Ledakan di Beirut Jadi Titik Balik Perubahan Libanon
loading...
A
A
A
BEIRUT - Ledakan hebat yang terjadi di Beirut dinilai sebagai buah dari korupsi yang menggerogoti Libanon selama beberapa dekade. Dampak kehancuran dan kerugian yang ditimbulkan menjadikan beban yang ditanggung masyarakat kian berat.
Peristiwa itu diharapkan menjadi titik balik perubahan Libanon, meski memerlukan upaya keras dan waktu panjang. Namun, Libanon dinilai akan mampu melewati masa sulit apabila berhasil menghapus kolusi, korupsi, dan nepotisme serta meningkatkan kemampuan manajemen.
Kursi kepemimpinan Libanon sejak perang sipil 1975-1990 banyak diduduki komandan perang dan militer. Sebagian besar dari mereka tidak terkalahkan, mengingat adanya sistem bagi-bagi "jatah" kekuasaan dan aturan pemilu yang mendukung keberlangsungan karier politik mereka.
Sebagian rakyat Libanon menentang keras sistem politik tersebut dan beberapa kali melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Rafik Hariri sekitar 15 tahun yang lalu. Belakangan ini, masyarakat juga melakukan unjuk rasa selama krisis ekonomi dan krisis pangan. (Baca: Imbas Ledakan Beirut, Menteri Penerangan Lebanon Mengundurkan Diri)
Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dari London School of Economics, mengatakan kepentingan para politisi Libanon sudah mengakar di dalam sistem pemerintahan Libanon. "Saya sendiri pesimistis elite politik di dalam institusi Libanon akan berubah," kata Fawaz, dikutip Reuters.
Namun, beberapa orang mengaku optimistis Libanon akan dapat berubah. Sebab, ledakan di Beirut menguak kelalaian pemerintah dan semakin membuka mata masyarakat. Keputusan yang berlawanan dengan masyarakat akan menyebabkan kekuasaan pemerintah runtuh dengan sendirinya.
Bahkan, saat ini, masyarakat Libanon menumpahkan kemarahannya di berbagai media. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah yang dianggap lalai menyimpan 2.750 ton amonium nitrat selama enam tahun tanpa dilindungi sistem keamanan yang memadai. Mereka bahkan meminta pemimpin mereka digantung mati.
Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dengan Prancis, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengunjungi lokasi ledakan di Beirut, Libanon. Di sana, dia bertemu dengan masyatakat lokal yang meminta agar Prancis dapat membebaskan mereka dari pemerintah saat ini.
"Saya ke sini untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Kami akan memastikan bantuan ini sampai ke tangan orang-orang yang terdampak ledakan," kata Macron. "Namun, kami tak menyangkal Libanon perlu membangun sistem politik baru untuk memajukan Libanon dan melakukan reformasi di berbagai sektor," tambahnya. (Baca juga: Anies Baswedan Bikin Keok Kang Emil, Ganjar dan Khofifah)
Skala kehancuran yang menimpa Libanon mempertaruhkan karier politik PM Hassan Diab. Dia kini membentuk komite penyelidikan untuk mencari tahu penyebab ledakan. Namun, sejauh ini, para pejabat senior di Libanon saling menyalahkan satu sama lain dan tidak mau bertanggung jawab.
"Saya kira Libanon tidak akan berubah. Korupsi akan tetap menjadi bisnis rutin di sini," kata Tony Sawaya, kepala makelar asuransi lokal. Beberapa warga lokal juga mendesak diadakannya thawra atau revolusi. Namun, tidak ada yang tahu jika masyarakat Libanon akan kembali bangkit dan berupaya melakukan reformasi.
Senada dengan Sawaya, Eric Verdeil dari Institut Politik di Paris, Prancis, mengatakan demokrasi di Libanon didasarkan pada masyarakat dan perwakilan agama. Namun, kekuasaan terbesar dipegang para elite politik yang juga mengendalikan perekonomian Libanon.
Pemerintah Libanon juga baru saja berganti tahun lalu setelah adanya penggulingan. Namun, masyatakat masih tidak puas karena sebagian besar institusi sebumnya masih kukuh berdiri sehingga mereka mendesak adanya perubahan substansial. Meski demikian, perubahan itu tidak mudah.
