Penerapan UU Pengawasan Negara China Picu Kekhawatiran Serius di Bidang HAM
loading...
A
A
A
BEIJING - Dalam sebuah langkah yang telah mengirimkan gelombang kejut melalui komunitas internasional dan menimbulkan kekhawatiran serius tentang privasi dan hak asasi manusia (HAM), China menerapkan serangkaian peraturan baru di bawah Undang-Undang Anti-Spionase.
Aturan-aturan ini, yang mulai berlaku pada 1 Juli 2024, memberikan kewenangan luas kepada polisi keamanan negara untuk memeriksa dan menggeledah perangkat elektronik seperti telepon pintar dan komputer, yang seolah-olah atas nama keamanan nasional.
Menurut keterangan pakar geopolitik Italia Sergio Restelli, dalam keterangan yang dimuat di The Times of Israel pada Kamis (25/7/2024), UU bernama "Ketentuan tentang Prosedur Penegakan Hukum Administratif Badan Keamanan Nasional" merupakan perluasan signifikan dari kemampuan pengawasan negara China.
Di bawah peraturan baru ini, pihak berwenang China sekarang dapat mengumpulkan data elektronik dari perangkat pribadi, termasuk pesan teks, email, pesan instan, obrolan grup, dokumen, gambar, file audio dan video, aplikasi, dan catatan log.
Mandat yang luas ini secara efektif mengubah telepon pintar setiap warga China menjadi harta karun informasi yang potensial bagi badan keamanan negara.
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari aturan baru ini adalah kemudahan petugas keamanan negara dalam melakukan penggeledahan.
Menurut Pasal 40 peraturan tersebut, personel penegak hukum dapat melakukan inspeksi mendadak dengan hanya menunjukkan kartu polisi atau kartu pengintaian, dengan persetujuan dari kepala badan keamanan negara tingkat kota.
Dalam keadaan darurat, inspeksi ini bahkan dapat dilakukan tanpa surat perintah, yang semakin mengikis perlindungan terhadap penegakan hukum yang sewenang-wenang.
Restelli mengatakan sifat samar dan luas dari aturan ini sangat meresahkan.
Pasal 20 mencantumkan "data elektronik" dan "materi audio-visual" sebagai bukti yang dapat digunakan dalam penyelidikan, sementara Pasal 41 mendefinisikan "orang yang diperiksa" tidak hanya mencakup pemilik perangkat, tetapi juga pemegangnya, penjaganya, atau unit terkaitnya.
Definisi yang luas tersebut berpotensi mengekspos berbagai individu dan organisasi untuk diawasi.
Selain itu, peraturan tersebut memberikan wewenang kepada otoritas untuk memerintahkan individu dan organisasi untuk berhenti menggunakan peralatan elektronik, fasilitas, dan program terkait tertentu.
Dalam kasus di mana orang menolak untuk mematuhi "persyaratan perbaikan”, badan keamanan negara dapat menyegel atau menyita perangkat yang dimaksud.
Menurut Restelli, aturan baru China ini membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan, yang memungkinkan negara untuk secara efektif membungkam suara-suara yang tidak setuju atau menghalangi operasi organisasi yang dianggapnya bermasalah.
Aturan baru tersebut juga memungkinkan "ekstraksi”, pengumpulan, dan penyimpanan data elektronik sebagai bukti, dan bahkan penyitaan media penyimpanan asli.
Tingkat intrusi ke dalam data pribadi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perlindungan privasi dan informasi rahasia, khususnya bagi bisnis asing yang beroperasi di China.
Sementara Kementerian Keamanan Negara China telah berusaha meredakan kekhawatiran dengan menyatakan bahwa peraturan ini akan menargetkan "individu dan organisasi yang terkait kelompok mata-mata" dan bahwa "warga biasa tidak akan diperiksa telepon pintarnya di bandara”, bahasa yang luas dari aturan ini menyisakan banyak ruang untuk interpretasi dan potensi penyalahgunaan.
