Arah Pluralisme Turki Setelah Hagia Sophia Menjadi Masjid
loading...
A
A
A
ISTANBUL - Setelah Hagia Sophia menjadi masjid, banyak pihak yang mempertanyakan hubungan antar-agama di Turki. Tidak seperti di Indonesia yang memiliki Pancasila, Turki modern mengadopsi sekularisme ala Prancis yang keras terhadap ritual dan simbol agama di ruang publik.
Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid, dikiritik keras kubu oposisi; Partai Rakyat Republik (CHP). Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, misalnya, mengatakan perubahan itu hanya bermotif politik.
"Kebijakan itu tidak relevan dengan kondisi Turki saat ini," katanya di Forum Internasional Delhi beberapa waktu lalu.
Novelis Turki peraih nobel sastra; Orhan Pamuk, juga menyatakan kekecewaannya. Pamuk menganggap pembukaan Hagia Sophia menjadi tempat ibadah menandakan Turki tidak lagi sekuler.
"Mengubah Hagia Sophia menjadi masjid sama dengan mengatakan kepada seluruh dunia Turki sudah tidak lagi sekuler," katanya.
Jurnalis dan kritikus Mustafa Akyol berusaha mengambil jalan tengah. "Hagia Sophia adalah status pluralisme Turki. Namun sekularisme Kemalis juga berlebihan dengan melanggar kebebasan umat beragama," kata Akyol.
Dia beranggapan Muslim sekarang bisa mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat Yahudi dan Kristen. Namun, satu sisi yang perlu dihindari, menurutnya, dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai negara kelas dua. (Baca: Salat Jumat Perdana di Hagia Sophia Disambut Antusias )
"Itu adalah toleransi hegemonik yang kita hindari. Dengan modernisme liberal, muncul ide persamaan hak untuk semua. Kita mengutuk keras supremasi di Barat dan India terhadap minoritas Muslim. Tetapi bisakah kita mengindari 'supremasi Muslim' ketika kita adalah mayoritas?," tanya Akyol.
Bangkitnya Nasionalisme Agama dan Kemunduran Agama
Sikap yang lebih jelas diutarakan oleh ilmuwan sosial Turki, Ramazan Kilinc. Dia menyatakan keputusan Erdogan berkontribusi pada nasionalisme agama, tetapi memundurkan agama menjadi sebuah ideologi.
Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid, dikiritik keras kubu oposisi; Partai Rakyat Republik (CHP). Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, misalnya, mengatakan perubahan itu hanya bermotif politik.
"Kebijakan itu tidak relevan dengan kondisi Turki saat ini," katanya di Forum Internasional Delhi beberapa waktu lalu.
Novelis Turki peraih nobel sastra; Orhan Pamuk, juga menyatakan kekecewaannya. Pamuk menganggap pembukaan Hagia Sophia menjadi tempat ibadah menandakan Turki tidak lagi sekuler.
"Mengubah Hagia Sophia menjadi masjid sama dengan mengatakan kepada seluruh dunia Turki sudah tidak lagi sekuler," katanya.
Jurnalis dan kritikus Mustafa Akyol berusaha mengambil jalan tengah. "Hagia Sophia adalah status pluralisme Turki. Namun sekularisme Kemalis juga berlebihan dengan melanggar kebebasan umat beragama," kata Akyol.
Dia beranggapan Muslim sekarang bisa mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat Yahudi dan Kristen. Namun, satu sisi yang perlu dihindari, menurutnya, dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai negara kelas dua. (Baca: Salat Jumat Perdana di Hagia Sophia Disambut Antusias )
"Itu adalah toleransi hegemonik yang kita hindari. Dengan modernisme liberal, muncul ide persamaan hak untuk semua. Kita mengutuk keras supremasi di Barat dan India terhadap minoritas Muslim. Tetapi bisakah kita mengindari 'supremasi Muslim' ketika kita adalah mayoritas?," tanya Akyol.
Bangkitnya Nasionalisme Agama dan Kemunduran Agama
Sikap yang lebih jelas diutarakan oleh ilmuwan sosial Turki, Ramazan Kilinc. Dia menyatakan keputusan Erdogan berkontribusi pada nasionalisme agama, tetapi memundurkan agama menjadi sebuah ideologi.