Puluhan Kota di China Mulai Tenggelam, Ancam Kehidupan Jutaan Orang
loading...
A
A
A
BEIJING - China, rumah bagi beberapa kota terbesar di dunia, tengah bergulat dengan krisis lingkungan yang serius. Sebanyak 82 kota di negara itu secara perlahan mulai tenggelam, sebuah fenomena yang mengancam kehidupan jutaan orang, ekonomi, dan lingkungan.
Mengutip dari Mekong News pada Selasa (13/8/2024), urbanisasi yang cepat dan ekstraksi air tanah secara berlebihan di China telah menyebabkan penurunan tanah, yang menyebabkan tanah amblas.
Ini bukan sekadar masalah geologis; ini adalah masalah sosial-ekonomi yang sangat besar.
Jutaan orang terancam karena rumah dan tempat kerja mereka menjadi semakin tidak stabil. Kerusakan infrastruktur akibat amblasnya tanah meningkat, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan.
Dampak lingkungannya juga sama memprihatinkannya. Penurunan tanah dapat menyebabkan peningkatan risiko banjir dan kerusakan ekosistem. Hal ini memperburuk dampak kenaikan permukaan laut di kota-kota pesisir, yang menimbulkan ancaman signifikan bagi wilayah pesisir China yang sudah rentan.
Pemerintah China telah menerapkan langkah-langkah untuk mengekang ekstraksi air tanah dan mempromosikan perencanaan kota yang berkelanjutan. Namun, skala masalah ini memerlukan solusi yang lebih komprehensif dan berjangka panjang.
Krisis ini menjadi pengingat jelas tentang konsekuensi pembangunan perkotaan yang cepat tanpa perlindungan lingkungan yang memadai. Krisis ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan praktik berkelanjutan dalam perencanaan perkotaan dan pengelolaan air, tidak hanya di China, tetapi juga di seluruh dunia.
Kota-kota China yang berisiko tenggelam merupakan peringatan bagi dunia tentang biaya manusia dan lingkungan dari urbanisasi yang tak terkendali.
Foto/Science
China sedang bergulat dengan tantangan berat. Tanah di bawah kaki warganya tenggelam, dengan lebih dari separuh pusat kota utamanya terancam. Masalah penurunan tanah ini dapat membayangi kehidupan lebih dari 100 juta orang dalam 100 tahun mendatang.
Komunitas ilmiah membunyikan bel peringatan, memperingatkan tentang dampak yang akan datang. Ilmuwan dari University of East Anglia dan Virginia Tech telah melakukan penelitian yang menggarisbawahi bahaya yang dihadapi oleh hampir separuh dari 82 kota besar di China karena penurunan tanah yang cepat.
Penelitian mereka, yang dipublikasikan diScience, mengindikasikan bahwa fenomena yang mengkhawatirkan ini berpotensi memengaruhi populasi yang berkisar antara 55 hingga 128 juta jiwa pada tahun 2120, kecuali tindakan pencegahan segera dilaksanakan.
Meski menimbulkan risiko besar, masalah penurunan tanah di wilayah perkotaan China sebagian besarnya diabaikan dan diremehkan. Para peneliti menekankan bahwa penurunan tanah merupakan kejadian yang meluas dengan potensi konsekuensi yang parah.
Fenomena ini dapat membahayakan 19 persen populasi dunia. Pemicu utama penurunan tanah mencakup unsur-unsur alam dan aktivitas manusia, dengan pemanfaatan air tanah untuk kebutuhan manusia menjadi kontributor yang signifikan.
Untuk mengukur besarnya masalah tersebut, kelompok ilmuwan meneliti data satelit yang berkaitan dengan penurunan tanah di seluruh China, dengan menyoroti 82 kota yang dihuni oleh hampir 700 juta orang.
Pemeriksaan mereka mengungkapkan bahwa 45 persen wilayah metropolitan ini mengalami penurunan, yang memengaruhi kehidupan 270 juta penduduk.
Lebih jauh lagi, di sekitar 16 persen wilayah ini, tanah menurun dengan kecepatan 0,4 inci per tahun atau bahkan lebih cepat, yang berdampak pada sekitar 70 juta warga, dengan Beijing dan Tianjin menghadapi keadaan paling parah.