Penerapan aturan ini terjadi di tengah kampanye yang lebih luas oleh pemerintah China untuk mendorong warga negara agar waspada terhadap ancaman terkait keamanan nasional, termasuk mewaspadai mata-mata asing dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Suasana kecurigaan ini, ditambah kewenangan baru yang diberikan kepada badan keamanan negara, kemungkinan dapat menciptakan efek mengerikan pada kebebasan berekspresi dan keterlibatan internasional di China.
Para pakar hukum dan pembela hak asasi manusia telah menyatakan kekhawatiran serius tentang implikasi dari aturan baru ini.
Kewenangan yang luas dapat digunakan untuk menyasar para pembangkang, pengacara hak asasi manusia, dan pihak lain yang telah berbicara buruk tentang pemerintah, yang berpotensi mengakibatkan penahanan administratif atau konsekuensi hukum yang lebih berat.
Peraturan baru ini kemungkinan akan memberikan dampak sangat buruk bagi bisnis asing dan ekspatriat di China.
Dengan potensi penggeledahan perangkat secara sewenang-wenang, perusahaan mungkin kesulitan untuk melindungi informasi kepemilikan dan menjaga kerahasiaan operasi mereka.
Hal itu dapat menyebabkan penurunan investasi asing dan eksodus bakat internasional dari China, yang selanjutnya mengisolasi negara tersebut dari pasar global dan jaringan inovasi.
Selain itu, peraturan tersebut tampaknya menjadi bagian dari tren yang lebih luas untuk memperketat kontrol atas arus informasi masuk dan keluar dari China.
Bukti anekdotal menunjukkan bahwa penjaga perbatasan sudah melakukan pemeriksaan acak terhadap ponsel pelancong di pelabuhan masuk.
Praktik tersebut, yang sekarang diformalkan dan diperluas berdasarkan peraturan baru, kemungkinan akan menciptakan hambatan tambahan untuk perjalanan internasional dan operasi bisnis.
Pembenaran pemerintah China atas tindakan ini—perlindungan keamanan nasional—terdengar hampa jika dilihat dalam konteks kampanye yang lebih luas untuk mengontrol informasi dan menekan perbedaan pendapat.
Dengan menciptakan suasana pengawasan dan ketakutan yang meluas, China bertujuan mendorong penyensoran diri yang ketat di antara penduduknya.
Pihak berwenang China mungkin sangat tertarik mengidentifikasi individu yang menggunakan aplikasi pesan terenkripsi seperti Signal atau Telegram, yang selanjutnya memperketat jerat pada komunikasi pribadi.
Restelli menyerukan masyarakat internasional untuk menanggapi tindakan sewenang-wenang China ini dengan tegas.
Menurutnya, pemerintah, organisasi hak asasi manusia, dan bisnis harus menyuarakan keprihatinan mereka tentang potensi penyalahgunaan dan efek mengerikan dari peraturan ini terhadap kebebasan berekspresi dan hak privasi di China.
Tekanan diplomatik, lanjut dia, harus diterapkan untuk mendesak pemerintah China agar mempertimbangkan kembali kewenangan yang terlalu luas dan mengganggu ini.
Lebih jauh, individu dan organisasi yang beroperasi di atau bepergian ke China harus menyadari risiko baru ini, dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat guna melindungi informasi sensitif.
Itu dapat mencakup penggunaan ponsel sekali pakai, menghindari penyimpanan data sensitif pada perangkat yang dibawa ke negara tersebut, dan berhati-hati perihal komunikasi digital saat berada di China.
Peraturan baru China yang memberikan kewenangan luas kepada badan keamanan negara untuk menggeledah dan menyita perangkat elektronik merupakan peningkatan signifikan dalam kemampuan pengawasan negara dan ancaman serius terhadap privasi individu dan kebebasan berekspresi.
Seiring dengan semakin ketatnya jaringan digital, Restelli mendorong masyarakat internasional untuk selalu waspada dan terus mengadvokasi perlindungan hak asasi manusia yang fundamental di era digital.
