dia prediksi akan menghubungi aliansi kunci dan mengatakan AS telah kembali dan AS berada di sisimu.
Selama empat tahun berkuasa, Trump selalu menyalahkan negara yang menjadi aliansinya. Dia juga menempatkan dirinya sebagai autocrat dunia sehingga AS pun kehilangan semua aliansinya. Padahal, keamanan nasional AS akan lebih kuat jika kemitraan strategis dengan aliansi juga kuat.
“Kita memiliki jaringan aliansi yang tidak dimiliki China dan Rusia. Kita lebih kuat jika kita Bersama dengan aliansi kita,” kata McKeon.
Sudah sejak Trump berkuasa, AS mengabaikan nilai aliansi dengan NATO, Jerman, Korea Selatan dan Jepang. Dia menjadikan AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran, kesepakatan iklim Paris, WHO dan memiliki posisi lemah di berbagai lembaga PBB. (Baca juga: Banyak Persoalan, MPR Minta Kemendikbud Evaluasi Pelaksanaan PJJ)
Dalam menghadapi China, ketika Trump memilih jalur konfrontasi melalui perang dagang, Biden diprediksi akan memiliki jalur yang lebih humanis dan sesuai koridor. Biden selalu melihat adanya kepentingan AS untuk bisa bekerja sama dengan Beijing, termasuk dalam isu perubahan iklim dan Korea Utara. Biden akan mengutamakan kerja sama erat dalam penyelesaian isu Huawei dan 5G, pencurian hak kekayaan intelektual dan ekspansi China di perairan Asia.
Pendekatan Biden tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan Presiden Barack Obama sebelumnya. Dia akan menempatkan China dalam sistem dunia untuk menjamin Beijing mematuhi peraturan internasional. Dia juga akan mengizinkan China masuk Badan Perdagangan Dunia (WTO).
Asia, dalam pandangan pengamat Asia dari Council on Foreign Relations, Sheila A Smith, mengatakan kawasan tersebut merupakan pilihan penting bagi AS. Tujuan AS nantinya adalah membangun keseimbangan kekuatan di Asia. (Baca juga: Benarkah Penyitas Covid-19 Tidak Akan terinfeksi Lagi?)
"Jika Trump melihat aliansi sebagai hal samping, Biden akan melihat aliansi sebagai pendekatan utama. AS juga akan mencari kesamaan pandangan untuk membangun jaringan," kata Smith dilansir Channel News Asia. Kemudian, Biden akan mengintegrasikan kerja sama dengan mitra Asia dalam penanganan berbagai isu global.
Bagaimana dengan Iran? Biden mengatakan bahwa dia akan kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran. Itu berujuan untuk memperkuat kesepakatan tersebut. Keputusan Biden diperkirakan akan membuat musuh Iran seperti Arab Saudi akan marah.
Kesepakatan itu, dinegosiasikan pada 2015 ketika Biden menjadi wakil presiden Barack Obama, akan memberikan Iran keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan kegiatan nuklir yang sensitif. Presiden Trump mengatakan kesepakatan itu "cacat" dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran dalam upaya untuk mendesak perundingan kesepakatan pengganti.
Biden juga akan membentuk gugus tugas Covid-19 selama pemerintahan transisi. Tim gugus virus korona versi Biden akan dipimpin seperti mantan dokter bedah Vivek Murthy dan mantan komisioner Badan Obat dan Makanan (FDA) David Kessler. Tim kampanye tersebut juga akan berjanji mendengarkan pendapat para ilmuwan jika terpilih dan beranggotakan para pakar kesehatan publik. (Baca juga: TYpo UU Ciptaker Human Error, Kemensetneg Beri Sanksi Disiplin Pejabatnya)
Selama kepemimpinan Trump, penanganan korona tidak terintegrasi dengan baik. Tidak ada koherensi antara pemerintahan federal dengan pemerintahan negaa bagian.Trump juga jarang menggelar rapat dan koordinasi dengan gubernur selama satu bulan terakhir saat puncak kampanyepemilu presiden.
