Normalisasi Hubungan Israel dengan Arab Tanda Diplomasi Palestina Telah Gagal
loading...
A
A
A
RAMALLAH - Dimitri Diliani, anggota Pengawal Revolusi Fatah mengatakan, warga Palestina dulu bangga dengan pencapaian diplomasi mereka. Tapi, kejayaan masa lalu itu telah hilang, karena negara-negara Teluk lebih suka menandatangani kesepakatan dengan Israel.
Diliani mengatakan, masyarakat Palestina sangat marah dengan keputusan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Tapi, ucap Diliani, yang lebih miris adalah Otoritas Palestina (PA) tidak berbuat apapun untuk mencegah hal ini.
(Baca: Palestina: UEA dan Bahrain Lebih Israel daripada Israel )
"Rakyat Palestina marah dan tidak menyetujui perjanjian normalisasi. Tetapi yang aneh adalah bahwa PA tidak melakukan apa pun untuk mencegah kesepakatan ini terjadi. Mereka bahkan belum berbicara dengan Abu Dhabi sejak 2014," ucap Diliani, seperti dilansir Sputnik.
"Dulu kami bangga dengan mesin diplomatik kami. Sekarang, tidak ada yang tersisa dari kejayaannya di masa lalu. Pencapaian terakhir diplomasi Palestina terjadi pada 2012, ketika PA diterima di PBB sebagai negara pengamat non-anggota," sambungnya.
Beberapa keuntungan juga telah diperoleh oleh kelompok-kelompok pro-Palestina yang mendorong Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan perang Israel di Tepi Barat dan Gaza. Kelompok pro Palestina juga memberi tekanan pada beberapa negara Eropa untuk memberi label produk-produk Israel.
(Baca: 4 Negara Arab yang Mengkhianati Perjuangan Palestina )
Namun, ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan pencapaian advokasi Israel. Meskipun negara Yahudi itu belum menginvestasikan banyak dana ke Kementerian Luar Negerinya, mengalihkan sebagian besar sumber daya negara ke aparat keamanan, negara itu berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa pemain internasional. Ini sebagian karena hubungan pribadi antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan sebagian karena upaya diplomatik negara itu.
Sejak 2017 dan hingga saat ini, Israel telah berhasil menghasilkan sejumlah keuntungan yang mengesankan. Tak lama setelah Trump menjabat, dia mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota negara Yahudi, memindahkan kedutaan AS ke sana beberapa bulan kemudian dan mendorong negara lain untuk mengikutinya. Kemudian, pada 2019, pemerintahan Trump mengakui legalitas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang disengketakan, bekerja untuk mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina dan mencoba menjembatani kesenjangan antara Israel dan negara-negara Teluk.
Diliani tidak meyakini bahwa kesepakatan normalisasi akan menghilangkan rencana aneksasi Israel. Dia juga tidak percaya bahwa pakta tersebut akan membawa manfaat ekonomi bagi Palestina, hanya karena keras kepala dan kebanggaan Ramallah.
Diliani mengatakan, masyarakat Palestina sangat marah dengan keputusan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain yang melakukan normalisasi hubungan dengan Israel. Tapi, ucap Diliani, yang lebih miris adalah Otoritas Palestina (PA) tidak berbuat apapun untuk mencegah hal ini.
(Baca: Palestina: UEA dan Bahrain Lebih Israel daripada Israel )
"Rakyat Palestina marah dan tidak menyetujui perjanjian normalisasi. Tetapi yang aneh adalah bahwa PA tidak melakukan apa pun untuk mencegah kesepakatan ini terjadi. Mereka bahkan belum berbicara dengan Abu Dhabi sejak 2014," ucap Diliani, seperti dilansir Sputnik.
"Dulu kami bangga dengan mesin diplomatik kami. Sekarang, tidak ada yang tersisa dari kejayaannya di masa lalu. Pencapaian terakhir diplomasi Palestina terjadi pada 2012, ketika PA diterima di PBB sebagai negara pengamat non-anggota," sambungnya.
Beberapa keuntungan juga telah diperoleh oleh kelompok-kelompok pro-Palestina yang mendorong Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) untuk membuka penyelidikan atas dugaan kejahatan perang Israel di Tepi Barat dan Gaza. Kelompok pro Palestina juga memberi tekanan pada beberapa negara Eropa untuk memberi label produk-produk Israel.
(Baca: 4 Negara Arab yang Mengkhianati Perjuangan Palestina )
Namun, ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan pencapaian advokasi Israel. Meskipun negara Yahudi itu belum menginvestasikan banyak dana ke Kementerian Luar Negerinya, mengalihkan sebagian besar sumber daya negara ke aparat keamanan, negara itu berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa pemain internasional. Ini sebagian karena hubungan pribadi antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan sebagian karena upaya diplomatik negara itu.
Sejak 2017 dan hingga saat ini, Israel telah berhasil menghasilkan sejumlah keuntungan yang mengesankan. Tak lama setelah Trump menjabat, dia mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota negara Yahudi, memindahkan kedutaan AS ke sana beberapa bulan kemudian dan mendorong negara lain untuk mengikutinya. Kemudian, pada 2019, pemerintahan Trump mengakui legalitas permukiman Yahudi di Tepi Barat yang disengketakan, bekerja untuk mempromosikan penyelesaian konflik Israel-Palestina dan mencoba menjembatani kesenjangan antara Israel dan negara-negara Teluk.
Diliani tidak meyakini bahwa kesepakatan normalisasi akan menghilangkan rencana aneksasi Israel. Dia juga tidak percaya bahwa pakta tersebut akan membawa manfaat ekonomi bagi Palestina, hanya karena keras kepala dan kebanggaan Ramallah.