Kota-kota besar pesisir China, seperti Tianjin, sangat rentan terhadap bahaya penurunan tanah, situasi yang diperburuk oleh meningkatnya permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Penggabungan unsur-unsur ini telah menunjukkan dampak besar, seperti yang dibuktikan di New Orleans selama terjangan Badai Katrina pada tahun 2005. Peristiwa itu mengakibatkan banjir besar dan menjadi salah satu bencana alam paling monumental dalam sejarah Amerika Serikat.
Di Beijing, getaran yang dipicu pergerakan kendaraan dan penggalian terowongan mempercepat proses penurunan tanah. Wilayah yang dekat dengan rute kereta bawah tanah dan jalan utama mengalami tingkat penurunan sekitar 1,8 inci per tahun.
Shanghai, kota terpadat di China, juga mengalami penurunan permukaan tanah yang signifikan—sekitar 10 kaki dalam seratus tahun terakhir—dan tren ini tampaknya tidak melambat.
Para ahli memperingatkan bahwa jika laju penurunan tanah dan peningkatan permukaan laut saat ini terus berlanjut, bagian wilayah perkotaan China yang berada di bawah permukaan laut berpotensi meningkat tiga kali lipat pada tahun 2120.
Skenario ini dapat membahayakan populasi yang berkisar antara 55 hingga 128 juta orang. Tanpa intervensi langsung dari badan-badan pemerintahan, konsekuensinya bisa sangat buruk.
“Penurunan tanah menimbulkan risiko bagi bangunan dan infrastruktur vital, dan memperparah dampak perubahan iklim, seperti banjir. Hal ini khususnya berlaku di wilayah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut,” ungkap Profesor Robert Nicholls dari Universitas East Anglia.
Namun, ada sisi baiknya, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Osaka dan Tokyo. Perubahan dalam kebijakan yang mengatur penggunaan air tanah pada tahun 1970-an mengakibatkan penurunan substansial atau bahkan penghentian penurunan tanah.
Para peneliti berpendapat bahwa tugas mengatasi penurunan tanah melampaui batas wilayah perkotaan China dan merupakan masalah penting secara global. Hal ini memerlukan upaya terpadu dari kalangan ilmiah dan perencana kota untuk menemukan dan menerapkan solusi efektif.
Mengutip dari Mekong News pada Selasa (13/8/2024), urbanisasi yang cepat dan ekstraksi air tanah secara berlebihan di China telah menyebabkan penurunan tanah, yang menyebabkan tanah amblas.
Ini bukan sekadar masalah geologis; ini adalah masalah sosial-ekonomi yang sangat besar.
Jutaan orang terancam karena rumah dan tempat kerja mereka menjadi semakin tidak stabil. Kerusakan infrastruktur akibat amblasnya tanah meningkat, yang menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan.
Dampak lingkungannya juga sama memprihatinkannya. Penurunan tanah dapat menyebabkan peningkatan risiko banjir dan kerusakan ekosistem. Hal ini memperburuk dampak kenaikan permukaan laut di kota-kota pesisir, yang menimbulkan ancaman signifikan bagi wilayah pesisir China yang sudah rentan.
Pemerintah China telah menerapkan langkah-langkah untuk mengekang ekstraksi air tanah dan mempromosikan perencanaan kota yang berkelanjutan. Namun, skala masalah ini memerlukan solusi yang lebih komprehensif dan berjangka panjang.
Krisis ini menjadi pengingat jelas tentang konsekuensi pembangunan perkotaan yang cepat tanpa perlindungan lingkungan yang memadai. Krisis ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan praktik berkelanjutan dalam perencanaan perkotaan dan pengelolaan air, tidak hanya di China, tetapi juga di seluruh dunia.
Kota-kota China yang berisiko tenggelam merupakan peringatan bagi dunia tentang biaya manusia dan lingkungan dari urbanisasi yang tak terkendali.
Foto/Science
Penurunan Tanah
China sedang bergulat dengan tantangan berat. Tanah di bawah kaki warganya tenggelam, dengan lebih dari separuh pusat kota utamanya terancam. Masalah penurunan tanah ini dapat membayangi kehidupan lebih dari 100 juta orang dalam 100 tahun mendatang.