Rekonstruksi politik dan ekonomi Libanon memerlukan waktu. Dengan hancurnya pelabuhan Beirut, hal itu akan kian melambat. Pasalnya, pelabuhan tersebut menjadi urat nadi jalur ekspor obat-obatan, gandum, dan kebutuhan pokok rakyat Libanon. Ahli ekonomi Roy Badaro memperkirakan kerugian langsung yang ditelan Libanon mencapai USD3 miliar. (Baca juga: Ganjil Genap Diperluas, Pengamat Sebut Berpotensi Timbulkan Klaster Baru Covid-19)
Ledakan di Pelabuhan Beirut tidak terlepas dari kelalaian dalam mengelola 2.750 ton amonium nitrat yang terbengkalai selama enam tahun. Seperti dilansir RT, bahan kimia itu disita dari kapal MV Rhosus yang dijadwalkan berlayar dari Georgia menuju Mozambik. Tapi akibat masalah teknis, misi itu tidak tercapai.
Kapal MV Rhosus sempat ditahan selama dua pekan di Sevilla, Spanyol, karena tidak memiliki generator cadangan sebelum akhirnya kembali tertahan di Beirut. Port State Control, anak lembaga Organisasi Maritim Internasional, melarang kapal itu meninggalkan Beirut karena ada tanggungan yang belum lunas.
Mantan kru MV Rhosus, Semyon Nikolenko, mengatakan jumlah kru lalu dipangkas ke titik minimum mengingat barang yang diangkut berbahaya. Riwayat hukum yang disimpan firma hukum asal Libanon, Baroudi & Associates, menyatakan kapal itu lalu ditinggalkan, baik oleh perusahaan maupun pemilik barang.
Mantan kapten MV Rhosus, Boris Prokoshev, mengaku dirinya ditahan selama 11 bulan di Beirut. Dia mengingatkan otoritas terkait untuk membuang barang di dalam kapal. “Kapal itu mengangkut barang berbahaya. Tidak ada gunanya menahannya. Libanon perlu menyingkirkannya secepat mungkin,” kata Prokoshev. (Baca juga: Dugaan Penyebab tol Cipali Dijuluki Jalur Horor Perenggut Nyawa)
Seluruh barang yang ada di dalam kapal, yakni 2.750 ton amonium nitrat, lalu dipindahkan menuju gudang pelabuhan hanggar 12 mengingat lambung kapal bocor. Pejabat senior Libanon sadar barang itu berbahaya. Rencana pembuangan sudah muncul beberapa kali, tapi tidak pernah dieksekusi dan akhirnya terlupakan.
Pejabat Bea Cukai Libanon sedikitnya mengirimkan lima surat kepada pengadilan untuk meminta solusi penanganan barang berbahaya dalam kurun waktu tiga tahun dari 2014 hingga 2017. Mereka mengajukan tiga alternatif, yakni mengekspornya ke luar negeri, menyerahkannya kepada tentara, atau menjualnya ke perusahaan.
“Mengingat betapa berbahayanya barang ini di hanggar yang beriklim buruk, kami meminta agen maritim untuk mengekspornya ke luar negeri secepatnya, demi keselamatan pekerja dan pelabuhan atau menjualnya ke perusahaan lokal,” bunyi surat tersebut. Bagaimana pun, tidak ada satu pun surat yang dibalas.
Pemerintah Libanon berjanji mengungkap kasus ini dalam lima hari penyelidikan. Namun, dengan kondisi yang mencekik dan darurat, kemarahan warga tidak dapat terbendung. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah karena dituduh lalai. Saat ini, sekitar 300.000 warga telah kehilangan tempat tinggal. (Lihat videonya: Kecelakaan Maut Tol Cipali, 8 Orang Tewas)
Gubernur Beirut, Marwan Abboud, mengatakan saat ini terlalu dini untuk menentukan kerugian yang ditimbulkan akibat ledakan besar di Pelabuhan Beirut. Namun, dia memperkirakan angkanya melampaui USD5 miliar (Rp72,9 triliun). Jumlah itu akan semakin membebani Libanon yang sedang ditimpa krisis ekonomi. (Muh Shamil)
Lihat Juga: Putus Asa, Netanyahu Tawarkan Hadiah Rp79 Miliar bagi Tiap Tawanan yang Dibebaskan dari Gaza
Peristiwa itu diharapkan menjadi titik balik perubahan Libanon, meski memerlukan upaya keras dan waktu panjang. Namun, Libanon dinilai akan mampu melewati masa sulit apabila berhasil menghapus kolusi, korupsi, dan nepotisme serta meningkatkan kemampuan manajemen.
