Perang dengan Hamas, Biden Siapkan Bantuan Militer untuk Israel
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden , baru-baru ini meminta Kongres untuk memberikan bantuan kepada Israel lebih dari USD14 miliar. Jumlah itu tambahan dari USD3,8 miliar yang telah dijanjikan AS untuk diberikan pada tahun 2023.
AS telah menjadi pemberi bantuan militer terbesar kepada Israel sejak negara itu didirikan pada tahun 1948. AS mendanai sekitar 16 persen anggaran pertahanan Israel.
Menyusul serangan mendadak terhadap Israel pada 7 Oktober, Biden juga mengumumkan niatnya untuk memberikan bantuan militer tambahan, termasuk amunisi dan pencegat untuk mengisi kembali Iron Dome, sistem pertahanan rudal Israel.
Namun, sulit untuk memverifikasi senjata apa yang ditransfer dari AS ke Israel. Hal itu diungkapkan Elias Yousif, seorang analis riset pada Program Pertahanan Konvensional di Stimson Center, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di AS.
Dia menunjuk pada kurangnya transparansi di pihak pemerintahan Biden.
“Amerika Serikat, setidaknya secara resmi, hanya mengeluarkan sedikit pernyataan yang merinci apa yang ditransfer,” katanya.
“Tidak seperti perang di Ukraina, di mana kami memiliki lembar fakta bagus yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri, tidak ada platform serupa bagi kami untuk melihat transfer senjata ke Israel,” ungkapnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (7/11/2023).
Meski begitu, dia yakin ada kemungkinan “sangat tinggi” bahwa senjata AS digunakan di Gaza.
“Mengingat intensitas pertempuran, menurut saya hampir pasti senjata AS terlibat dalam pertempuran di Gaza,” ujarnya.
Sementara itu Sarah Yager, direktur organisasi nirlaba Human Rights Watch di Washington, mengatakan kelompoknya mendorong anggota parlemen AS untuk memberikan pengawasan atas bantuan militer ke Israel.
“Kongres, saat ini, tugas utama mereka adalah mengawasi penjualan senjata,” ucap Yager.
“Jadi jika mereka tidak bertanya tentang ke mana senjata-senjata ini digunakan dan bagaimana penggunaannya, maka mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik,” ia menambahkan.
Human Rights Watch telah meminta negara-negara seperti AS untuk menunda pengiriman senjata ke Israel dan kelompok bersenjata Palestina, mengingat risiko nyata bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan pelanggaran berat.
Meskipun Human Rights Watch mengecam Hamas karena menargetkan warga sipil dalam serangannya pada tanggal 7 Oktober terhadap Israel, mereka juga menuduh Israel menerapkan “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina dengan menjatuhkan bom di daerah padat penduduk dan memutus pasokan penting seperti makanan dan air.
Laporan tersebut juga mencatat dugaan penggunaan fosfor putih oleh Israel, bahan kimia beracun yang dapat terbakar pada suhu ekstrem dan ilegal jika digunakan terhadap warga sipil. Namun Israel membantah menggunakan bahan kimia tersebut terhadap warga sipil.
Yager mengatakan AS mempunyai tanggung jawab untuk memastikan uang dan persenjataannya tidak digunakan untuk merugikan warga sipil.
“Saya pikir langkah pertama yang harus dilakukan Kongres dan pemerintahan Biden adalah menilai kembali ke mana senjata-senjata itu akan digunakan dan apakah senjata-senjata itu digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum internasional,” kata Yager.
AS telah menjadi pemberi bantuan militer terbesar kepada Israel sejak negara itu didirikan pada tahun 1948. AS mendanai sekitar 16 persen anggaran pertahanan Israel.
Menyusul serangan mendadak terhadap Israel pada 7 Oktober, Biden juga mengumumkan niatnya untuk memberikan bantuan militer tambahan, termasuk amunisi dan pencegat untuk mengisi kembali Iron Dome, sistem pertahanan rudal Israel.
Namun, sulit untuk memverifikasi senjata apa yang ditransfer dari AS ke Israel. Hal itu diungkapkan Elias Yousif, seorang analis riset pada Program Pertahanan Konvensional di Stimson Center, sebuah lembaga pemikir yang berbasis di AS.
Dia menunjuk pada kurangnya transparansi di pihak pemerintahan Biden.
“Amerika Serikat, setidaknya secara resmi, hanya mengeluarkan sedikit pernyataan yang merinci apa yang ditransfer,” katanya.
“Tidak seperti perang di Ukraina, di mana kami memiliki lembar fakta bagus yang dibuat oleh Departemen Luar Negeri, tidak ada platform serupa bagi kami untuk melihat transfer senjata ke Israel,” ungkapnya seperti dikutip dari Al Jazeera, Selasa (7/11/2023).
Meski begitu, dia yakin ada kemungkinan “sangat tinggi” bahwa senjata AS digunakan di Gaza.
“Mengingat intensitas pertempuran, menurut saya hampir pasti senjata AS terlibat dalam pertempuran di Gaza,” ujarnya.
Sementara itu Sarah Yager, direktur organisasi nirlaba Human Rights Watch di Washington, mengatakan kelompoknya mendorong anggota parlemen AS untuk memberikan pengawasan atas bantuan militer ke Israel.
“Kongres, saat ini, tugas utama mereka adalah mengawasi penjualan senjata,” ucap Yager.
“Jadi jika mereka tidak bertanya tentang ke mana senjata-senjata ini digunakan dan bagaimana penggunaannya, maka mereka tidak melakukan tugasnya dengan baik,” ia menambahkan.
Human Rights Watch telah meminta negara-negara seperti AS untuk menunda pengiriman senjata ke Israel dan kelompok bersenjata Palestina, mengingat risiko nyata bahwa senjata tersebut akan digunakan untuk melakukan pelanggaran berat.
Meskipun Human Rights Watch mengecam Hamas karena menargetkan warga sipil dalam serangannya pada tanggal 7 Oktober terhadap Israel, mereka juga menuduh Israel menerapkan “hukuman kolektif” terhadap rakyat Palestina dengan menjatuhkan bom di daerah padat penduduk dan memutus pasokan penting seperti makanan dan air.
Laporan tersebut juga mencatat dugaan penggunaan fosfor putih oleh Israel, bahan kimia beracun yang dapat terbakar pada suhu ekstrem dan ilegal jika digunakan terhadap warga sipil. Namun Israel membantah menggunakan bahan kimia tersebut terhadap warga sipil.
Yager mengatakan AS mempunyai tanggung jawab untuk memastikan uang dan persenjataannya tidak digunakan untuk merugikan warga sipil.
“Saya pikir langkah pertama yang harus dilakukan Kongres dan pemerintahan Biden adalah menilai kembali ke mana senjata-senjata itu akan digunakan dan apakah senjata-senjata itu digunakan untuk melakukan pelanggaran hukum internasional,” kata Yager.
(ian)