Israel Ledakkan Ribuan Pager Lebanon Langgar Hukum Internasional, DK PBB Tetap Diam?
loading...
A
A
A
BEIRUT - Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM), Volker Turk, mengatakan aksi Israel meledakkan ribuan pager dan walkie-talkie yang tewaskan puluhan orang di Lebanon telah melanggar hukum internasional.
Israel tidak mengaku dan tidak menyangkal atas serangan tersebut, meski sumber-sumber keamanan regional mengatakan serangan itu dilakukan oleh badan mata-mata Israel; Mossad.
Menurut sejumlah sumber kepada Reuters, Mossad telah menanam bahan peledak pada perangkat tersebut, yang digunakan para milisi Hizbullah Lebanon, beberapa bulan sebelum diledakkan.
Pada hari Selasa, ribuan pager yang dipasangi bahan peledak meledak, serentak mengakibatkan 11 orang tewas dan sekitar 4.000 orang terluka di Lebanon.
Kemudian para hari Rabu, giliran ribuan walkie-talkie meledak serentak dan menewaskan 20 orang di Lebanon. Ledakan ini juga menyebabkan ribuan orang lainnya terluka.
Turk menyerukan penyelidikan independen atas rentetan ledakan di Lebanon.
"Penargetan serentak terhadap ribuan orang, baik warga sipil maupun anggota kelompok bersenjata, tanpa mengetahui siapa yang memiliki perangkat yang menjadi target, lokasi mereka, dan lingkungan sekitar mereka pada saat serangan, melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan, sejauh berlaku, hukum humaniter internasional," katanya, seperti dikutip The New Arab, Kamis (19/9/2024).
Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, mengutuk serangan tersebut.
"Sesuai dengan hukum humaniter internasional, dia mengingatkan semua pihak yang berkepentingan bahwa warga sipil bukanlah target dan harus dilindungi setiap saat," kata kantor Hennis-Plasschaert dalam sebuah pernyataan.
Direktur Human Rights Watch Timur Tengah dan Afrika Utara, Lama Fakih, juga mengutuk serangan tersebut, menyerukan penyelidikan yang tidak memihak dan memperingatkan bahwa larangan hukum internasional atas jebakan adalah untuk melindungi warga sipil.
Brian Finucane, penasihat senior untuk International Crisis Group dan mantan penasihat hukum di Departemen Luar Negeri AS, mengatakan kepada The New Arab bahwa serangan itu menimbulkan pertanyaan mengenai protokol kedua yang diamandemen dari konvensi senjata konvensional tertentu, yang mengatur jebakan.
Meskipun tidak melarang penggunaan jebakan secara langsung, ketentuan tertentu diberlakukan kepada para penandatangan, yang meliputi Israel, Lebanon, dan Amerika Serikat.
"Misalnya, larangan tersebut melarang penggunaan jebakan dalam bentuk benda portabel yang tampaknya tidak berbahaya yang secara khusus dirancang dan dibuat untuk menampung bahan peledak," katanya.
Pembatasan tersebut termasuk dalam poin kedua dari pasal tujuh amandemen tersebut.
"Kami masih menunggu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang bagaimana tepatnya pager ini dimodifikasi, dan itu mungkin relevan dengan larangan ini," ujarnya, dengan mengatakan bahwa tanpa informasi lebih lanjut, sulit untuk mencapai kesimpulan pasti tentang pelanggaran apa yang telah terjadi.
Dosen Senior di Kings College London Dr Andreas Krieg mengatakan kepada The New Arab bahwa serangan tersebut dapat melanggar pasal 51(3) dan 48 Protokol Satu Konvensi Jenewa.
Jika Pasal 51(3) berkaitan dengan warga sipil yang diberikan perlindungan jika mereka tidak ikut serta dalam permusuhan, Pasal 48 memastikan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus membedakan antara warga sipil dan kombatan, serta objek sipil dan sasaran militer.
"Senjata apa pun yang Anda pilih harus dapat membedakan secara memadai antara kombatan dan warga sipil, dan senjata tersebut pada dasarnya tidak dapat membedakan secara memadai antara kombatan dan warga sipil."
Kreig juga mencatat bahwa serangan tersebut dapat melanggar pasal 41 Protokol Satu Konvensi Jenewa tentang larangan serangan terhadap Hors de Combat, yang didefinisikan sebagai orang yang berada dalam kekuasaan musuh, atau yang ingin menyerah, atau tidak berdaya dan tidak dapat membela diri, dan apakah orang yang diserang tersebut sebenarnya adalah kombatan.
"Kekerasan yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap target disebabkan oleh fakta bahwa Israel memiliki metrik yang berbeda dalam hal mengukur siapa yang merupakan pejuang dan siapa yang bukan dan itu bermasalah," imbuh dia.
"Kita harus mempersoalkan serangan kemarin karena jika dinormalisasi, itu akan menjadi preseden, dan jika tidak ada seorang pun di komunitas internasional yang mengutuknya, maka ini mungkin merupakan jenis serangan yang dapat kita lihat dimainkan berulang kali."
Meskipun para pakar sudah memaparkan pelanggaran hukum internasional atas serangan terhadap ribuan pager dan walkie-talkie di Lebanon, Israel sejauh ini terkesan masih kebal hukum.
