Sekjen NATO: Barat Harus Bersiap untuk Perang Jangka Panjang
loading...
A
A
A
BRUSSEL - Negara-negara Barat harus bersiap menghadapi “perang panjang” di Ukraina, menurut Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO Jens Stoltenberg pada Minggu (17/9/2023).
Meski mengaku menginginkan “perdamaian cepat” di Ukraina, Stoltenberg bersikeras dia tetap mendukung tujuan Presiden Volodymyr Zelensky untuk meraih kemenangan militer atas Rusia.
“Sebagian besar perang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan saat pertama kali dimulai,” ungkap Stoltenberg dalam wawancara dengan grup media Funke Jerman.
Dia menjelaskan, “Oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk perang jangka panjang di Ukraina.”
Menurut laporan media selama dua bulan terakhir, para pejabat dan perencana militer Barat telah mengakui serangan balasan Ukraina terhadap pasukan Rusia kemungkinan besar tidak akan berhasil, sehingga sebagian besar garis depan tidak berubah ketika musim dingin tiba.
Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, Ukraina telah kehilangan lebih dari 71.000 tentara sejak serangan balasan dimulai pada Juni.
Meskipun tingkat pengurangan jumlah pasukan sangat besar, dengan beberapa unit kehilangan 90% tenaga manusia mereka, menurut sumber Ukraina, Stoltenberg bersikeras NATO akan terus mendorong solusi militer, bukan solusi diplomatik.
“Kita semua mengharapkan perdamaian secepatnya,” ujar Stoltenberg. “Tetapi pada saat yang sama kita harus menyadari: jika Presiden Zelensky dan Ukraina berhenti berperang, negara mereka tidak akan ada lagi. Jika Presiden Putin dan Rusia meletakkan senjata mereka, kita akan mencapai perdamaian.”
Setelah meninggalkan perjanjian damai yang ditengahi Turki pada April lalu, Zelensky mengeluarkan dekrit yang melarang semua negosiasi dengan Rusia.
Selain itu, dia telah berulang kali bersumpah merebut kembali wilayah Donetsk, Lugansk, Kherson, dan Zaporozhye, serta Crimea, yang merupakan bekas wilayah Ukraina.
Crimea merupakan wilayah yang memberikan suara terbanyak untuk bergabung dengan Federasi Rusia pada 2014.
Sikap Zelensky didukung Washington, di mana para pejabat berulang kali menegaskan hanya presiden Ukraina yang dapat memutuskan kapan akan mengupayakan perdamaian.
Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengecam Putin karena dianggap menolak “diplomasi yang berarti.”
Rusia menyatakan pihaknya terbuka terhadap solusi diplomatik terhadap konflik tersebut, namun perjanjian perdamaian apa pun harus mempertimbangkan “realitas teritorial baru” bahwa Donetsk, Lugansk, Kherson, Zaporozhye, dan Crimea tidak akan pernah diserahkan kembali ke Ukraina.
Lebih lanjut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, “Negosiasi akan dilakukan bukan dengan Zelensky, yang merupakan boneka di tangan Barat, namun secara langsung dengan majikannya.”
Meski mengaku menginginkan “perdamaian cepat” di Ukraina, Stoltenberg bersikeras dia tetap mendukung tujuan Presiden Volodymyr Zelensky untuk meraih kemenangan militer atas Rusia.
“Sebagian besar perang berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan saat pertama kali dimulai,” ungkap Stoltenberg dalam wawancara dengan grup media Funke Jerman.
Dia menjelaskan, “Oleh karena itu kita harus mempersiapkan diri untuk perang jangka panjang di Ukraina.”
Menurut laporan media selama dua bulan terakhir, para pejabat dan perencana militer Barat telah mengakui serangan balasan Ukraina terhadap pasukan Rusia kemungkinan besar tidak akan berhasil, sehingga sebagian besar garis depan tidak berubah ketika musim dingin tiba.
Menurut Presiden Rusia Vladimir Putin, Ukraina telah kehilangan lebih dari 71.000 tentara sejak serangan balasan dimulai pada Juni.
Meskipun tingkat pengurangan jumlah pasukan sangat besar, dengan beberapa unit kehilangan 90% tenaga manusia mereka, menurut sumber Ukraina, Stoltenberg bersikeras NATO akan terus mendorong solusi militer, bukan solusi diplomatik.
“Kita semua mengharapkan perdamaian secepatnya,” ujar Stoltenberg. “Tetapi pada saat yang sama kita harus menyadari: jika Presiden Zelensky dan Ukraina berhenti berperang, negara mereka tidak akan ada lagi. Jika Presiden Putin dan Rusia meletakkan senjata mereka, kita akan mencapai perdamaian.”
Setelah meninggalkan perjanjian damai yang ditengahi Turki pada April lalu, Zelensky mengeluarkan dekrit yang melarang semua negosiasi dengan Rusia.
Selain itu, dia telah berulang kali bersumpah merebut kembali wilayah Donetsk, Lugansk, Kherson, dan Zaporozhye, serta Crimea, yang merupakan bekas wilayah Ukraina.
Crimea merupakan wilayah yang memberikan suara terbanyak untuk bergabung dengan Federasi Rusia pada 2014.
Sikap Zelensky didukung Washington, di mana para pejabat berulang kali menegaskan hanya presiden Ukraina yang dapat memutuskan kapan akan mengupayakan perdamaian.
Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengecam Putin karena dianggap menolak “diplomasi yang berarti.”
Rusia menyatakan pihaknya terbuka terhadap solusi diplomatik terhadap konflik tersebut, namun perjanjian perdamaian apa pun harus mempertimbangkan “realitas teritorial baru” bahwa Donetsk, Lugansk, Kherson, Zaporozhye, dan Crimea tidak akan pernah diserahkan kembali ke Ukraina.
Lebih lanjut, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, “Negosiasi akan dilakukan bukan dengan Zelensky, yang merupakan boneka di tangan Barat, namun secara langsung dengan majikannya.”
(sya)