Paradoks Pemakaian Masker dan Pelarangan Cadar di Eropa

Jum'at, 25 September 2020 - 06:35 WIB
loading...
Paradoks Pemakaian Masker dan Pelarangan Cadar di Eropa
Seorang warga London melintas mengenakan masker di taman kota. Foto/Reuters
A A A
PARIS - Sebagian negara Eropa telah melarang pemakaian burqa, niqab, atau cadar di tempat umum setidaknya sejak 2011 silam. Kini, dengan mewabahnya virus corona (Covid-19) yang mewajibkan semua orang mengenakan masker, negara tersebut menghadapi paradoks dan tumpang tindih undang-undang.

Di Prancis, misalnya, masyarakat yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan seperti tidak menutup muka akan dikenai denda senilai 135 euro (Rp2,3 juta). Namun, di dalam peraturan lain yang melarang pemakaian burqa, niqab, dan cadar, masyarakat yang menutup wajahnya dikenai denda senilai 150 euro (Rp2,6 juta). (Baca: Siapa yang berhak Memandikan Jenazah Perempuan?)

Prancis merupakan negara Eropa pertama yang melarang hijab full-face di tempat umum. Alasannya, identitas mereka sulit untuk diidentifikasi. Negara Eropa lain mengikuti dengan menerapkan pelarangan penuh ataupun sebagian, termasuk di Denmark, Austria, Belgia, Bulgaria, Latvia, dan Norwegia.

Saat ini beberapa warga Eropa mempertanyakan dan meminta pemerintah untuk kembali menimbang peraturan pelarangan burqa, niqab, dan cadar di tempat umum. “Apa bedanya menutup muka untuk alasan kesehatan dan menutup muka untuk alasan agama?” kata Moana Genevey dari Prancis, dikutip Euronews.

Pada 2014 Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) menolak argumen Prancis untuk melarang pemakaian hijab full-face di tempat umum dengan alasan keamanan masyarakat dan melindungi kesetaraan gender. Namun, ECHR menerima pelarangan itu sebagai prinsip kehidupan bersama warga Prancis.

Tiga tahun kemudian dua perempuan Belgia: Samia Belkacemi dan Yamina Oussar, mengadukan pelarangan niqab kepada ECHR karena aturan itu melanggar HAM. Namun, ECHR memutuskan Belgia tidak melanggar kebebasan beragama karena Belgia berdiri di atas prinsip kehidupan bersama warga setempat. (Baca juga: Zulkifli Hasan Tunjuk Pasha Ungu Jadi Ketua DPP PAN)

Atas keputusan itu, Samia terpaksa tidak mengenakan niqab di tempat umum karena takut didenda atau dipenjara. Adapun Yamina memilih lebih banyak tinggal di rumah. Di Prancis, beberapa masyarakat menilai pelanggaran kebersamaan hidup sama saja dengan menolak persaudaraan sebangsa dan setanah air.

Bagaimanapun, saat ini konsep kebersamaan hidup mengalami pergeseran makna di Eropa. Jika sebelumnya masyarakat, terutama perempuan muslim, diminta melepaskan penutup wajah untuk dapat hidup bersama, kini masyarakat justru diminta untuk mengenakan penutup wajah agar dapat hidup bersama.

“Wacana itu memang mengalami perubahan. Sekarang, kami malah diminta menutup wajah agar dapat hidup bersama di lingkungan sosial demokratis ini,” kata Jone Elizondo Urrestarazu dari Equinet. “Arti kehidupan bersama juga telah berubah. Jadi menurut saya ada baiknya untuk kembali mendiskusikan hal ini.”

Belgia merupakan salah satu negara Eropa yang melarang burqa, niqab, dan cadar di tempat umum, tapi sekarang mewajibkan pemakaian masker. Poin utama yang dipaparkan ialah masyarakat yang berada di ruang publik harus dapat dikenal dan diidentifikasi atas alasan keamanan publik, kecuali untuk kegiatan kebudayaan. (Baca juga: Penting Deteksi Dini dan Kenali Gejala Pikun)

Tujuan dari undang-undang itu kini menjadi tidak valid karena semua orang diwajibkan mengenakan masker. Ahli keamanan dan intelijen Belgia, Profesor Kenneth Lasoen, mengatakan situasi ini berpeluang memperlemah pelarangan hijab full-face, terutama jika masyarakat sudah terbiasa dengan pemakaian masker.

Genevey juga mengatakan jika pelarangan burqa, niqab, dan cadar hanya didasarkan pada alasan agama, peraturan itu diskriminatif. Di Eropa, perempuan yang mengenakan burqa, niqab, dan cadar sedikit, yakni kurang dari 1%. Tapi, sekalipun dilarang, sebagian masih mengenakannya dan memilih didenda.

“Saya kira peraturan ini ironis karena pada saat bersamaan pemerintah membatasi pergerakan dan pemberdayaan perempuan aktif yang mengenakan cadar,” ujar Sanja Bilic dari Forum Perempuan Muslim Eropa (EFMW). “Beberapa dari mereka kini memutuskan untuk tinggal di rumah saja,” tambahnya.

Bilic menambahkan, pelarangan burqa, niqab, dan cadar merupakan tindak kriminalisasi terhadap kebebasan berpakaian di Eropa. Selain itu, peraturan tersebut secara tidak langsung memperburuk citra agama dan meningkatkan Islamofobia terhadap perempuan muslim yang juga aktif di dalam kegiatan sosial. (Baca juga: Mapolres Yalimo Papua Diserang, Kasat Intel Terluka Parah)

Sikap intoleran di Eropa juga meningkat. Anggota Parlemen Prancis Anne-Christine Lang juga pernah memilih keluar dari rapat setelah melihat kepala himpunan mahasiswa yang hadir mengenakan hijab. Beberapa orang Eropa beranggapan perempuan muslim dipaksa mengenakan hijab atau cadar oleh keluarganya.

“Tapi saya kurang percaya dengan pendapat tersebut. Faktanya, gelombang protes datang langsung dari pemakai niqab, bukan keluarga,” ujar Bilic. “Sebagian besar dari perempuan muslim juga mengenakan burqa, niqab, dan cadar atas pilihan mereka sendiri karena sebenarnya mereka boleh menampakkan muka.”

Namun, beberapa warga Eropa berpendapat pemakaian niqab dan masker merupakan dua isu yang berbeda. Mahasiswa lokal, Vanessa dan Victoria, mengatakan masker diwajibkan untuk melindungi kesehatan semua orang, sedangkan burqa untuk kelompok tertentu dan belum tentu untuk kelompok yang lain. (Lihat videonya: Warga Wuhan Mulai Beraktivitas Normal Kembali)

“Saya kira masker setidaknya masih membuat saya dapat membedakan mana perempuan dan laki-laki,” kata warga Prancis, Samia. “Intinya, kita perlu menjaga keamanan publik. Jadi Eropa perlu mencari cara untuk menjaga keamanan, sekalipun harus melarang pakaian tertentu, tanpa memasang stigma pada kelompok tertentu.” (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1687 seconds (0.1#10.140)