Dewan Keamanan PBB belum bersikap atas apa yang terjadi di Lebanon.
Israel tidak mengaku dan tidak menyangkal atas serangan tersebut, meski sumber-sumber keamanan regional mengatakan serangan itu dilakukan oleh badan mata-mata Israel; Mossad.
Menurut sejumlah sumber kepada Reuters, Mossad telah menanam bahan peledak pada perangkat tersebut, yang digunakan para milisi Hizbullah Lebanon, beberapa bulan sebelum diledakkan.
Pada hari Selasa, ribuan pager yang dipasangi bahan peledak meledak, serentak mengakibatkan 11 orang tewas dan sekitar 4.000 orang terluka di Lebanon.
Baca Juga
Kemudian para hari Rabu, giliran ribuan walkie-talkie meledak serentak dan menewaskan 20 orang di Lebanon. Ledakan ini juga menyebabkan ribuan orang lainnya terluka.
Turk menyerukan penyelidikan independen atas rentetan ledakan di Lebanon.
"Penargetan serentak terhadap ribuan orang, baik warga sipil maupun anggota kelompok bersenjata, tanpa mengetahui siapa yang memiliki perangkat yang menjadi target, lokasi mereka, dan lingkungan sekitar mereka pada saat serangan, melanggar hukum hak asasi manusia internasional dan, sejauh berlaku, hukum humaniter internasional," katanya, seperti dikutip The New Arab, Kamis (19/9/2024).
Koordinator Khusus PBB untuk Lebanon, Jeanine Hennis-Plasschaert, mengutuk serangan tersebut.
"Sesuai dengan hukum humaniter internasional, dia mengingatkan semua pihak yang berkepentingan bahwa warga sipil bukanlah target dan harus dilindungi setiap saat," kata kantor Hennis-Plasschaert dalam sebuah pernyataan.
Direktur Human Rights Watch Timur Tengah dan Afrika Utara, Lama Fakih, juga mengutuk serangan tersebut, menyerukan penyelidikan yang tidak memihak dan memperingatkan bahwa larangan hukum internasional atas jebakan adalah untuk melindungi warga sipil.
Brian Finucane, penasihat senior untuk International Crisis Group dan mantan penasihat hukum di Departemen Luar Negeri AS, mengatakan kepada The New Arab bahwa serangan itu menimbulkan pertanyaan mengenai protokol kedua yang diamandemen dari konvensi senjata konvensional tertentu, yang mengatur jebakan.
Meskipun tidak melarang penggunaan jebakan secara langsung, ketentuan tertentu diberlakukan kepada para penandatangan, yang meliputi Israel, Lebanon, dan Amerika Serikat.
"Misalnya, larangan tersebut melarang penggunaan jebakan dalam bentuk benda portabel yang tampaknya tidak berbahaya yang secara khusus dirancang dan dibuat untuk menampung bahan peledak," katanya.
Pembatasan tersebut termasuk dalam poin kedua dari pasal tujuh amandemen tersebut.
"Kami masih menunggu untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang bagaimana tepatnya pager ini dimodifikasi, dan itu mungkin relevan dengan larangan ini," ujarnya, dengan mengatakan bahwa tanpa informasi lebih lanjut, sulit untuk mencapai kesimpulan pasti tentang pelanggaran apa yang telah terjadi.
Dosen Senior di Kings College London Dr Andreas Krieg mengatakan kepada The New Arab bahwa serangan tersebut dapat melanggar pasal 51(3) dan 48 Protokol Satu Konvensi Jenewa.
Jika Pasal 51(3) berkaitan dengan warga sipil yang diberikan perlindungan jika mereka tidak ikut serta dalam permusuhan, Pasal 48 memastikan bahwa pihak-pihak yang berkonflik harus membedakan antara warga sipil dan kombatan, serta objek sipil dan sasaran militer.
"Senjata apa pun yang Anda pilih harus dapat membedakan secara memadai antara kombatan dan warga sipil, dan senjata tersebut pada dasarnya tidak dapat membedakan secara memadai antara kombatan dan warga sipil."
Kreig juga mencatat bahwa serangan tersebut dapat melanggar pasal 41 Protokol Satu Konvensi Jenewa tentang larangan serangan terhadap Hors de Combat, yang didefinisikan sebagai orang yang berada dalam kekuasaan musuh, atau yang ingin menyerah, atau tidak berdaya dan tidak dapat membela diri, dan apakah orang yang diserang tersebut sebenarnya adalah kombatan.
"Kekerasan yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap target disebabkan oleh fakta bahwa Israel memiliki metrik yang berbeda dalam hal mengukur siapa yang merupakan pejuang dan siapa yang bukan dan itu bermasalah," imbuh dia.
"Kita harus mempersoalkan serangan kemarin karena jika dinormalisasi, itu akan menjadi preseden, dan jika tidak ada seorang pun di komunitas internasional yang mengutuknya, maka ini mungkin merupakan jenis serangan yang dapat kita lihat dimainkan berulang kali."
Meskipun para pakar sudah memaparkan pelanggaran hukum internasional atas serangan terhadap ribuan pager dan walkie-talkie di Lebanon, Israel sejauh ini terkesan masih kebal hukum.
Dewan Keamanan PBB belum bersikap atas apa yang terjadi di Lebanon.
(mas)