Bakar 4 Miliar Ton Batu Bara Per Tahun, Komitmen Iklim China Masih Sangat Minim
loading...
A
A
A
Lima perusahaan utilitas terbesar di China—Huaneng Group Co., Huadian Corp., China Energy Investment Corp., State Power Investment Corp, dan Datang Co.,—adalah salah satu perusahaan penghasil polusi terbesar di dunia, yang mengeluarkan 960 juta ton CO2 pada tahun 2020, atau lebih dari dua kali lipat bahwa seluruh armada batu bara Rusia.
Membatasi produksi gas rumah kaca China dapat berkontribusi secara signifikan dalam menjaga planet ini, namun perusahaan-perusahaan ini menolak untuk berpartisipasi dalam negosiasi yang didukung PBB.
Berdasarkan data Bloomberg, berikut emisi CO2 perusahaan China dalam skala metrik ton:
- SAIC Motor Corp.: 158 (Sama dengan emisi Argentina)
- Grup China Baowu: 211 (Setara dengan gabungan Belgia-Austria)
- China Petroleum & Chemical Corp: 733 (Setara dengan gabungan Spanyol-Kanada)
- Petrochina Co. Ltd.: 881 (Setara dengan gabungan Vietnam-Korea Selatan)
- Grup Bahan Bangunan Nasional China: 255 (Setara dengan Prancis)
Pemanasan global dapat membawa konsekuensi ekonomi yang sangat buruk bagi China, dengan perkiraan kerugian PDB antara 0,5 persen dan 2,3 persen pada awal tahun 2030. Gletser di sepanjang pegunungan Hindu Kush dan Himalaya, yang sering disebut sebagai "Menara Air Asia”, mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
Di saat yang sama, sebagian besar wilayah China utara mengalami kekurangan air. Meningkatnya sentralisasi dalam sistem politik China dan solusi yang diarahkan secara terpusat mengancam kapasitas negara tersebut untuk beradaptasi dengan kenyataan terbaru.
Untuk mengatasi krisis ini, China telah meningkatkan upaya adaptasinya, dengan menerapkan serangkaian rencana, kebijakan, dan proyek. Hal ini termasuk membangun sistem perpindahan air terbesar dalam sejarah, memperluas dan meninggikan tanggul laut sepanjang 6.000 mil di sepanjang pantainya, membangun cadangan biji-bijian yang lebih besar dari gabungan negara-negara lain di dunia, membuat cekungan banjir lahan basah di pusat kota-kota terbesarnya, memulihkan pesisir pantai sebagai penyangga terhadap badai, dan merelokasi ratusan ribu "migran ekologis" ke daerah dataran rendah.
Beijing juga berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan teknologi energi ramah lingkungan dan produk-produk terkait. Pada tahun 2022, negara ini menduduki puncak daftar investor energi ramah lingkungan dengan jumlah USD546 miliar, setengah dari total investor global pada tahun tersebut.
Negara ini telah membangun lebih banyak kapasitas tenaga surya dibandingkan negara-negara lain di dunia dan mempunyai visi untuk menjadi pemimpin global dalam sektor energi ramah lingkungan.
Namun, meskipun China berkomitmen untuk memitigasi dampak krisis iklim dan meningkatkan penggunaan energi ramah lingkungan, rencana China tersebut tidak mengatasi akar permasalahannya.
Selain itu, China memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk menyimpan dan menyalurkan listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan.
Membatasi produksi gas rumah kaca China dapat berkontribusi secara signifikan dalam menjaga planet ini, namun perusahaan-perusahaan ini menolak untuk berpartisipasi dalam negosiasi yang didukung PBB.
Berdasarkan data Bloomberg, berikut emisi CO2 perusahaan China dalam skala metrik ton:
- SAIC Motor Corp.: 158 (Sama dengan emisi Argentina)
- Grup China Baowu: 211 (Setara dengan gabungan Belgia-Austria)
- China Petroleum & Chemical Corp: 733 (Setara dengan gabungan Spanyol-Kanada)
- Petrochina Co. Ltd.: 881 (Setara dengan gabungan Vietnam-Korea Selatan)
- Grup Bahan Bangunan Nasional China: 255 (Setara dengan Prancis)
Komitmen China GagalAtasi Krisis Iklim
Pemanasan global dapat membawa konsekuensi ekonomi yang sangat buruk bagi China, dengan perkiraan kerugian PDB antara 0,5 persen dan 2,3 persen pada awal tahun 2030. Gletser di sepanjang pegunungan Hindu Kush dan Himalaya, yang sering disebut sebagai "Menara Air Asia”, mencair dengan kecepatan yang mengkhawatirkan.
Di saat yang sama, sebagian besar wilayah China utara mengalami kekurangan air. Meningkatnya sentralisasi dalam sistem politik China dan solusi yang diarahkan secara terpusat mengancam kapasitas negara tersebut untuk beradaptasi dengan kenyataan terbaru.
Untuk mengatasi krisis ini, China telah meningkatkan upaya adaptasinya, dengan menerapkan serangkaian rencana, kebijakan, dan proyek. Hal ini termasuk membangun sistem perpindahan air terbesar dalam sejarah, memperluas dan meninggikan tanggul laut sepanjang 6.000 mil di sepanjang pantainya, membangun cadangan biji-bijian yang lebih besar dari gabungan negara-negara lain di dunia, membuat cekungan banjir lahan basah di pusat kota-kota terbesarnya, memulihkan pesisir pantai sebagai penyangga terhadap badai, dan merelokasi ratusan ribu "migran ekologis" ke daerah dataran rendah.
Beijing juga berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan teknologi energi ramah lingkungan dan produk-produk terkait. Pada tahun 2022, negara ini menduduki puncak daftar investor energi ramah lingkungan dengan jumlah USD546 miliar, setengah dari total investor global pada tahun tersebut.
Negara ini telah membangun lebih banyak kapasitas tenaga surya dibandingkan negara-negara lain di dunia dan mempunyai visi untuk menjadi pemimpin global dalam sektor energi ramah lingkungan.
Namun, meskipun China berkomitmen untuk memitigasi dampak krisis iklim dan meningkatkan penggunaan energi ramah lingkungan, rencana China tersebut tidak mengatasi akar permasalahannya.
Selain itu, China memiliki kapasitas yang sangat terbatas untuk menyimpan dan menyalurkan listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan.