Prancis Marah Staf Diplomatiknya di Gaza Dibunuh Israel
loading...
A
A
A
PARIS - Pemerintah Prancis marah setelah staf diplomatiknya di Rafah, Jalur Gaza, tewas akibat serangan udara Israel.
Staf pria yang belum diidentifikasi namanya itu sedang berlindung di rumah rekannya ketika bangunan tersebut dibombardir militer Zionis Israel pada Rabu lalu.
Setelah kedatangannya dalam kunjungan resmi ke Israel pada hari Minggu, Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna menyerukan gencatan senjata “segera dan tahan lama”.
Diplomat tersebut juga menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya jumlah korban warga sipil Palestina di Gaza di tengah operasi militer Israel yang sedang berlangsung.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa salah satu staf diplomatik mereka meninggal akibat luka-lukanya.
Seorang pejabat Prancis mengatakan serangan udara Israel pada hari Rabu menyebabkan sekitar sepuluh orang tewas.
“Prancis mengutuk pengeboman terhadap bangunan tempat tinggal yang menyebabkan kematian banyak warga sipil lainnya,” bunyi pernyataan kementerian tersebut, yang dilansir RT, Senin (18/12/2023).
Paris juga mendesak pihak berwenang Israel untuk menjelaskan kejadian serangan mematikan itu sesegera mungkin.
Berbicara dalam pertemuan dengan rekannya dari Israel, Eli Cohen, pada hari Minggu di Tel Aviv, Colonna menyesali kenyataan bahwa terlalu banyak warga sipil yang terbunuh di Gaza di tangan militer Israel.
Menurut pejabat kesehatan Gaza, pengeboman brutal dan serangan darat Israel telah menyebabkan hampir 19.000 warga Palestina tewas, dan banyak lagi yang terluka. Sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk sejumlah besar anak-anak.
Sementara itu, pada hari Jumat, Kementerian Luar Negeri Perancis mengeluarkan pernyataan bersama dengan Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Irlandia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris yang meningkatkan kewaspadaan atas meningkatnya kekerasan yang dilakukan pemukim ekstremis Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Negara-negara Barat juga menuduh pemerintah Israel menciptakan “lingkungan yang nyaris impunitas” dengan gagal mengadili para pemukim Yahudi. "Perkembangan seperti itu mengancam prospek perdamaian abadi di kawasan," bunyi pernyataan bersama mereka.
Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron meminta Israel untuk “mendefinisikan dengan lebih tepat” tujuan akhir mereka di Gaza.
Dia melanjutkan dengan memperkirakan bahwa tujuan yang dinyatakan untuk melenyapkan Hamas akan membuat permusuhan berlarut-larut selama satu dekade penuh.
Staf pria yang belum diidentifikasi namanya itu sedang berlindung di rumah rekannya ketika bangunan tersebut dibombardir militer Zionis Israel pada Rabu lalu.
Setelah kedatangannya dalam kunjungan resmi ke Israel pada hari Minggu, Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna menyerukan gencatan senjata “segera dan tahan lama”.
Diplomat tersebut juga menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya jumlah korban warga sipil Palestina di Gaza di tengah operasi militer Israel yang sedang berlangsung.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa salah satu staf diplomatik mereka meninggal akibat luka-lukanya.
Seorang pejabat Prancis mengatakan serangan udara Israel pada hari Rabu menyebabkan sekitar sepuluh orang tewas.
“Prancis mengutuk pengeboman terhadap bangunan tempat tinggal yang menyebabkan kematian banyak warga sipil lainnya,” bunyi pernyataan kementerian tersebut, yang dilansir RT, Senin (18/12/2023).
Paris juga mendesak pihak berwenang Israel untuk menjelaskan kejadian serangan mematikan itu sesegera mungkin.
Berbicara dalam pertemuan dengan rekannya dari Israel, Eli Cohen, pada hari Minggu di Tel Aviv, Colonna menyesali kenyataan bahwa terlalu banyak warga sipil yang terbunuh di Gaza di tangan militer Israel.
Menurut pejabat kesehatan Gaza, pengeboman brutal dan serangan darat Israel telah menyebabkan hampir 19.000 warga Palestina tewas, dan banyak lagi yang terluka. Sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk sejumlah besar anak-anak.
Sementara itu, pada hari Jumat, Kementerian Luar Negeri Perancis mengeluarkan pernyataan bersama dengan Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Irlandia, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Inggris yang meningkatkan kewaspadaan atas meningkatnya kekerasan yang dilakukan pemukim ekstremis Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Negara-negara Barat juga menuduh pemerintah Israel menciptakan “lingkungan yang nyaris impunitas” dengan gagal mengadili para pemukim Yahudi. "Perkembangan seperti itu mengancam prospek perdamaian abadi di kawasan," bunyi pernyataan bersama mereka.
Awal bulan ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron meminta Israel untuk “mendefinisikan dengan lebih tepat” tujuan akhir mereka di Gaza.
Dia melanjutkan dengan memperkirakan bahwa tujuan yang dinyatakan untuk melenyapkan Hamas akan membuat permusuhan berlarut-larut selama satu dekade penuh.
(mas)