Mengenal Gambia, Negara yang Menyeret Myanmar ke Pengadilan Internasional

Jum'at, 13 Desember 2019 - 06:38 WIB
Mengenal Gambia, Negara yang Menyeret Myanmar ke Pengadilan Internasional
Mengenal Gambia, Negara yang Menyeret Myanmar ke Pengadilan Internasional
A A A
JAKARTA - Nama Gambia menyeruak ke permukaan. Negara ini dengan gagah berani menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan melakukan genosida terhadap etnis Muslim Rohingya.

Gambia atau secara resmi bernama Republik Gambia adalah negara kecil di daratan Afrika yang berada di Afrika Barat. Beribu kota di Banjul, negara dengan luas 10.689 kilometer persegi dengan populasi 1.857.181 ini sepenuhnya dikelilingi oleh Senegal, dengan pengecualian garis pantai baratnya di sepanjang Samudra Atlantik seperti dikutip dari Wikipedia, Kamis (12/12/2019).

Menurut Britanica, negara ini mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada 18 Februari 1965 dan kemudian menjadi bagian dari negara-negara anggota persemakmuran atau Commonwealth. Tidak heran jika bahasa resmi negara ini adalah bahasa Inggris, meski dalam keseharian masyakatnya menggunakan bahasa asli mereka.

Namun pada 3 Oktober 2013 negara ini sempat menyatakan keluar dari Commonwealth.

"Gambia tidak akan pernah menjdai bagian di lembaga mana pun yang mewakili perpanjangan kolonialisme," kata pemerintah Gambia pada saat itu.

Namun pada 2018 Gambia memulai kembali proses kembalinya ke Commonwealth dengan dukungan pemerinta Inggris. Negara itu secara resmi mengajukan permohonan untuk bergabung kembali dengan Persemakmuran Bangsa-Bangsa ke Sekretaris Jenderal Patricia Skotlandia pada 22 Januari 2018. Gambia kembali ke statusnya sebagai republik Persemakmuran pada 8 Februari 2018.

Disitir dari Africa.com, Gambia adalah salah satu negara demokrasi multi partai tertua di Afrika. Pemilu diadakan setiap lima tahun sekali. Negara ini sangat aktif dalam urusan internasional, termasuk upaya menyelesaikan Perang Saudara Liberia dan di Sierra Leone. Mereka juga berupaya menengahi berbagai masalah di Senegal dan Guinea Bissau.

Selain itu, Gambia juga aktif mengirimkan pasukannya dalam misi pemiliharaan perdamaian internasional seperti di Liberia. Operasi lainnya adalah di Kosovo, Bosnia, Eritrea, Timur Leste dan Republik Kongo.

Dalam bidang ekonomi, ekonomi Gambia adalah liberal dan berbasis pasar dengan pertanian menjadi mata pencaharian mayoritas penduduknya. Secara historis, negara ini juga bergantung pada ekspor kacang dan penggunaan pelabuhan laut serta pariwisata.

Gambia adalah negara multi etnis yang masih mempertahankan bahasa serta tradisinya masing-masing dengan etnis Mandika menjadi yang terbesar. Sebanyak 63 persen populasi negara ini tinggal di daerah, dengan fenomena urbanisasi terjadi di seluruh negara di mana anak muda berpindah ke kota untuk mencari pekerjaan.

Penduduk Gambia mayoritas Muslim yang mencapai hingga 90 persen. Meski begitu, kebebasan beragama dijamin dalam konstitusi di negara ini dan tidak ada agama negara. Ini bisa dilihat dari adanya penganut agama lain selain Islam. Sebanyak 8 persen penduduk Gambia menganut agama Kristen dan 2 persen menganut kepercayaan. Sementara sisanya menganut agama Buddha dan pengikut Baha, serta agama asli negara itu.

Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, Gambia pun tercatat sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau OKI. Negara ini bergabung dengan OKI pada tahun 1974 dan pada November lalu negara ini baru saja menjadi tuan rumah KTT OKI.

Mengantongi dukungan finansial dan moral dari OKI, yang beranggotakan 57 negara, Gambia pun lantas menyeret Myanmar ke Pengadilan Internasional atas tuduhan genosida terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya. Gambia melayangkan gugatannya terhadap Myanmar pada 11 November 2019. Dalam gugatannya, Gambia menyebut Myanmar telah melakukan pembunuhan massal, perkosaan, dan penghancuran komunitas Rohingya di Rakhine.

Selain itu ada sosok penting dibalik gugatan yang dilayangkan Gambia terhadap Myanmar. Ia adalah Menteri Kehakiman sekaligus Jaksa Agung Gambia Abubacarr Marie Tambadou. Dikutip dari Washington Post, Tambadou pernah bekerja selama bertahun-tahun sebagai pengacara di Pengadilan PBB yang fokus pada kasus genosida di Rwanda pada 1994. Ia juga pernah mengunjungi kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Mei 2018.

"Ketika saya mendengarkan kisah-kisah mengerikan - pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, membakar orang hidup-hidup di rumah mereka - itu membawa kembali ingatan akan genosida Rwanda," kata Tambadou dalam sebuah wawancara telepon.

"Dunia gagal membantu pada 1994, dan dunia gagal melindungi orang yang rentan 25 tahun kemudian," imbuhnya.

Pengadilan Internasional (ICJ) tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum, tetapi keputusannya bersifat final dan memiliki bobot hukum yang signifikan.

Proses persidangan pekan ini akan dilakukan di hadapan panel 17 hakim yang tidak akan berurusan dengan tuduhan inti genosida, tetapi Gambia telah meminta perintah pengadilan agar Myanmar untuk menghentikan kegiatan apa pun yang dapat memperburuk perselisihan tersebut.

Dalam sejarahnya, adalah sebuah fakta bahwa genosida sulit dibuktikan dalam hukum. Hakim ICJ sendiri sejauh ini hanya satu kali memutuskan kasus genosida yaitu dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2996 seconds (0.1#10.140)