Mantan Menteri Kesehatan AS Kathleen Sebelius mengatakan, pembentukan gugus tugas Biden merupakan kabar baik. "Kita masih memiliki 11 pekan lagi menuju pelantikan. Tapi, masa transisi merupakan masa paling bahaya bagi publik AS karena virus masih berkembang," katanya. Dia mengatakan, dengan gugus tugas baru itu akan memberikan rakyat AS semakin percaya diri.
Dalam pandangan pengamat hubungan internasional Sukmawani Bella Pertiwi, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin AS sebenarnya tidak secara langsung berdampak terhadap Indonesia. Namun, AS memiliki pengaruh besar di level global dan keterlibatan di regional, termasuk Asia Tenggara.
Secara regional, pemenang pemilu AS juga akan mempengaruhi keterlibatan dan bagaimana keterlibatan AS di kawasan, termasuk Asia. “Trump sudah kita lihat cukup keras dalam perang dagang dengan China dan bagaimana kebijakannya terkait Korea Utara dan Laut China Selatan. Secara garis besar kebijakannya cukup destabilizing dalam beberapa hal,” ujarnya. (Baca juga: Industri Sawit redup, Ini Sebabnya)
Dosen Universitas Bina Nusantara (Binus) itu menilai Biden sepertinya akan mengikuti pendekatan diplomasinya yang dilakukan Barack Obama. Dengan demikian, AS akan lebih kooperatif di Kawasan. Meskipun, dalam isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi bagian dari nilai demokrat akan tetap dijunjung tinggi.
Trump, menurutnya, lebih menarik diri dari berbagai perjanjian internasional. Hal tersebut mengesankan unilateralis, kurang mau bekerja sama, dan kebijakannya sering sulit ditebak. “Ini sangat berdampak pada stabilitas di level global dan kepercayaan masyarakat internasional, termasuk Indonesia,” ucapnya.
Populisme Menguat
Pilpres AS juga menyisakan pertarungan politik yang kian memprihatinkan. Ini ditandai dengan adanya bentrok fisik, persaingan klaim politik, dan fanatisme yang menguat antara pendukung Trump maupun Biden. Perilaku mereka seolah tidak lagi menghiraukan spirit “the United States”. (Baca juga: Trump Klaim Menangi Pemilu AS)
Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi AS. “Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, kemarin.
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan kemarin antara Trump dan Biden. Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa cepat ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan bahwa kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya. (Lihat videonya: Trump dan Biden Saling Klaim Menang di Pilpres 2020)
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing. Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi.
“Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam. (Andika H Mustaqim/F.W.Bahtiar/Abdul Rochim)
Baik Biden maupun Trump menjadikan pilpres sebagai ajang untuk menegaskan bahwa Amerika Serikat (AS) harus memperkokoh diri sebagai penguasa dunia. Menjaga posisi sebagai pemimpin dunia ini penting karena domininasi AS mulai banyak mendapat ancaman.
Biden menjanjikan bahwa tradisi AS adalah pemimpin dunia dan menggerakkan tatanan dunia yang lebih baik. Biden berulang kali dalam kampanye akan mengubah kebijakan luar negeri AS jika menang pada pemilu presiden. Rakyat AS pun paham bahwa mantan wakil presiden AS itu akan mengubah dan membalikkan semua kebijakan yang dilaksanakan Trump dalam isu Iran, perubahan iklim dan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Selama ini, pelanggaran traktat dan tidak setia dengan aliansi menjadi identitas yang melekat pada pemerintahan Trump. (Baca: Waspada dengan Virus Kejahilan)
Biden akan menjalankan kebijakan yang sangat kontras dengan Trump yang cenderung mengisolasi diri. Biden akan membangun kembali aliansi, strategi untuk memperbaiki ulang kesepakatan perjanjian internasional dan merefleksikan tantangan terberat AS yakni pandemi korona dan krisis iklim.
“Kebijakan America First telah menjadikan Amerika sendirian,” kata Brian McKeon, penasihat kebijakan luar negeri Biden dan mantan penasihat Gedung Putih saat pemerintahan Barack Obama. Pada hari pertama berkantor, Biden dia prediksi akan menghubungi aliansi kunci dan mengatakan AS telah kembali dan AS berada di sisimu.