Kursi kepemimpinan Libanon sejak perang sipil 1975-1990 banyak diduduki komandan perang dan militer. Sebagian besar dari mereka tidak terkalahkan, mengingat adanya sistem bagi-bagi "jatah" kekuasaan dan aturan pemilu yang mendukung keberlangsungan karier politik mereka.
Sebagian rakyat Libanon menentang keras sistem politik tersebut dan beberapa kali melakukan perlawanan dengan mengangkat senjata, termasuk pembunuhan Perdana Menteri Rafik Hariri sekitar 15 tahun yang lalu. Belakangan ini, masyarakat juga melakukan unjuk rasa selama krisis ekonomi dan krisis pangan. (Baca: Imbas Ledakan Beirut, Menteri Penerangan Lebanon Mengundurkan Diri)
Fawaz Gerges, profesor politik Timur Tengah dari London School of Economics, mengatakan kepentingan para politisi Libanon sudah mengakar di dalam sistem pemerintahan Libanon. "Saya sendiri pesimistis elite politik di dalam institusi Libanon akan berubah," kata Fawaz, dikutip Reuters.
Namun, beberapa orang mengaku optimistis Libanon akan dapat berubah. Sebab, ledakan di Beirut menguak kelalaian pemerintah dan semakin membuka mata masyarakat. Keputusan yang berlawanan dengan masyarakat akan menyebabkan kekuasaan pemerintah runtuh dengan sendirinya.
Bahkan, saat ini, masyarakat Libanon menumpahkan kemarahannya di berbagai media. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah yang dianggap lalai menyimpan 2.750 ton amonium nitrat selama enam tahun tanpa dilindungi sistem keamanan yang memadai. Mereka bahkan meminta pemimpin mereka digantung mati.
Sebagai negara yang memiliki sejarah panjang dengan Prancis, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengunjungi lokasi ledakan di Beirut, Libanon. Di sana, dia bertemu dengan masyatakat lokal yang meminta agar Prancis dapat membebaskan mereka dari pemerintah saat ini.
"Saya ke sini untuk memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Kami akan memastikan bantuan ini sampai ke tangan orang-orang yang terdampak ledakan," kata Macron. "Namun, kami tak menyangkal Libanon perlu membangun sistem politik baru untuk memajukan Libanon dan melakukan reformasi di berbagai sektor," tambahnya. (Baca juga: Anies Baswedan Bikin Keok Kang Emil, Ganjar dan Khofifah)
Skala kehancuran yang menimpa Libanon mempertaruhkan karier politik PM Hassan Diab. Dia kini membentuk komite penyelidikan untuk mencari tahu penyebab ledakan. Namun, sejauh ini, para pejabat senior di Libanon saling menyalahkan satu sama lain dan tidak mau bertanggung jawab.
"Saya kira Libanon tidak akan berubah. Korupsi akan tetap menjadi bisnis rutin di sini," kata Tony Sawaya, kepala makelar asuransi lokal. Beberapa warga lokal juga mendesak diadakannya thawra atau revolusi. Namun, tidak ada yang tahu jika masyarakat Libanon akan kembali bangkit dan berupaya melakukan reformasi.
Senada dengan Sawaya, Eric Verdeil dari Institut Politik di Paris, Prancis, mengatakan demokrasi di Libanon didasarkan pada masyarakat dan perwakilan agama. Namun, kekuasaan terbesar dipegang para elite politik yang juga mengendalikan perekonomian Libanon.
Pemerintah Libanon juga baru saja berganti tahun lalu setelah adanya penggulingan. Namun, masyatakat masih tidak puas karena sebagian besar institusi sebumnya masih kukuh berdiri sehingga mereka mendesak adanya perubahan substansial. Meski demikian, perubahan itu tidak mudah.
