Lavrov: Moskow Terbuka untuk Dialog dengan Barat, Bukan Ancaman
loading...
A
A
A
JOHANNESBURG - Rusia selalu bersedia melakukan diplomasi namun tidak memiliki kesabaran terhadap ancaman. Hal itu diungkapkan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov kepada wartawan di Afrika Selatan .
Pada konferensi pers setelah KTT BRICS di Johannesburg, Lavrov ditanyai apa yang perlu dilakukan negara-negara Barat untuk mengubah kebijakan mereka dan menjauh dari konfrontasi.
“Kami tidak melihat ada sedikitpun hal yang masuk akal ketika berbicara dengan diplomat Barat," jawab Lavrov seraya menambahkan bahwa pendekatan mereka berarti “Anda harus, Anda perlu.”
“Kami selalu terbuka untuk berdiskusi, namun kami tidak akan menjawab seruan untuk berdiskusi yang melibatkan ultimatum tidak sopan, pemerasan, dan ancaman terhadap kami,” tegas Menteri Luar Negeri Rusia itu seperti dikutip dari Russia Today, Jumat (25/8/2023).
Ia berargumentasi bahwa Barat telah meninggalkan perundingan yang bermakna dan memilih sikap berperang.
“Pihak Barat sendiri mengatakan bahwa mereka harus 'mengalahkan' Rusia di medan perang dan 'menimbulkan kekalahan strategis' pada kami. Itu yang mereka punya sekarang, bukan akal sehat. Dalam hal ini, kami tidak akan bekerja di bidang hukum atau diplomasi internasional, namun di medan perang,” tuturnya.
Diplomat top Rusia itu menuduh negara-negara Barat, termasuk banyak negara di Uni Eropa, bertindak sebagai “agen Washington yang patuh” di panggung dunia, sehingga merugikan warga negara dan perekonomian mereka sendiri.
Ketika ditanya tentang keinginan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk menghadiri KTT BRICS, sembari mempersenjatai Ukraina dan menawarkan dirinya sebagai mediator dalam konflik tersebut, Lavrov menyebutnya sebagai sikap kosong.
“Saya berasumsi jika ada yang ingin berkontribusi dalam pencarian penyelesaian, hal itu dilakukan bukan melalui mikrofon, tetapi melalui jalur yang sesuai. Semua orang tahu ini,” cetusnya.
Prancis pernah menjadi mediator di Ukraina, kata Lavrov, sambil menunjuk pada peran Paris dalam perjanjian damai Minsk tahun 2014-2015, yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB – dan pengakuan mantan Presiden Perancis Francois Hollande tahun lalu bahwa proses tersebut adalah hanya bermaksud mengulur waktu untuk mempersenjatai Ukraina melawan Rusia.
Awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengomentari inisiatif perdamaian yang dilakukan beberapa anggota BRICS, dalam sebuah wawancara dengan outlet Brasil, Brasil de Fato.
“Tidak seperti rezim Kiev, yang menghentikan dan kemudian melarang perundingan dengan Rusia, kami selalu terbuka terhadap solusi diplomatis terhadap krisis ini dan siap menanggapi usulan yang sebenarnya serius,” kata Zakharova.
Meskipun Moskow telah menyatakan persetujuannya terhadap sejumlah elemen proposal yang diajukan oleh China, Afrika Selatan, dan Brasil, Kiev bersikeras pada “formula perdamaian” mereka sendiri, yang telah ditolak mentah-mentah oleh Rusia.
Banyak negara Barat secara terbuka memihak Kiev dalam konfliknya dengan Moskow, menerapkan sanksi besar-besaran terhadap Rusia dan memasok senjata berat kepada Ukraina, termasuk tank dan artileri.
Pada konferensi pers setelah KTT BRICS di Johannesburg, Lavrov ditanyai apa yang perlu dilakukan negara-negara Barat untuk mengubah kebijakan mereka dan menjauh dari konfrontasi.
“Kami tidak melihat ada sedikitpun hal yang masuk akal ketika berbicara dengan diplomat Barat," jawab Lavrov seraya menambahkan bahwa pendekatan mereka berarti “Anda harus, Anda perlu.”
“Kami selalu terbuka untuk berdiskusi, namun kami tidak akan menjawab seruan untuk berdiskusi yang melibatkan ultimatum tidak sopan, pemerasan, dan ancaman terhadap kami,” tegas Menteri Luar Negeri Rusia itu seperti dikutip dari Russia Today, Jumat (25/8/2023).
Baca Juga
Ia berargumentasi bahwa Barat telah meninggalkan perundingan yang bermakna dan memilih sikap berperang.
“Pihak Barat sendiri mengatakan bahwa mereka harus 'mengalahkan' Rusia di medan perang dan 'menimbulkan kekalahan strategis' pada kami. Itu yang mereka punya sekarang, bukan akal sehat. Dalam hal ini, kami tidak akan bekerja di bidang hukum atau diplomasi internasional, namun di medan perang,” tuturnya.
Diplomat top Rusia itu menuduh negara-negara Barat, termasuk banyak negara di Uni Eropa, bertindak sebagai “agen Washington yang patuh” di panggung dunia, sehingga merugikan warga negara dan perekonomian mereka sendiri.
Ketika ditanya tentang keinginan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk menghadiri KTT BRICS, sembari mempersenjatai Ukraina dan menawarkan dirinya sebagai mediator dalam konflik tersebut, Lavrov menyebutnya sebagai sikap kosong.
“Saya berasumsi jika ada yang ingin berkontribusi dalam pencarian penyelesaian, hal itu dilakukan bukan melalui mikrofon, tetapi melalui jalur yang sesuai. Semua orang tahu ini,” cetusnya.
Prancis pernah menjadi mediator di Ukraina, kata Lavrov, sambil menunjuk pada peran Paris dalam perjanjian damai Minsk tahun 2014-2015, yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB – dan pengakuan mantan Presiden Perancis Francois Hollande tahun lalu bahwa proses tersebut adalah hanya bermaksud mengulur waktu untuk mempersenjatai Ukraina melawan Rusia.
Awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengomentari inisiatif perdamaian yang dilakukan beberapa anggota BRICS, dalam sebuah wawancara dengan outlet Brasil, Brasil de Fato.
“Tidak seperti rezim Kiev, yang menghentikan dan kemudian melarang perundingan dengan Rusia, kami selalu terbuka terhadap solusi diplomatis terhadap krisis ini dan siap menanggapi usulan yang sebenarnya serius,” kata Zakharova.
Meskipun Moskow telah menyatakan persetujuannya terhadap sejumlah elemen proposal yang diajukan oleh China, Afrika Selatan, dan Brasil, Kiev bersikeras pada “formula perdamaian” mereka sendiri, yang telah ditolak mentah-mentah oleh Rusia.
Banyak negara Barat secara terbuka memihak Kiev dalam konfliknya dengan Moskow, menerapkan sanksi besar-besaran terhadap Rusia dan memasok senjata berat kepada Ukraina, termasuk tank dan artileri.
(ian)