Selama empat tahun berkuasa, Trump selalu menyalahkan negara yang menjadi aliansinya. Dia juga menempatkan dirinya sebagai autocrat dunia sehingga AS pun kehilangan semua aliansinya. Padahal, keamanan nasional AS akan lebih kuat jika kemitraan strategis dengan aliansi juga kuat.
“Kita memiliki jaringan aliansi yang tidak dimiliki China dan Rusia. Kita lebih kuat jika kita Bersama dengan aliansi kita,” kata McKeon.
Sudah sejak Trump berkuasa, AS mengabaikan nilai aliansi dengan NATO, Jerman, Korea Selatan dan Jepang. Dia menjadikan AS keluar dari kesepakatan nuklir Iran, kesepakatan iklim Paris, WHO dan memiliki posisi lemah di berbagai lembaga PBB. (Baca juga: Banyak Persoalan, MPR Minta Kemendikbud Evaluasi Pelaksanaan PJJ)
Dalam menghadapi China, ketika Trump memilih jalur konfrontasi melalui perang dagang, Biden diprediksi akan memiliki jalur yang lebih humanis dan sesuai koridor. Biden selalu melihat adanya kepentingan AS untuk bisa bekerja sama dengan Beijing, termasuk dalam isu perubahan iklim dan Korea Utara. Biden akan mengutamakan kerja sama erat dalam penyelesaian isu Huawei dan 5G, pencurian hak kekayaan intelektual dan ekspansi China di perairan Asia.
Pendekatan Biden tidak akan jauh berbeda dengan kebijakan Presiden Barack Obama sebelumnya. Dia akan menempatkan China dalam sistem dunia untuk menjamin Beijing mematuhi peraturan internasional. Dia juga akan mengizinkan China masuk Badan Perdagangan Dunia (WTO).
Asia, dalam pandangan pengamat Asia dari Council on Foreign Relations, Sheila A Smith, mengatakan kawasan tersebut merupakan pilihan penting bagi AS. Tujuan AS nantinya adalah membangun keseimbangan kekuatan di Asia. (Baca juga: Benarkah Penyitas Covid-19 Tidak Akan terinfeksi Lagi?)
"Jika Trump melihat aliansi sebagai hal samping, Biden akan melihat aliansi sebagai pendekatan utama. AS juga akan mencari kesamaan pandangan untuk membangun jaringan," kata Smith dilansir Channel News Asia. Kemudian, Biden akan mengintegrasikan kerja sama dengan mitra Asia dalam penanganan berbagai isu global.
Bagaimana dengan Iran? Biden mengatakan bahwa dia akan kembali bergabung dengan kesepakatan nuklir Iran. Itu berujuan untuk memperkuat kesepakatan tersebut. Keputusan Biden diperkirakan akan membuat musuh Iran seperti Arab Saudi akan marah.
Kesepakatan itu, dinegosiasikan pada 2015 ketika Biden menjadi wakil presiden Barack Obama, akan memberikan Iran keringanan sanksi sebagai imbalan atas pembatasan kegiatan nuklir yang sensitif. Presiden Trump mengatakan kesepakatan itu "cacat" dan menerapkan kembali sanksi yang telah melumpuhkan ekonomi Iran dalam upaya untuk mendesak perundingan kesepakatan pengganti.
Biden juga akan membentuk gugus tugas Covid-19 selama pemerintahan transisi. Tim gugus virus korona versi Biden akan dipimpin seperti mantan dokter bedah Vivek Murthy dan mantan komisioner Badan Obat dan Makanan (FDA) David Kessler. Tim kampanye tersebut juga akan berjanji mendengarkan pendapat para ilmuwan jika terpilih dan beranggotakan para pakar kesehatan publik. (Baca juga: TYpo UU Ciptaker Human Error, Kemensetneg Beri Sanksi Disiplin Pejabatnya)
Selama kepemimpinan Trump, penanganan korona tidak terintegrasi dengan baik. Tidak ada koherensi antara pemerintahan federal dengan pemerintahan negaa bagian.Trump juga jarang menggelar rapat dan koordinasi dengan gubernur selama satu bulan terakhir saat puncak kampanyepemilu presiden.