Komunitas ilmiah membunyikan bel peringatan, memperingatkan tentang dampak yang akan datang. Ilmuwan dari University of East Anglia dan Virginia Tech telah melakukan penelitian yang menggarisbawahi bahaya yang dihadapi oleh hampir separuh dari 82 kota besar di China karena penurunan tanah yang cepat.
Penelitian mereka, yang dipublikasikan diScience, mengindikasikan bahwa fenomena yang mengkhawatirkan ini berpotensi memengaruhi populasi yang berkisar antara 55 hingga 128 juta jiwa pada tahun 2120, kecuali tindakan pencegahan segera dilaksanakan.
Meski menimbulkan risiko besar, masalah penurunan tanah di wilayah perkotaan China sebagian besarnya diabaikan dan diremehkan. Para peneliti menekankan bahwa penurunan tanah merupakan kejadian yang meluas dengan potensi konsekuensi yang parah.
Fenomena ini dapat membahayakan 19 persen populasi dunia. Pemicu utama penurunan tanah mencakup unsur-unsur alam dan aktivitas manusia, dengan pemanfaatan air tanah untuk kebutuhan manusia menjadi kontributor yang signifikan.
Untuk mengukur besarnya masalah tersebut, kelompok ilmuwan meneliti data satelit yang berkaitan dengan penurunan tanah di seluruh China, dengan menyoroti 82 kota yang dihuni oleh hampir 700 juta orang.
Pemeriksaan mereka mengungkapkan bahwa 45 persen wilayah metropolitan ini mengalami penurunan, yang memengaruhi kehidupan 270 juta penduduk.
Lebih jauh lagi, di sekitar 16 persen wilayah ini, tanah menurun dengan kecepatan 0,4 inci per tahun atau bahkan lebih cepat, yang berdampak pada sekitar 70 juta warga, dengan Beijing dan Tianjin menghadapi keadaan paling parah.
Skenario Berbahaya
Kota-kota besar pesisir China, seperti Tianjin, sangat rentan terhadap bahaya penurunan tanah, situasi yang diperburuk oleh meningkatnya permukaan laut yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Penggabungan unsur-unsur ini telah menunjukkan dampak besar, seperti yang dibuktikan di New Orleans selama terjangan Badai Katrina pada tahun 2005. Peristiwa itu mengakibatkan banjir besar dan menjadi salah satu bencana alam paling monumental dalam sejarah Amerika Serikat.
Di Beijing, getaran yang dipicu pergerakan kendaraan dan penggalian terowongan mempercepat proses penurunan tanah. Wilayah yang dekat dengan rute kereta bawah tanah dan jalan utama mengalami tingkat penurunan sekitar 1,8 inci per tahun.
Shanghai, kota terpadat di China, juga mengalami penurunan permukaan tanah yang signifikan—sekitar 10 kaki dalam seratus tahun terakhir—dan tren ini tampaknya tidak melambat.
Para ahli memperingatkan bahwa jika laju penurunan tanah dan peningkatan permukaan laut saat ini terus berlanjut, bagian wilayah perkotaan China yang berada di bawah permukaan laut berpotensi meningkat tiga kali lipat pada tahun 2120.
Skenario ini dapat membahayakan populasi yang berkisar antara 55 hingga 128 juta orang. Tanpa intervensi langsung dari badan-badan pemerintahan, konsekuensinya bisa sangat buruk.
“Penurunan tanah menimbulkan risiko bagi bangunan dan infrastruktur vital, dan memperparah dampak perubahan iklim, seperti banjir. Hal ini khususnya berlaku di wilayah pesisir yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut,” ungkap Profesor Robert Nicholls dari Universitas East Anglia.
Namun, ada sisi baiknya, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Osaka dan Tokyo. Perubahan dalam kebijakan yang mengatur penggunaan air tanah pada tahun 1970-an mengakibatkan penurunan substansial atau bahkan penghentian penurunan tanah.
Para peneliti berpendapat bahwa tugas mengatasi penurunan tanah melampaui batas wilayah perkotaan China dan merupakan masalah penting secara global. Hal ini memerlukan upaya terpadu dari kalangan ilmiah dan perencana kota untuk menemukan dan menerapkan solusi efektif.
(mas)