Arah Pluralisme Turki Setelah Hagia Sophia Menjadi Masjid

Sabtu, 25 Juli 2020 - 10:24 WIB
loading...
Arah Pluralisme Turki...
Para warga Muslim Turki menjalankan ibadah salat Jumat di kompleks Hagia Sophia, Jumat (24/7/2020). Foto/REUTERS
A A A
ISTANBUL - Setelah Hagia Sophia menjadi masjid, banyak pihak yang mempertanyakan hubungan antar-agama di Turki. Tidak seperti di Indonesia yang memiliki Pancasila, Turki modern mengadopsi sekularisme ala Prancis yang keras terhadap ritual dan simbol agama di ruang publik.

Perubahan status Hagia Sophia kembali menjadi masjid, dikiritik keras kubu oposisi; Partai Rakyat Republik (CHP). Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu, misalnya, mengatakan perubahan itu hanya bermotif politik.

"Kebijakan itu tidak relevan dengan kondisi Turki saat ini," katanya di Forum Internasional Delhi beberapa waktu lalu.

Novelis Turki peraih nobel sastra; Orhan Pamuk, juga menyatakan kekecewaannya. Pamuk menganggap pembukaan Hagia Sophia menjadi tempat ibadah menandakan Turki tidak lagi sekuler.

"Mengubah Hagia Sophia menjadi masjid sama dengan mengatakan kepada seluruh dunia Turki sudah tidak lagi sekuler," katanya.

Jurnalis dan kritikus Mustafa Akyol berusaha mengambil jalan tengah. "Hagia Sophia adalah status pluralisme Turki. Namun sekularisme Kemalis juga berlebihan dengan melanggar kebebasan umat beragama," kata Akyol.

Dia beranggapan Muslim sekarang bisa mencontoh toleransi Muslim pra-modern yang maju terhadap umat Yahudi dan Kristen. Namun, satu sisi yang perlu dihindari, menurutnya, dari Muslim pra-modern adalah menganggap penganut agama lain sebagai negara kelas dua. (Baca: Salat Jumat Perdana di Hagia Sophia Disambut Antusias )

"Itu adalah toleransi hegemonik yang kita hindari. Dengan modernisme liberal, muncul ide persamaan hak untuk semua. Kita mengutuk keras supremasi di Barat dan India terhadap minoritas Muslim. Tetapi bisakah kita mengindari 'supremasi Muslim' ketika kita adalah mayoritas?," tanya Akyol.

Bangkitnya Nasionalisme Agama dan Kemunduran Agama

Sikap yang lebih jelas diutarakan oleh ilmuwan sosial Turki, Ramazan Kilinc. Dia menyatakan keputusan Erdogan berkontribusi pada nasionalisme agama, tetapi memundurkan agama menjadi sebuah ideologi.

"Nasionalisme agama membentuk identitasnya terhadap agama lain atau melawan nasionalisme sekuler," kata Ramazan.

Menurutnya, motivasi mengubah Hagia Sophia menjadi masjid adalah untuk membalikkan keputusan Mustafa Kemal Ataturk pada 1934.

Dia melanjutkan, Erdogan menggunakan masalah Hagia Sophia untuk meningkatkan popularitasnya pada saat ekonomi Turki melambat dan ketika ada partai-partai konservatif terpecah untuk menantangnya.

Dia mewaspadai dari kebangkitan rezim nasionalisme agama terhadap kesalehan anak muda. "Religiusitas menurun di kalangan pemuda Turki di bawah pemerintahan Islam," kata dia.

Pandangan itu juga diafirmasi oleh ilmuwan sosial Turki lainnya, Ahmet Kuru dalam tulisannya "Krisis Religiusitas dalam Islamisme Turki".

"Terdapat penurunan kesalehan di antara segmen tertentu dari masyarakat Turki. Singkatnya, keputusan untuk (kembali) mengubah Hagia Sophia menjadi sebuah masjid akan merusak warisan koeksistensi Muslim yang toleran, menyulut Islamofobia," ujar Kuru.

Jalan Tengah

Ahmet Kuru memberi sikap bahwa akan lebih bijak bagi Turki bila mempromosikan dialog antar-agama dibandingkan memperkeruhnya.

Di tengah kondisi kepemimpinan populis, banyak negara yang melakukan penganiayaan terhadap minoritas. Antara lain, Palestina, Kashmir di India, Rohingya di Myanmar, Uigur di China. (Baca juga: Salat Jumat di Hagia Sophia Terbuka untuk Laki-laki dan Perempuan )

Para pembela keputusan Erdogan terhadap Hagia Sophia merujuk pada sejumlah besar masjid yang dikonversi menjadi gereja atau dihancurkan di Spanyol, Balkan, dan Crimea selama berabad-abad.

Menurut Kuru, kesalahan sejarah ini pasti terjadi, tetapi alih-alih berfokus pada mereka, lebih bermanfaat untuk berkonsentrasi menghindari tragedi di masa depan. "Jika, tidak konversi timbal balik masjid ke gereja dan gereja ke masjid dapat dilanjutkan," ujar Kuru.

Dia menyayangkan diskusi d masyarakat akhirnya terjebak pada Erdogan versus Ataturk. Padahal meski berbeda di pendukungnya, menurut Kuru, keduanya memiliki gaya kepemimpinan yang sama.

Sebagai jalan tengah, Kuru mempromosikan Turki agar mengalihkan gaya sekularis-kemalis yang keras terhadap simbol dan identitas agama kepada sekulerisme yang pasif dan terbuka.

"Kita harapkan ada reaksi yang tidak ekstrem dari perubahan Hagia Sophia ini, sehingga akan muncul dialog yang mutual antar-agama di ruang publik dengan sistem sekularisme yang terbuka dan tidak keras," ujar Kuru."

"Dengan itu, Turki dapat memberikan kontribusi positif untuk mengurangi ketegangan agama di seluruh dunia," imbuh dia.
(min)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1194 seconds (0.1#10.140)