Warga Palestina di Lebanon Siap Bertempur jika Israel Perangi Hizbullah
loading...
A
A
A
“Saya pikir banyak warga Palestina akan mencoba kembali ke Palestina sekaligus jika terjadi perang. Itulah yang dibicarakan orang-orang di kamp,” papar dia.
Abu Ali mengatakan dia yakin Israel dapat mengebom kamp-kamp Palestina dan kemudian mengklaim kamp-kamp itu menampung pejuang perlawanan, pembenaran yang serupa dengan yang digunakannya ketika mengebom lingkungan dan kamp-kamp pengungsian di Gaza, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pakar hukum.
“Warga Palestina tidak akan punya pilihan lain selain kembali ke tanah air mereka jika kamp-kamp di Lebanon dihancurkan,” ungkap Abu Ali, seraya menambahkan, “Sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan, warga Palestina menghadapi diskriminasi hukum yang keras dan hidup dalam kemiskinan di Lebanon.”
“Satu-satunya tempat yang dapat saya kunjungi adalah Palestina atau Eropa,” ungkap Abu Ali kepada Al Jazeera. “Namun untuk pergi ke Eropa, saya butuh USD10.000 atau USD12.000 agar seorang penyelundup bisa keluar dari sini. Itu mustahil.”
Di Shatila, beberapa pria Palestina mengatakan rekan-rekan mereka akan bergabung dalam perjuangan bersenjata melawan Israel jika Israel melancarkan perang yang lebih luas melawan Hizbullah.
Mereka menambahkan, Hamas telah menarik ribuan anggota baru dari kalangan pendukung tradisionalnya dan dari komunitas yang secara historis berpihak pada Fatah, faksi saingan yang dipimpin Mahmoud Abbas yang mengepalai Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat.
“Pertama-tama, ada banyak pejuang perlawanan di semua kamp di Lebanon. Kedua, jika perang besar dimulai, maka kami tidak takut. Kami memiliki ribuan dan ribuan pejuang yang siap menjadi martir untuk membebaskan Palestina,” tegas seorang pria yang dipanggil Fadi Abu Ahmad, anggota Hamas di kamp tersebut.
Abu Ahmad mengakui warga sipil terutama anak-anak, wanita, dan orang tua dapat mengalami kerugian yang tidak proporsional jika Israel menargetkan warga Palestina di Lebanon.
Namun, dia mengklaim, “Sebagian besar pengungsi Palestina percaya darah mereka adalah harga yang harus mereka bayar untuk membebaskan Palestina."
Dia membandingkannya dengan perang kemerdekaan Aljazair dari Prancis, yang berlangsung dari tahun 1954 hingga 1962 dan menyebabkan kematian satu juta warga Aljazair.
Abu Ali mengatakan dia yakin Israel dapat mengebom kamp-kamp Palestina dan kemudian mengklaim kamp-kamp itu menampung pejuang perlawanan, pembenaran yang serupa dengan yang digunakannya ketika mengebom lingkungan dan kamp-kamp pengungsian di Gaza, menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pakar hukum.
“Warga Palestina tidak akan punya pilihan lain selain kembali ke tanah air mereka jika kamp-kamp di Lebanon dihancurkan,” ungkap Abu Ali, seraya menambahkan, “Sebagai pengungsi tanpa kewarganegaraan, warga Palestina menghadapi diskriminasi hukum yang keras dan hidup dalam kemiskinan di Lebanon.”
“Satu-satunya tempat yang dapat saya kunjungi adalah Palestina atau Eropa,” ungkap Abu Ali kepada Al Jazeera. “Namun untuk pergi ke Eropa, saya butuh USD10.000 atau USD12.000 agar seorang penyelundup bisa keluar dari sini. Itu mustahil.”
Siap untuk Bertempur
Di Shatila, beberapa pria Palestina mengatakan rekan-rekan mereka akan bergabung dalam perjuangan bersenjata melawan Israel jika Israel melancarkan perang yang lebih luas melawan Hizbullah.
Mereka menambahkan, Hamas telah menarik ribuan anggota baru dari kalangan pendukung tradisionalnya dan dari komunitas yang secara historis berpihak pada Fatah, faksi saingan yang dipimpin Mahmoud Abbas yang mengepalai Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat.
“Pertama-tama, ada banyak pejuang perlawanan di semua kamp di Lebanon. Kedua, jika perang besar dimulai, maka kami tidak takut. Kami memiliki ribuan dan ribuan pejuang yang siap menjadi martir untuk membebaskan Palestina,” tegas seorang pria yang dipanggil Fadi Abu Ahmad, anggota Hamas di kamp tersebut.
Abu Ahmad mengakui warga sipil terutama anak-anak, wanita, dan orang tua dapat mengalami kerugian yang tidak proporsional jika Israel menargetkan warga Palestina di Lebanon.
Namun, dia mengklaim, “Sebagian besar pengungsi Palestina percaya darah mereka adalah harga yang harus mereka bayar untuk membebaskan Palestina."
Dia membandingkannya dengan perang kemerdekaan Aljazair dari Prancis, yang berlangsung dari tahun 1954 hingga 1962 dan menyebabkan kematian satu juta warga Aljazair.