Hadapi Gelombang Ketiga, Hong Kong Terancam Kolaps
loading...
A
A
A
HONG KONG - Rumah sakit di Hong Kong terancam kolaps saat gelombang ketiga virus corona sudah ada di depan mata. Peningkatan kasus baru menjadi perhatian khusus karena Hong Kong meminta bantuan Pemerintah China untuk membantu mengatasi pandemi gelombang ketiga.
Sebanyak 80 kasus baru virus corona dilaporkan kemarin dan turun hingga di bawah 100 untuk pertama kalinya dalam dua pekan terakhir. Sejak akhir Januari lalu, sekitar 3.600 orang terkonfirmasi di Hong Kong dan 37 orang meninggal dunia. Saat bersamaan tim petugas medis dari China sudah mulai melakukan persiapan untuk menguji Covid-19 di distrik finansial global tersebut.
Tujuh petugas kesehatan dari China tiba di Hong Kong untuk melakukan pengetesan Covid-19. Para petugas kesehatan itu adalah anggota pertama dari tim terdiri atas 60 orang yang akan bertugas. Itu merupakan pertama kalinya pejabat kesehatan China membantu dan datang ke Hong Kong setelah kasus infeksi Covid-19 baru di kota itu meningkat tajam. (Baca: Lakukan Tes Covid-19 Skala Besar, China Kirim Tim ke Hong Kong)
Global Times melaporkan, anggota tim kesehatan itu sebagian besar berasal dari rumah sakit umum di Provinsi Guangdong Selatan. Mereka akan membantu melaksanakan pengujian massal di wilayah tersebut.
Tim itu dibentuk atas permintaan Pemerintah Hong Kong yang mengatakan staf medis mereka kini tengah kewalahan. Namun demikian, beberapa anggota dewan lokal khawatir China mengumpulkan sampel DNA warga Hong Kong untuk tujuan pengawasan sebagaimana dilaporkan Reuters. Hanya saja, Pemerintah Hong Kong telah membantahnya.
Ketegangan antara kelompok-kelompok prodemokrasi di Hong Kong dan Pemerintah China meningkat, setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong pada Juni lalu. Aturan itu dikritik karena dianggap bisa mengikis kebebasan warga.
Jumlah keseluruhan kasus masih lebih rendah daripada di banyak tempat lain, tetapi lonjakan itu terjadi setelah Hong Kong tampaknya berhasil mengendalikan wabah, dengan tidak ada infeksi lokal selama beberapa pekan. Awal pekan lalu, Hong Kong menunda pemilihan parlementernya yang semula dijadwalkan diadakan pada September selama satu tahun. (Baca juga: Industri Rokok Dibunuh, Jutaan Pekerja Mau Ditaruh Dimana)
Pemerintah mengatakan kebijakan itu adalah langkah yang perlu di tengah meningkatnya infeksi, tetapi oposisi menuduhnya menggunakan Covid-19 sebagai alasan untuk menghambat pemilihan.
Sebelumnya, Hong Kong dikenal sebagai kawasan yang sukses dalam menangani pandemi virus korona. Meskipun berbatasan dengan China, kasus pertama Hong Kong pada Januari lalu berhasil ditangkal dengan baik. Hong Kong pun tidak memberlakukan lockdown secara ekstrem seperti halnya China, Eropa, dan Amerika Serikat.
Hong Kong menghadapi gelombang kedua pada Maret lalu setelah banyak mahasiswa dan penduduk di luar negeri kembali. Hong Kong saat itu langsung memberlakukan pengontrolan ketat perbatasan dan melarang orang asing yang bukan penduduk masuk ke wilayah itu. Semua orang baru kembali dari luar negeri harus melaksanakan tes korona dan karantina selama 14 hari. (Baca juga: Arkeolog Israel Menemukan 'Wajah Tuhan')
Sebanyak 80 kasus baru virus corona dilaporkan kemarin dan turun hingga di bawah 100 untuk pertama kalinya dalam dua pekan terakhir. Sejak akhir Januari lalu, sekitar 3.600 orang terkonfirmasi di Hong Kong dan 37 orang meninggal dunia. Saat bersamaan tim petugas medis dari China sudah mulai melakukan persiapan untuk menguji Covid-19 di distrik finansial global tersebut.
Tujuh petugas kesehatan dari China tiba di Hong Kong untuk melakukan pengetesan Covid-19. Para petugas kesehatan itu adalah anggota pertama dari tim terdiri atas 60 orang yang akan bertugas. Itu merupakan pertama kalinya pejabat kesehatan China membantu dan datang ke Hong Kong setelah kasus infeksi Covid-19 baru di kota itu meningkat tajam. (Baca: Lakukan Tes Covid-19 Skala Besar, China Kirim Tim ke Hong Kong)
Global Times melaporkan, anggota tim kesehatan itu sebagian besar berasal dari rumah sakit umum di Provinsi Guangdong Selatan. Mereka akan membantu melaksanakan pengujian massal di wilayah tersebut.
Tim itu dibentuk atas permintaan Pemerintah Hong Kong yang mengatakan staf medis mereka kini tengah kewalahan. Namun demikian, beberapa anggota dewan lokal khawatir China mengumpulkan sampel DNA warga Hong Kong untuk tujuan pengawasan sebagaimana dilaporkan Reuters. Hanya saja, Pemerintah Hong Kong telah membantahnya.
Ketegangan antara kelompok-kelompok prodemokrasi di Hong Kong dan Pemerintah China meningkat, setelah Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong pada Juni lalu. Aturan itu dikritik karena dianggap bisa mengikis kebebasan warga.
Jumlah keseluruhan kasus masih lebih rendah daripada di banyak tempat lain, tetapi lonjakan itu terjadi setelah Hong Kong tampaknya berhasil mengendalikan wabah, dengan tidak ada infeksi lokal selama beberapa pekan. Awal pekan lalu, Hong Kong menunda pemilihan parlementernya yang semula dijadwalkan diadakan pada September selama satu tahun. (Baca juga: Industri Rokok Dibunuh, Jutaan Pekerja Mau Ditaruh Dimana)
Pemerintah mengatakan kebijakan itu adalah langkah yang perlu di tengah meningkatnya infeksi, tetapi oposisi menuduhnya menggunakan Covid-19 sebagai alasan untuk menghambat pemilihan.
Sebelumnya, Hong Kong dikenal sebagai kawasan yang sukses dalam menangani pandemi virus korona. Meskipun berbatasan dengan China, kasus pertama Hong Kong pada Januari lalu berhasil ditangkal dengan baik. Hong Kong pun tidak memberlakukan lockdown secara ekstrem seperti halnya China, Eropa, dan Amerika Serikat.
Hong Kong menghadapi gelombang kedua pada Maret lalu setelah banyak mahasiswa dan penduduk di luar negeri kembali. Hong Kong saat itu langsung memberlakukan pengontrolan ketat perbatasan dan melarang orang asing yang bukan penduduk masuk ke wilayah itu. Semua orang baru kembali dari luar negeri harus melaksanakan tes korona dan karantina selama 14 hari. (Baca juga: Arkeolog Israel Menemukan 'Wajah Tuhan')