Teroris Christchurch Pembantai 51 Muslim Akan Tatap Korban yang Selamat

Jum'at, 21 Agustus 2020 - 14:33 WIB
loading...
Teroris Christchurch Pembantai 51 Muslim Akan Tatap Korban yang Selamat
Brenton Tarrant, teroris asal Australia yang membantai 51 jamaah dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, 15 Maret 2019. Foto/Sydney Morning Herald
A A A
WELLINGTON - Seorang pelaku aksi terorisme asal Australia yang membunuh 51 jamaah Muslim dalam penembakan massal di dua masjid di Christchurch , Selandia Baru, tahun lalu akan menatap orang-orang yang selamat dari aksinya. Momen itu akan terjadi selama sidang vonis minggu depan yang kemungkinan akan membuatnya dipenjara seumur hidup.

Brenton Tarrant dinyatakan bersalah pada Maret lalu atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan terorisme, setelah mencabut pengakuan tidak bersalah yang dia buat sebelumnya.

(Baca juga : Iran: Palestina 'Terbakar' oleh Pengkhianatan Negara Arab )

Tarrant diperkirakan akan hadir di gedung pengadilan Christchurch untuk sidang hukuman empat hari yang dimulai Senin (24/8/2020) di tengah keamanan yang ketat dan pembatasan pelaporan media yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Beberapa penyintas dan keluarga korban akan diizinkan berada di ruang sidang untuk pertemuan pertama mereka dengan Tarrant sejak penembakan massal pada 15 Maret 2019.

(Baca: Teroris Pembantai Jamaah Masjid Christchurch: Berapa yang Saya Bunuh )

Dia sebelumnya telah diadili melalui tautan video dari penjara dengan keamanan maksimum di Auckland.

Dengan luka yang masih jadi trauma akibat kekejaman yang mengejutkan publik Selandia Baru , Hakim Ketua Pengadilan Tinggi Cameron Mander mengatakan hukuman itu merupakan tonggak penting bagi para korban.

"Finalitas dan penutupan dianggap oleh beberapa orang sebagai cara terbaik untuk memberikan bantuan kepada komunitas Muslim," katanya menjelang sidang, seperti dikutip Channel News Asia,Jumat (21/8/2020).

Lebih dari 60 orang yang akan memberikan pernyataan dampak yang dialami korban penembakan telah melakukan perjalanan dari luar negeri untuk menghadiri sidang. Mereka telah menjalani karantina selama dua minggu sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam persidangan.

Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan ini akan menjadi minggu yang sulit bagi banyak orang.

"Saya kira tidak ada yang bisa saya katakan yang akan meringankan betapa traumatisnya periode tersebut," katanya kepada wartawan.

"Keseluruhan proses kemungkinan akan memakan waktu, sebagaimana mestinya, orang perlu didengarkan," ujarnya.

Polisi akan meningkatkan patroli di sekitar gedung pengadilan dan petugas pendukung korban akan hadir dengan spesialis kesehatan mental setempat yang siaga untuk rujukan.

Pihak berwenang juga berniat mencegah Tarrant, yang mewakili dirinya sendiri setelah memecat pengacaranya bulan lalu, menggunakan sidang untuk mempromosikan ekstremisme.

Dia telah mencoba mengirim pesan berkode sebelumnya, menunjukkan isyarat tangan "OK" yang digunakan untuk memberi sinyal supremasi kulit putih selama penampilan di sidang perdana.

Hakim Mander telah memberlakukan pembatasan luar biasa pada media untuk memastikan bahwa meski pria berusia 29 tahun itu mengeluarkan propaganda neo-Nazi dari dokumennya yang membuatnya mendapatkan publisitas.

Menyediakan update atau pembaruan langsung—praktik umum untuk media yang meliput kasus pengadilan—telah dilarang. (Baca: Sebelum Teroris Bantai 51 Jamaah Masjid Christchurch, Masjid Lain Juga Diancam )

Sebaliknya, Mander akan memberi tahu media setelah setiap sesi pengadilan tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilaporkan, di mana pelanggaran apa pun kemungkinan besar akan mengakibatkan tuduhan penghinaan terhadap pengadilan.

"Pengadilan memiliki tugas, terutama dalam konteks pelanggaran terhadap UU Pemberantasan Terorisme, untuk memastikan UU itu tidak digunakan sebagai platform...(dan) mencegahnya digunakan sebagai kendaraan untuk kerusakan lebih lanjut," katanya.

Setelah pembantaian massal itu, Ardern bersumpah untuk mencegah ketenaran si penembak dengan tidak pernah sudi menyebutkan namanya.

Pembatasan pengadilan menyoroti sensitivitas seputar penembakan massal terburuk dalam sejarah Selandia Baru modern, yang mendorong pemerintah untuk memperketat undang-undang senjata dan meningkatkan upaya untuk mengekang ekstremisme online.

Tarrant, mantan instruktur gym dari kota Grafton, Australia, tiba di Selandia Baru pada 2017.

Dia seorang penyendiri dan obsesif internet yang sering mengunjungi ruang obrolan online ekstremis. Dia tinggal sendirian di Dunedin sambil mengumpulkan senjata dan merencanakan pembunuhannya, yang pada akhirnya memilih kota Christchurch sebagai targetnya.

Berbekal senjata semi-otomatis, dia menyerang masjid Al Noor terlebih dahulu, sebelum pindah ke Linwood Islamic Center. Dia menyiarkan langsung pembantaian itu sambil melarikan diri.

Semua korbannya adalah Muslim dan termasuk anak-anak, perempun dan orang tua.

Selandia Baru tidak memiliki hukuman mati, tetapi Tarrant menghadapi kemungkinan menghabiskan sisa hidupnya di balik jeruji besi.

Tuduhan terorisme dan pembunuhan membawa terdakwa ke hukuman penjara seumur hidup. Penjara seumur hidup di Selandia Baru menetapkan jangka waktu non-pembebasan bersyarat minimum 17 tahun, tetapi hakim berwenang memenjarakan terdakwa tanpa kemungkinan pembebasan.

Jika Mander menggunakan wewenangnya itu, maka Tarrant akan menjadi orang pertama di Selandia Baru yang dihukum penjara seumur hidupnya.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1892 seconds (0.1#10.140)