Pekik 'Matilah AS, Israel dan al-Saud' dalam 40 Tahun Revolusi Iran

Senin, 11 Februari 2019 - 16:53 WIB
Pekik Matilah AS, Israel dan al-Saud dalam 40 Tahun Revolusi Iran
Pekik 'Matilah AS, Israel dan al-Saud' dalam 40 Tahun Revolusi Iran
A A A
TEHERAN - Hari ini (11/2/2019) menjadi puncak peringatan 40 tahun Revolusi Islam Iran 1979. Rakyat negeri para Mullah memadati jalan-jalan di seluruh negeri, memperbarui kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip Islam negara itu.

Yel-yel anti-Amerika Serikat (AS), Israel dan Arab Saudi disuarakan massa di jalan-jalan. "Matilah Amerika, Matilah Israel, Matilah al-Saud," pekik para demonstran yang meramaikan peringatan revolusi tersebut, sebagaimana dikutip Al Jazeera. Al-Saud adalah nama keluarga penguasa Arab Saudi.

Peringatan 40 tahun Revolusi Islam Iran ini berlangsung pada saat AS menggencarkan tekanan sanksi ekonomi.

Saban 11 Februari, Iran menyelenggarakan pertemuan umum nasional untuk menyoroti besarnya dukungan akar rumput untuk revolusi, yang menggantikan rezim pemerintahan Shah Mohammad Reza Pahlavi dengan Republik Islam di bawah Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ruhollah Khomeini.

Di dalam negeri, acara ini juga dikenal sebagai "Fajar Sepuluh Hari" untuk memperingati periode protes kekerasan setelah kembalinya Khomeini 1 Februari 1979 dari pengasingan. Ini juga menandai akhir 2.500 tahun Kekaisaran Persia.

Di Teheran, ratusan ribu demonstran berkumpul di Azadi Square, salah satu monumen paling ikonik di ibu kota yang dibangun oleh Shah yang didukung Amerika Serikat. Monumen itu diganti namanya setelah kemenangan pasukan loyalis Khomeini.

Dalam pidatonya kepada para demonstran, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan Revolusi 1979 menyelamatkan negara dari tirani, penjajahan, dan ketergantungan.

"Bangsa ini telah berhasil membangun sistem Republik Islam dan sistem pemerintahan yang independen," kata Rouhani. Negara, lanjut Rouhani, juga telah berhasil menggagalkan konspirasi yang dipimpin oleh AS dan Israel.

Dia juga bersumpah bahwa negaranya akan terus mengejar program rudal untuk mempertahankan negara dari ancaman eksternal.

"Kami belum meminta, dan tidak akan pernah meminta izin dalam mengembangkan persenjataan rudal kami karena kami terus mengejar bagian kami terhadap kekuatan militer," kata sang presiden.

Di tengah hujan dan salju yang menutupi sebagian ibu kota Iran, demonstran berbaris melalui jalan-jalan utama sambil membawa spanduk dan tanda anti-AS, anti-Israel dan anti-Saudi. Pekikan kematian untuk ketiga pemerintahan itu nyaring diteriakkan para demonstran.

Seorang demonstran, yang merupakan seorang akuntan berusia 30-an tahun, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ia berpartisipasi dalam pawai setiap tahun. Tahun ini, ia berbaris bersama istrinya, putra mereka yang berusia sembilan tahun dan anggota keluarga lainnya.

Pria itu, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengatakan bahwa ia tetap setia pada prinsip-prinsip Republik Islam, tetapi juga meminta pejabat publik untuk membasmi korupsi di pemerintahan.

Keamanan telah diperketat di Iran menjelang acara pada hari Senin. Tahun lalu, orang-orang bersenjata berpakaian seragam militer melepaskan tembakan terhadap peserta parade militer di Ahvaz saat menandai peringatan 30 tahun berakhirnya perang Iran-Irak. Serangan itu menewaskan sedikitnya 29 orang dan melukai sejumlah orang.

Sejak revolusi, yang menyatukan beragam komunitas anti-Shah, negara itu sekarang terindikasi terpecah antara kelompok garis keras yang percaya pada penerapan hukum yang ketat sejak 40 tahun lalu, dan kaum reformis yang mendorong transparansi ekonomi dan kebebasan di antara penduduknya.