Mantan Menteri Kesehatan AS Kathleen Sebelius mengatakan, pembentukan gugus tugas Biden merupakan kabar baik. "Kita masih memiliki 11 pekan lagi menuju pelantikan. Tapi, masa transisi merupakan masa paling bahaya bagi publik AS karena virus masih berkembang," katanya. Dia mengatakan, dengan gugus tugas baru itu akan memberikan rakyat AS semakin percaya diri.
Dalam pandangan pengamat hubungan internasional Sukmawani Bella Pertiwi, siapapun yang terpilih menjadi pemimpin AS sebenarnya tidak secara langsung berdampak terhadap Indonesia. Namun, AS memiliki pengaruh besar di level global dan keterlibatan di regional, termasuk Asia Tenggara.
Secara regional, pemenang pemilu AS juga akan mempengaruhi keterlibatan dan bagaimana keterlibatan AS di kawasan, termasuk Asia. “Trump sudah kita lihat cukup keras dalam perang dagang dengan China dan bagaimana kebijakannya terkait Korea Utara dan Laut China Selatan. Secara garis besar kebijakannya cukup destabilizing dalam beberapa hal,” ujarnya. (Baca juga: Industri Sawit redup, Ini Sebabnya)
Dosen Universitas Bina Nusantara (Binus) itu menilai Biden sepertinya akan mengikuti pendekatan diplomasinya yang dilakukan Barack Obama. Dengan demikian, AS akan lebih kooperatif di Kawasan. Meskipun, dalam isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi bagian dari nilai demokrat akan tetap dijunjung tinggi.
Trump, menurutnya, lebih menarik diri dari berbagai perjanjian internasional. Hal tersebut mengesankan unilateralis, kurang mau bekerja sama, dan kebijakannya sering sulit ditebak. “Ini sangat berdampak pada stabilitas di level global dan kepercayaan masyarakat internasional, termasuk Indonesia,” ucapnya.
Populisme Menguat
Pilpres AS juga menyisakan pertarungan politik yang kian memprihatinkan. Ini ditandai dengan adanya bentrok fisik, persaingan klaim politik, dan fanatisme yang menguat antara pendukung Trump maupun Biden. Perilaku mereka seolah tidak lagi menghiraukan spirit “the United States”. (Baca juga: Trump Klaim Menangi Pemilu AS)
Kondisi itu semakin menunjukkan ada pergeseran fundamental karakter demokrasi AS. “Lagi-lagi, populisme politik menguat yang ditandai oleh eksploitasi politik identitas, hoaks, fake news dan hate speech di berbagai lapisan masyarakat," ujar Dosen Ilmu Politik dan International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam, kemarin.
Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research & Consulting (RSRC), mengatakan, pembelahan itu ditunjukkan oleh ketatnya persaingan electoral collage votes di fase penghitungan kemarin antara Trump dan Biden. Hingga di penghujung penghitungan, belum bisa cepat ditarik kesimpulan siapa yang unggul karena keduanya berimbang, dan kuncinya berada di kota-kota penentu laiknya Pennsylvania (20), Michigan (16), atau Georgia (16).
"Hal itu menunjukkan bahwa kontroversi, impeachment politik dan kepongahan pemimpin, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19 yang kedodoran, tidak mengubah arah perilaku politik masyarakat Amerika Serikat," katanya. (Lihat videonya: Trump dan Biden Saling Klaim Menang di Pilpres 2020)
Menurutnya, kualitas demokrasi AS yang semakin kurang sehat itu berpotensi menjalar ke negara-negara berkembang yang sedang berjuang melakukan konsolidasi demokrasi di negara masing-masing. Perang opini yang didasarkan pada hate speech, fake news hingga eksploitasi politik identitas berpotensi memunculkan instabilitas politik dan keamanan yang tidak produktif bagi proses recovery ekonomi global di masa pandemi.
“Terlebih lagi, terkait dengan dinamika Islam, hal ini menjadi ancaman yang semakin mengkhawatirkan," pungkas Umam. (Andika H Mustaqim/F.W.Bahtiar/Abdul Rochim)
(ysw)