Konsekuensi jangka panjang dari tindakan ini, menurut Restelli, mungkin akan melampaui batas wilayah China, dan menjadi preseden berbahaya bagi kontrol otoriter di era digital.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Aturan-aturan ini, yang mulai berlaku pada 1 Juli 2024, memberikan kewenangan luas kepada polisi keamanan negara untuk memeriksa dan menggeledah perangkat elektronik seperti telepon pintar dan komputer, yang seolah-olah atas nama keamanan nasional.
Menurut keterangan pakar geopolitik Italia Sergio Restelli, dalam keterangan yang dimuat di The Times of Israel pada Kamis (25/7/2024), UU bernama "Ketentuan tentang Prosedur Penegakan Hukum Administratif Badan Keamanan Nasional" merupakan perluasan signifikan dari kemampuan pengawasan negara China.
Di bawah peraturan baru ini, pihak berwenang China sekarang dapat mengumpulkan data elektronik dari perangkat pribadi, termasuk pesan teks, email, pesan instan, obrolan grup, dokumen, gambar, file audio dan video, aplikasi, dan catatan log.
Mandat yang luas ini secara efektif mengubah telepon pintar setiap warga China menjadi harta karun informasi yang potensial bagi badan keamanan negara.
Salah satu aspek paling mengkhawatirkan dari aturan baru ini adalah kemudahan petugas keamanan negara dalam melakukan penggeledahan.
Menurut Pasal 40 peraturan tersebut, personel penegak hukum dapat melakukan inspeksi mendadak dengan hanya menunjukkan kartu polisi atau kartu pengintaian, dengan persetujuan dari kepala badan keamanan negara tingkat kota.
Dalam keadaan darurat, inspeksi ini bahkan dapat dilakukan tanpa surat perintah, yang semakin mengikis perlindungan terhadap penegakan hukum yang sewenang-wenang.
Restelli mengatakan sifat samar dan luas dari aturan ini sangat meresahkan.
Pasal 20 mencantumkan "data elektronik" dan "materi audio-visual" sebagai bukti yang dapat digunakan dalam penyelidikan, sementara Pasal 41 mendefinisikan "orang yang diperiksa" tidak hanya mencakup pemilik perangkat, tetapi juga pemegangnya, penjaganya, atau unit terkaitnya.
Definisi yang luas tersebut berpotensi mengekspos berbagai individu dan organisasi untuk diawasi.
Kebebasan Berekspresi di China
Selain itu, peraturan tersebut memberikan wewenang kepada otoritas untuk memerintahkan individu dan organisasi untuk berhenti menggunakan peralatan elektronik, fasilitas, dan program terkait tertentu.
Dalam kasus di mana orang menolak untuk mematuhi "persyaratan perbaikan”, badan keamanan negara dapat menyegel atau menyita perangkat yang dimaksud.
Menurut Restelli, aturan baru China ini membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan, yang memungkinkan negara untuk secara efektif membungkam suara-suara yang tidak setuju atau menghalangi operasi organisasi yang dianggapnya bermasalah.
Aturan baru tersebut juga memungkinkan "ekstraksi”, pengumpulan, dan penyimpanan data elektronik sebagai bukti, dan bahkan penyitaan media penyimpanan asli.
Tingkat intrusi ke dalam data pribadi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perlindungan privasi dan informasi rahasia, khususnya bagi bisnis asing yang beroperasi di China.
Sementara Kementerian Keamanan Negara China telah berusaha meredakan kekhawatiran dengan menyatakan bahwa peraturan ini akan menargetkan "individu dan organisasi yang terkait kelompok mata-mata" dan bahwa "warga biasa tidak akan diperiksa telepon pintarnya di bandara”, bahasa yang luas dari aturan ini menyisakan banyak ruang untuk interpretasi dan potensi penyalahgunaan.
Penerapan aturan ini terjadi di tengah kampanye yang lebih luas oleh pemerintah China untuk mendorong warga negara agar waspada terhadap ancaman terkait keamanan nasional, termasuk mewaspadai mata-mata asing dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Suasana kecurigaan ini, ditambah kewenangan baru yang diberikan kepada badan keamanan negara, kemungkinan dapat menciptakan efek mengerikan pada kebebasan berekspresi dan keterlibatan internasional di China.
