Ledakan di Beirut Jadi Titik Balik Perubahan Libanon

Selasa, 11 Agustus 2020 - 12:11 WIB
loading...
A A A
Skala kehancuran yang menimpa Libanon mempertaruhkan karier politik PM Hassan Diab. Dia kini membentuk komite penyelidikan untuk mencari tahu penyebab ledakan. Namun, sejauh ini, para pejabat senior di Libanon saling menyalahkan satu sama lain dan tidak mau bertanggung jawab.

"Saya kira Libanon tidak akan berubah. Korupsi akan tetap menjadi bisnis rutin di sini," kata Tony Sawaya, kepala makelar asuransi lokal. Beberapa warga lokal juga mendesak diadakannya thawra atau revolusi. Namun, tidak ada yang tahu jika masyarakat Libanon akan kembali bangkit dan berupaya melakukan reformasi.

Senada dengan Sawaya, Eric Verdeil dari Institut Politik di Paris, Prancis, mengatakan demokrasi di Libanon didasarkan pada masyarakat dan perwakilan agama. Namun, kekuasaan terbesar dipegang para elite politik yang juga mengendalikan perekonomian Libanon.

Pemerintah Libanon juga baru saja berganti tahun lalu setelah adanya penggulingan. Namun, masyatakat masih tidak puas karena sebagian besar institusi sebumnya masih kukuh berdiri sehingga mereka mendesak adanya perubahan substansial. Meski demikian, perubahan itu tidak mudah.

Rekonstruksi politik dan ekonomi Libanon memerlukan waktu. Dengan hancurnya pelabuhan Beirut, hal itu akan kian melambat. Pasalnya, pelabuhan tersebut menjadi urat nadi jalur ekspor obat-obatan, gandum, dan kebutuhan pokok rakyat Libanon. Ahli ekonomi Roy Badaro memperkirakan kerugian langsung yang ditelan Libanon mencapai USD3 miliar. (Baca juga: Ganjil Genap Diperluas, Pengamat Sebut Berpotensi Timbulkan Klaster Baru Covid-19)

Ledakan di Pelabuhan Beirut tidak terlepas dari kelalaian dalam mengelola 2.750 ton amonium nitrat yang terbengkalai selama enam tahun. Seperti dilansir RT, bahan kimia itu disita dari kapal MV Rhosus yang dijadwalkan berlayar dari Georgia menuju Mozambik. Tapi akibat masalah teknis, misi itu tidak tercapai.

Kapal MV Rhosus sempat ditahan selama dua pekan di Sevilla, Spanyol, karena tidak memiliki generator cadangan sebelum akhirnya kembali tertahan di Beirut. Port State Control, anak lembaga Organisasi Maritim Internasional, melarang kapal itu meninggalkan Beirut karena ada tanggungan yang belum lunas.

Mantan kru MV Rhosus, Semyon Nikolenko, mengatakan jumlah kru lalu dipangkas ke titik minimum mengingat barang yang diangkut berbahaya. Riwayat hukum yang disimpan firma hukum asal Libanon, Baroudi & Associates, menyatakan kapal itu lalu ditinggalkan, baik oleh perusahaan maupun pemilik barang.

Mantan kapten MV Rhosus, Boris Prokoshev, mengaku dirinya ditahan selama 11 bulan di Beirut. Dia mengingatkan otoritas terkait untuk membuang barang di dalam kapal. “Kapal itu mengangkut barang berbahaya. Tidak ada gunanya menahannya. Libanon perlu menyingkirkannya secepat mungkin,” kata Prokoshev. (Baca juga: Dugaan Penyebab tol Cipali Dijuluki Jalur Horor Perenggut Nyawa)

Seluruh barang yang ada di dalam kapal, yakni 2.750 ton amonium nitrat, lalu dipindahkan menuju gudang pelabuhan hanggar 12 mengingat lambung kapal bocor. Pejabat senior Libanon sadar barang itu berbahaya. Rencana pembuangan sudah muncul beberapa kali, tapi tidak pernah dieksekusi dan akhirnya terlupakan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1923 seconds (0.1#10.140)