Arah Pluralisme Turki Setelah Hagia Sophia Menjadi Masjid
loading...
A
A
A
"Nasionalisme agama membentuk identitasnya terhadap agama lain atau melawan nasionalisme sekuler," kata Ramazan.
Menurutnya, motivasi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah untuk membalikkan keputusan Mustafa Kemal Ataturk pada 1934.
Dia melanjutkan, Erdogan menggunakan masalah Hagia Sophia untuk meningkatkan popularitasnya pada saat ekonomi Turki melambat dan ketika ada partai-partai konservatif terpecah untuk menantangnya.
Dia mewaspadai dari kebangkitan rezim nasionalisme agama terhadap kesalehan anak muda. "Religiusitas menurun di kalangan pemuda Turki di bawah pemerintahan Islam," kata dia.
Pandangan itu juga diafirmasi oleh ilmuwan sosial Turki lainnya, Ahmet Kuru dalam tulisannya "Krisis Religiusitas dalam Islamisme Turki".
"Terdapat penurunan kesalehan di antara segmen tertentu dari masyarakat Turki. Singkatnya, keputusan untuk (kembali) mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah masjid akan merusak warisan koeksistensi Muslim yang toleran, menyulut Islamofobia," ujar Kuru.
Jalan Tengah
Ahmet Kuru memberi sikap bahwa akan lebih bijak bagi Turki bila mempromosikan dialog antar-agama dibandingkan memperkeruhnya.
Di tengah kondisi kepemimpinan populis, banyak negara yang melakukan penganiayaan terhadap minoritas. Antara lain, Palestina, Kashmir di India, Rohingya di Myanmar, Uigur di China. (Baca juga: Salat Jumat di Hagia Sophia Terbuka untuk Laki-laki dan Perempuan )
Para pembela keputusan Erdogan terhadap Hagia Sophia merujuk pada sejumlah besar masjid yang dikonversi menjadi gereja atau dihancurkan di Spanyol, Balkan, dan Crimea selama berabad-abad.
Menurutnya, motivasi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah untuk membalikkan keputusan Mustafa Kemal Ataturk pada 1934.
Dia melanjutkan, Erdogan menggunakan masalah Hagia Sophia untuk meningkatkan popularitasnya pada saat ekonomi Turki melambat dan ketika ada partai-partai konservatif terpecah untuk menantangnya.
Dia mewaspadai dari kebangkitan rezim nasionalisme agama terhadap kesalehan anak muda. "Religiusitas menurun di kalangan pemuda Turki di bawah pemerintahan Islam," kata dia.
Pandangan itu juga diafirmasi oleh ilmuwan sosial Turki lainnya, Ahmet Kuru dalam tulisannya "Krisis Religiusitas dalam Islamisme Turki".
"Terdapat penurunan kesalehan di antara segmen tertentu dari masyarakat Turki. Singkatnya, keputusan untuk (kembali) mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah masjid akan merusak warisan koeksistensi Muslim yang toleran, menyulut Islamofobia," ujar Kuru.
Jalan Tengah
Ahmet Kuru memberi sikap bahwa akan lebih bijak bagi Turki bila mempromosikan dialog antar-agama dibandingkan memperkeruhnya.
Di tengah kondisi kepemimpinan populis, banyak negara yang melakukan penganiayaan terhadap minoritas. Antara lain, Palestina, Kashmir di India, Rohingya di Myanmar, Uigur di China. (Baca juga: Salat Jumat di Hagia Sophia Terbuka untuk Laki-laki dan Perempuan )
Para pembela keputusan Erdogan terhadap Hagia Sophia merujuk pada sejumlah besar masjid yang dikonversi menjadi gereja atau dihancurkan di Spanyol, Balkan, dan Crimea selama berabad-abad.