Pada tahun 2017, Presiden Hassan Rouhani terpilih kembali dalam pemungutan suara pemilu. Di bawah kepemimpinannya pada periode sebelumnya, kesepakatan nuklir antara Iran dan enam kekuatan dunia (AS, Rusia, Inggris, Prancis, Jerman dan China) diteken tahun 2015. Kesepakatan itu diikuti dengan pencabutan sanksi ekonomi.

Namun tahun lalu, AS secara sepihak keluar dari pakta nuklir multilateral yang didukung PBB tersebut. Pemerintah Presiden Donald Trump lantas menerapkan kembali sanksi yang telah dicabut dan mengadopsi kebijakan "tekanan maksimum" terhadap Iran.

Sikap Presiden Trump bertujuan untuk memaksa Iran menegosiasikan pengembangan misilnya serta kehadiran militernya di Timur Tengah. Iran mengesampingkan negosiasi semacam itu.

Trump mengatakan ia telah menempatkan sanksi terberat yang pernah dijatuhkan oleh AS pada suatu negara. Embargo menargetkan sektor-sektor utama seperti minyak, perbankan dan industri perkapalan untuk memotong pendapatan minyak Iran—sumber utama "mata uang keras" negara tersebut.

Washington juga ingin memengaruhi mata pencaharian rakyat Iran biasa yang telah menderita oleh meroketnya harga-harga barang konsumtif menyusul jatuhnya nilai mata uang Iran. Hal itu sebagian besar disebabkan oleh sanksi AS yang menjaga akses Iran ke "mata uang keras" tetap terkendali.

Kesulitan ekonomi yang terus berlangsung telah membuat marah orang-orang berpenghasilan rendah di Iran. Hal itu memicu protes sporadis selama setahun terakhir.

Untuk membantu menyelamatkan kesepakatan nuklir, Inggris, Prancis dan Jerman baru-baru ini meluncurkan "Instrumen untuk Mendukung Pertukaran Perdagangan", sebuah mekanisme untuk melakukan perdagangan non-dolar dengan Iran dan memotong sanksi Washington.

Tetapi, ketika Iran dan Eropa bekerja untuk menyelamatkan pakta nuklir, baik Uni Eropa dan PBB telah menunjukkan tanda-tanda tidak suka terhadap aktivitas rudal balistik Iran dan tuduhan plot pembunuhan yang diduga dilakukan oleh agen-agen Iran di tanah Eropa. Teheran, yang mengatakan rudal balistiknya akan digunakan semata-mata untuk tujuan pertahanan, membantah tuduhan itu.

Pada hari Jumat, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menyatakan skeptis tentang keinginan Eropa untuk bertindak demi kepentingan Iran.

"Saya merekomendasikan agar rakyat tidak mempercayai orang Eropa, sama seperti orang Amerika," katanya. "Kami tidak berbicara, tidak memiliki kontak dengan mereka, tetapi ini masalah kepercayaan."

Khamenei mengatakan bangsa Iran tidak akan meninggalkan slogan "Matilah Amerika" selama AS melanjutkan "kejahatannya". Namun, Khamenei menegaskan slogan itu berlaku untuk penguasan Amerika yang mencakup Trump; Penasihat Keamanan Nasional John Bolton, Menteri Luar Negeri Michael Pompeo, dan bukanlah ditujukan kepada rakyat AS.

Peringatan Revolusi Islam Iran tahun ini juga hampir bertepatan dengan pertemuan puncak yang diselenggarakan oleh AS di ibu kota Polandia, Warsawa. Pertemuan itu dipandang sebagai pertemuan anti-Iran.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, serta para pemimpin dari rival regional Iran, Arab Saudi dan sekutu-sekutunya, diperkirakan akan hadir di Warsawa pada 13 dan 14 Februari untuk menghadiri pertemuan itu. Penggagas pertemuan mengklaim acara itu bertujuan untuk mempromosikan masa depan perdamaian dan keamanan di Timur Tengah.

Pada hari Minggu, mengomentari pernyataan yang lebih baru bahwa pertemuan Warsawa tidak akan fokus pada Iran, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengatakan; "KTT akan gagal sejak awal, karena AS mundur dari sikap awalnya."
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4261 seconds (0.1#10.140)