Ramadan di Gaza: Makanan Langka namun Kesedihan Berlimpah
loading...
A
A
A
“Saya ingat kakak ipar saya membantu saya mendekorasi balkon rumah kami dengan lentera kecil ini,” ungkap dia.
Tradisi yang dijunjung tinggi ini, dipimpin ibu-ibu muda dan pemuda yang antusias, menciptakan suasana yang dinamis di seluruh lingkungan.
“Pemandangan jalanan Gaza yang terang benderang, yang ditenagai generator, panel surya, atau bahkan listrik yang tersebar secara sporadis, akan memenuhi hati saya dengan kegembiraan,” papar dia.
Namun tahun ini, Ramadhan adalah bulan yang menyedihkan. Jalan-jalan malam hari yang semarak di Gaza kini menjadi sunyi senyap.
Dulunya ada kehidupan, kini tinggal puing-puing. Suara gembira anak-anak yang bermain telah digantikan tangisan menyayat hati dari orang-orang yang masih terjebak di bawahnya.
“Pada hari pertama Ramadan, saya berjalan-jalan mencari kemiripan dengan masa lalu. Sedikit harapan yang saya miliki malah menjadi kesadaran yang menyakitkan tentang betapa banyak kerugian yang telah kami alami,” papar dia.
Hanya beberapa kios yang tersisa di pasar luar ruangan yang dulunya ramai, menjual lemon, terong, tomat, dan sabun cuci buatan sendiri dalam jumlah sedikit.
“Wajah-wajah yang saya temui dipenuhi dengan kesedihan dan keputusasaan. Pada saat itu, saya tidak bisa menahan tangis atas hilangnya kenangan berharga itu,” ungkap Ghada Alhaddad.
Lampu dan lentera berwarna-warni yang biasa menghiasi jalan telah digantikan oleh ledakan bom yang keras dan kehancuran total.
Masjid-masjid, yang dulu penuh sesak dengan jemaah, kini kosong atau menjadi reruntuhan. Para imam sekarang mengimbau individu untuk beribadah di dalam rumah atau tenda darurat mereka sendiri.
Tradisi yang dijunjung tinggi ini, dipimpin ibu-ibu muda dan pemuda yang antusias, menciptakan suasana yang dinamis di seluruh lingkungan.
“Pemandangan jalanan Gaza yang terang benderang, yang ditenagai generator, panel surya, atau bahkan listrik yang tersebar secara sporadis, akan memenuhi hati saya dengan kegembiraan,” papar dia.
Namun tahun ini, Ramadhan adalah bulan yang menyedihkan. Jalan-jalan malam hari yang semarak di Gaza kini menjadi sunyi senyap.
Dulunya ada kehidupan, kini tinggal puing-puing. Suara gembira anak-anak yang bermain telah digantikan tangisan menyayat hati dari orang-orang yang masih terjebak di bawahnya.
“Pada hari pertama Ramadan, saya berjalan-jalan mencari kemiripan dengan masa lalu. Sedikit harapan yang saya miliki malah menjadi kesadaran yang menyakitkan tentang betapa banyak kerugian yang telah kami alami,” papar dia.
Hanya beberapa kios yang tersisa di pasar luar ruangan yang dulunya ramai, menjual lemon, terong, tomat, dan sabun cuci buatan sendiri dalam jumlah sedikit.
“Wajah-wajah yang saya temui dipenuhi dengan kesedihan dan keputusasaan. Pada saat itu, saya tidak bisa menahan tangis atas hilangnya kenangan berharga itu,” ungkap Ghada Alhaddad.
Lampu dan lentera berwarna-warni yang biasa menghiasi jalan telah digantikan oleh ledakan bom yang keras dan kehancuran total.
Masjid-masjid, yang dulu penuh sesak dengan jemaah, kini kosong atau menjadi reruntuhan. Para imam sekarang mengimbau individu untuk beribadah di dalam rumah atau tenda darurat mereka sendiri.