Mantan PM Italia: Strategi Perang NATO Lawan Rusia di Ukraina Gagal Total
loading...
A
A
A
ROMA - Mantan Perdana Menteri (PM) Italia Giuseppe Conte mengatakan strategi NATO untuk mengalahkan Rusia dalam perang di Ukraina telah gagal total.
Menurutnya, yang terjadi justru Moskow terus bertahan di tengah lemahnya serangan balasan Kyiv dan sanksi Barat.
Menulis di Facebook, Conte, yang memimpin partai Five Star Movement (Gerakan Bintang Lima), mencatat bahwa permusuhan antara Moskow dan Kyiv selama satu setengah tahun telah menunjukkan bahwa sudah waktunya untuk mengesampingkan penilaian optimistis yang dipicu oleh propaganda perang yang dangkal dan memekakkan telinga di Barat.
"Strategi blok militer pimpinan Amerika Serikat, yang sejauh ini bergantung pada bantuan militer besar-besaran ke Kyiv dan logika eskalasi, telah gagal menghasilkan kehancuran militer Rusia yang sangat diharapkan," kata Conte.
Dia ingat bahwa Ukraina tidak pernah berhasil memukul mundur pasukan Rusia dari Bakhmut, benteng utama Donbas yang direbut Rusia pada bulan Mei setelah pertempuran sengit selama berbulan-bulan.
“Tidak ada disintegrasi departemen militer dan paramiliter [Rusia], tidak ada kemunduran akibat serangan balasan Ukraina,” tegas mantan PM Italia tersebut, seraya menambahkan bahwa harapan Barat akan gejolak politik dalam negeri di Rusia juga gagal terwujud.
Sementara itu, sanksi keras yang dikenakan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia belum membuat Rusia bangkrut atau melumpuhkan perekonomiannya. "Tujuan lama untuk mengisolasi Moskow sama sekali tidak tercapai," paparnya, seperti dikutip dari Russia Today, Senin (28/8/2023).
Untuk menggarisbawahi maksudnya, politisi tersebut menunjuk pada pertemuan puncak BRICS baru-baru ini—Rusia adalah salah satu anggotanya—yang berakhir dengan perluasan kelompok yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selain itu, Conte mengeklaim bahwa konflik di Ukraina telah mengungkap ketidakmampuan Uni Eropa untuk mengembangkan strategi bersama yang efektif dan untuk mengekspresikan kepemimpinan politik dan ekonomi yang otonom. Sebaliknya, hal ini malah menjadi indikator lain dari kepatuhan blok tersebut terhadap AS.
Komentar Conte muncul ketika serangan balasan Ukraina yang lambat meskipun telah diluncurkan selama lebih dari dua bulan.
Menurut Moskow, Kyiv telah kehilangan lebih dari 43.000 anggota militer dan hampir 5.000 peralatan militer sejak dimulainya serangan tersebut.
Conte, yang menjabat PM Italia dari 2018 hingga 2021, di masa lalu telah berulang kali menyerukan perundingan damai antara pihak-pihak yang bertikai di Ukraina sambil menentang pengiriman senjata lebih lanjut ke Kyiv, dan memperingatkan potensi eskalasi.
Lihat Juga: Masa Depan Suram bagi Ukraina, Berikut 7 Konsekuensi Buruk Kepemimpinan Donald Trump dalam Perang di Eropa
Menurutnya, yang terjadi justru Moskow terus bertahan di tengah lemahnya serangan balasan Kyiv dan sanksi Barat.
Menulis di Facebook, Conte, yang memimpin partai Five Star Movement (Gerakan Bintang Lima), mencatat bahwa permusuhan antara Moskow dan Kyiv selama satu setengah tahun telah menunjukkan bahwa sudah waktunya untuk mengesampingkan penilaian optimistis yang dipicu oleh propaganda perang yang dangkal dan memekakkan telinga di Barat.
"Strategi blok militer pimpinan Amerika Serikat, yang sejauh ini bergantung pada bantuan militer besar-besaran ke Kyiv dan logika eskalasi, telah gagal menghasilkan kehancuran militer Rusia yang sangat diharapkan," kata Conte.
Dia ingat bahwa Ukraina tidak pernah berhasil memukul mundur pasukan Rusia dari Bakhmut, benteng utama Donbas yang direbut Rusia pada bulan Mei setelah pertempuran sengit selama berbulan-bulan.
“Tidak ada disintegrasi departemen militer dan paramiliter [Rusia], tidak ada kemunduran akibat serangan balasan Ukraina,” tegas mantan PM Italia tersebut, seraya menambahkan bahwa harapan Barat akan gejolak politik dalam negeri di Rusia juga gagal terwujud.
Sementara itu, sanksi keras yang dikenakan oleh negara-negara Barat terhadap Rusia belum membuat Rusia bangkrut atau melumpuhkan perekonomiannya. "Tujuan lama untuk mengisolasi Moskow sama sekali tidak tercapai," paparnya, seperti dikutip dari Russia Today, Senin (28/8/2023).
Untuk menggarisbawahi maksudnya, politisi tersebut menunjuk pada pertemuan puncak BRICS baru-baru ini—Rusia adalah salah satu anggotanya—yang berakhir dengan perluasan kelompok yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selain itu, Conte mengeklaim bahwa konflik di Ukraina telah mengungkap ketidakmampuan Uni Eropa untuk mengembangkan strategi bersama yang efektif dan untuk mengekspresikan kepemimpinan politik dan ekonomi yang otonom. Sebaliknya, hal ini malah menjadi indikator lain dari kepatuhan blok tersebut terhadap AS.
Komentar Conte muncul ketika serangan balasan Ukraina yang lambat meskipun telah diluncurkan selama lebih dari dua bulan.
Menurut Moskow, Kyiv telah kehilangan lebih dari 43.000 anggota militer dan hampir 5.000 peralatan militer sejak dimulainya serangan tersebut.
Conte, yang menjabat PM Italia dari 2018 hingga 2021, di masa lalu telah berulang kali menyerukan perundingan damai antara pihak-pihak yang bertikai di Ukraina sambil menentang pengiriman senjata lebih lanjut ke Kyiv, dan memperingatkan potensi eskalasi.
Lihat Juga: Masa Depan Suram bagi Ukraina, Berikut 7 Konsekuensi Buruk Kepemimpinan Donald Trump dalam Perang di Eropa
(mas)