Rekonstruksi politik dan ekonomi Libanon memerlukan waktu. Dengan hancurnya pelabuhan Beirut, hal itu akan kian melambat. Pasalnya, pelabuhan tersebut menjadi urat nadi jalur ekspor obat-obatan, gandum, dan kebutuhan pokok rakyat Libanon. Ahli ekonomi Roy Badaro memperkirakan kerugian langsung yang ditelan Libanon mencapai USD3 miliar. (Baca juga: Ganjil Genap Diperluas, Pengamat Sebut Berpotensi Timbulkan Klaster Baru Covid-19)
Ledakan di Pelabuhan Beirut tidak terlepas dari kelalaian dalam mengelola 2.750 ton amonium nitrat yang terbengkalai selama enam tahun. Seperti dilansir RT, bahan kimia itu disita dari kapal MV Rhosus yang dijadwalkan berlayar dari Georgia menuju Mozambik. Tapi akibat masalah teknis, misi itu tidak tercapai.
Kapal MV Rhosus sempat ditahan selama dua pekan di Sevilla, Spanyol, karena tidak memiliki generator cadangan sebelum akhirnya kembali tertahan di Beirut. Port State Control, anak lembaga Organisasi Maritim Internasional, melarang kapal itu meninggalkan Beirut karena ada tanggungan yang belum lunas.
Mantan kru MV Rhosus, Semyon Nikolenko, mengatakan jumlah kru lalu dipangkas ke titik minimum mengingat barang yang diangkut berbahaya. Riwayat hukum yang disimpan firma hukum asal Libanon, Baroudi & Associates, menyatakan kapal itu lalu ditinggalkan, baik oleh perusahaan maupun pemilik barang.
Mantan kapten MV Rhosus, Boris Prokoshev, mengaku dirinya ditahan selama 11 bulan di Beirut. Dia mengingatkan otoritas terkait untuk membuang barang di dalam kapal. “Kapal itu mengangkut barang berbahaya. Tidak ada gunanya menahannya. Libanon perlu menyingkirkannya secepat mungkin,” kata Prokoshev. (Baca juga: Dugaan Penyebab tol Cipali Dijuluki Jalur Horor Perenggut Nyawa)
Seluruh barang yang ada di dalam kapal, yakni 2.750 ton amonium nitrat, lalu dipindahkan menuju gudang pelabuhan hanggar 12 mengingat lambung kapal bocor. Pejabat senior Libanon sadar barang itu berbahaya. Rencana pembuangan sudah muncul beberapa kali, tapi tidak pernah dieksekusi dan akhirnya terlupakan.
Pejabat Bea Cukai Libanon sedikitnya mengirimkan lima surat kepada pengadilan untuk meminta solusi penanganan barang berbahaya dalam kurun waktu tiga tahun dari 2014 hingga 2017. Mereka mengajukan tiga alternatif, yakni mengekspornya ke luar negeri, menyerahkannya kepada tentara, atau menjualnya ke perusahaan.
“Mengingat betapa berbahayanya barang ini di hanggar yang beriklim buruk, kami meminta agen maritim untuk mengekspornya ke luar negeri secepatnya, demi keselamatan pekerja dan pelabuhan atau menjualnya ke perusahaan lokal,” bunyi surat tersebut. Bagaimana pun, tidak ada satu pun surat yang dibalas.
Pemerintah Libanon berjanji mengungkap kasus ini dalam lima hari penyelidikan. Namun, dengan kondisi yang mencekik dan darurat, kemarahan warga tidak dapat terbendung. Sebagian besar dari mereka menyalahkan pemerintah karena dituduh lalai. Saat ini, sekitar 300.000 warga telah kehilangan tempat tinggal. (Lihat videonya: Kecelakaan Maut Tol Cipali, 8 Orang Tewas)
Gubernur Beirut, Marwan Abboud, mengatakan saat ini terlalu dini untuk menentukan kerugian yang ditimbulkan akibat ledakan besar di Pelabuhan Beirut. Namun, dia memperkirakan angkanya melampaui USD5 miliar (Rp72,9 triliun). Jumlah itu akan semakin membebani Libanon yang sedang ditimpa krisis ekonomi. (Muh Shamil)
Lihat Juga: Putus Asa, Netanyahu Tawarkan Hadiah Rp79 Miliar bagi Tiap Tawanan yang Dibebaskan dari Gaza
(ysw)