Para pakar hukum dan pembela hak asasi manusia telah menyatakan kekhawatiran serius tentang implikasi dari aturan baru ini.
Kewenangan yang luas dapat digunakan untuk menyasar para pembangkang, pengacara hak asasi manusia, dan pihak lain yang telah berbicara buruk tentang pemerintah, yang berpotensi mengakibatkan penahanan administratif atau konsekuensi hukum yang lebih berat.
Peraturan baru ini kemungkinan akan memberikan dampak sangat buruk bagi bisnis asing dan ekspatriat di China.
Dengan potensi penggeledahan perangkat secara sewenang-wenang, perusahaan mungkin kesulitan untuk melindungi informasi kepemilikan dan menjaga kerahasiaan operasi mereka.
Hal itu dapat menyebabkan penurunan investasi asing dan eksodus bakat internasional dari China, yang selanjutnya mengisolasi negara tersebut dari pasar global dan jaringan inovasi.
Preseden Berbahaya
Selain itu, peraturan tersebut tampaknya menjadi bagian dari tren yang lebih luas untuk memperketat kontrol atas arus informasi masuk dan keluar dari China.
Bukti anekdotal menunjukkan bahwa penjaga perbatasan sudah melakukan pemeriksaan acak terhadap ponsel pelancong di pelabuhan masuk.
Praktik tersebut, yang sekarang diformalkan dan diperluas berdasarkan peraturan baru, kemungkinan akan menciptakan hambatan tambahan untuk perjalanan internasional dan operasi bisnis.
Pembenaran pemerintah China atas tindakan ini—perlindungan keamanan nasional—terdengar hampa jika dilihat dalam konteks kampanye yang lebih luas untuk mengontrol informasi dan menekan perbedaan pendapat.
Dengan menciptakan suasana pengawasan dan ketakutan yang meluas, China bertujuan mendorong penyensoran diri yang ketat di antara penduduknya.
Pihak berwenang China mungkin sangat tertarik mengidentifikasi individu yang menggunakan aplikasi pesan terenkripsi seperti Signal atau Telegram, yang selanjutnya memperketat jerat pada komunikasi pribadi.
Restelli menyerukan masyarakat internasional untuk menanggapi tindakan sewenang-wenang China ini dengan tegas.
Menurutnya, pemerintah, organisasi hak asasi manusia, dan bisnis harus menyuarakan keprihatinan mereka tentang potensi penyalahgunaan dan efek mengerikan dari peraturan ini terhadap kebebasan berekspresi dan hak privasi di China.
Tekanan diplomatik, lanjut dia, harus diterapkan untuk mendesak pemerintah China agar mempertimbangkan kembali kewenangan yang terlalu luas dan mengganggu ini.
Lebih jauh, individu dan organisasi yang beroperasi di atau bepergian ke China harus menyadari risiko baru ini, dan mengambil tindakan pencegahan yang tepat guna melindungi informasi sensitif.
Itu dapat mencakup penggunaan ponsel sekali pakai, menghindari penyimpanan data sensitif pada perangkat yang dibawa ke negara tersebut, dan berhati-hati perihal komunikasi digital saat berada di China.
Peraturan baru China yang memberikan kewenangan luas kepada badan keamanan negara untuk menggeledah dan menyita perangkat elektronik merupakan peningkatan signifikan dalam kemampuan pengawasan negara dan ancaman serius terhadap privasi individu dan kebebasan berekspresi.
Seiring dengan semakin ketatnya jaringan digital, Restelli mendorong masyarakat internasional untuk selalu waspada dan terus mengadvokasi perlindungan hak asasi manusia yang fundamental di era digital.
Konsekuensi jangka panjang dari tindakan ini, menurut Restelli, mungkin akan melampaui batas wilayah China, dan menjadi preseden berbahaya bagi kontrol otoriter di era digital.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(mas)