Apakah Ikhwanul Muslimin Mesir Membela Palestina?

Sabtu, 21 September 2024 - 20:01 WIB
loading...
A A A
Pada usia empat belas tahun, dia mengalami kecelakaan serius saat bermain sepak bola yang membuatnya setengah lumpuh.

Kecelakaan itu akan memaksanya bergerak di kursi roda selama sisa hidupnya. Saat masih duduk di bangku SMA, dia bergabung dengan Ikhwanul Muslimin yang semi-rahasia pada tahun 1955. Sejak tahun 1958, dia bekerja sebagai guru di Gaza.

Pada tahun 1955-1958, Ikhwanul Muslimin di Gaza terlibat dalam berbagai kegiatan politik-militer yang menonjol, mulai dari pemboikotan rencana Mesir untuk memindahkan pengungsi Palestina dari Gaza ke Semenanjung Sinai pada tahun 1955 hingga perjuangan bersenjata anti-Israel selama empat bulan pendudukan pada pergantian tahun 1956-1957 melalui sel-sel militer rahasia Shabab al-Tha’r (“Pemuda Pembalasan”) dan Katibat al-Haq (“Batalyon Keadilan”).

Kegiatan militer ini juga menjadi asal mula perpecahan dalam Ikhwanul Muslimin Palestina.

Di Mesir, Presiden Gamal Abdel Nasser (1918–1970), yang juga pernah menjadi anggota Ikhwanul Muslimin di masa mudanya, melarangnya lagi pada tahun 1954 sebagai bagian dari bentrokan antara kaum nasionalis dan fundamentalis yang merupakan ciri khas negara-negara Timur Tengah yang baru merdeka.

Ikhwanul Muslimin, yang dipimpin ahli teori radikal Sayyid Qutb (1906-1966), menanggapinya dengan serangan, yang pada gilirannya menyebabkan tindakan keras pemerintah.

Dua garis muncul di antara Ikhwanul Muslimin Palestina sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa ini.

Yang pertama mengantisipasi apa yang akan menjadi posisi Ikhwanul Muslimin di Mesir setelah eksekusi Qutb pada tahun 1966.

Mereka membayangkan langkah mundur dari perjuangan bersenjata untuk pembentukan masyarakat berbasis syariah, dan perjalanan panjang yang seharusnya dengan sabar mengislamkan masyarakat melalui kebangkitan agama dan penciptaan lembaga-lembaga Islam di bidang budaya, pendidikan, dan ekonomi.

Inilah garis yang disebut sosiolog Italia Renzo Guolo sebagai “neo-tradisionalis,” atau “Islamisasi dari bawah,” yang membedakannya dari posisi fundamentalis “radikal” yang menganjurkan “Islamisasi dari atas” melalui perjuangan bersenjata, kudeta, dan kekerasan.
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0738 seconds (0.1#10.140)