3 Konsekuensi Buruk bagi Rakyat Turki karena Erdogan Berkuasa 5 Tahun Lagi
loading...
A
A
A
ISTANBUL - Pemilu Turki tidak memiliki kejutan berarti ketika Presiden Recep Tayyip Erdogan berhasil mengalahkan pesaingnya. Rakyat Turki pun akan menjalani hari-hari yang sama seperti sebelumnya dan tanpa banyak perubahan.
Itu semua karena mayoritas warga Turki lebih senang dengan stabilitas politik yang dihasilkan pemimpin otoriter seperti Erdogan. Kepemimpinan yang memberikan jaminan keamanan dan pertahanan yang kuat menjadi hal yang diinginkan oleh warga Turki.
Meskipun, warga Turki tetap akan menghadapi serangkaian konsekuensi negatif. Namun, hal itu tentunya bukan hal baru karena mereka sudah mengalaminya selama 20 tahun terakhir. Berikut adalah 3 konsekuensi negatif bagi rakyat Turki karena Erdogan akan berkuasa kembali selama lima tahun mendatang.
1. Rakyat akan Tetap Ditindas
Foto/Reuters
Konsekuensi dari pemimpin yang one man show adalah tren penindasan terhadap rakyat akan menjadi hal biasa. Itu sudah dilakukan Erdogan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Dan itu akan dilanjutkan lagi dalam 5 tahun kedepan.
"Bagi rakyat Turki, perpanjangan masa jabatan Erdogan akan berarti 'kelanjutan hari ini',” kata Galip Dalay, seorang peneliti di think tank Chatham House, berbasis di London.
Di bawah pemerintahan Erdogan di mana dia pertama kali berkuasa sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003, negara tersebut telah mundur ke arah otoritarianisme. Erdogan telah mengkonsolidasikan kekuasaan melalui perubahan konstitusional, mengikis institusi demokrasi negara, termasuk peradilan dan media. Bahkan, Erdogan memenjarakan lawan politikus dan kritikus.
Institut V-Dem Swedia menyebut berbagai kebijakan Erdogan membuat Turki ditunjuk sebagai salah satu dari 10 negara otokratis tertinggi di dunia. Pada 2018, Freedom House menurunkan status negara dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” bagi Turki selama pemerintahan Erdogan.
Dengan lima tahun lagi berkuasa, kecil kemungkinan Erdogan memilih untuk mengubah agenda domestiknya. Jika ada, dia kemungkinan akan melangkah lebih jauh. “Ketika para pemimpin otoriter menghadapi konteks domestik yang tidak stabil, mereka melipatgandakan represi,” kata Gonul Tol, penulis Erdogan War: A Strongman’s Struggle at Home and in Syria, dilansir TIME.
2. Krisis Ekonomi Terus Berlanjut
Foto/Reuters
Erdogan telah menjanjikan kebangkitan Turki pada 2023, yang merupakan peringatan 100 tahun berdirinya republik. Idealnya, Turki seharusnya masuk 10 ekonomi teratas di dunia saat itu. Namun, Turki hanya berada di 20 besar, di urutan ke-19.
"Ekonomi telah mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Nilai lira Turki anjlok, mengarah ke ekonomi berbasis dolar," kata Mehmet Ozalp, pakar kajian Islam di Universitas Charles Sturt, dilansir The Conversation.
Bank Sentral Turki menjaga ekonomi tetap bertahan dengan mengosongkan cadangannya dalam beberapa bulan terakhir. Bank Sentral telah mengalami defisit neraca berjalan sebesar USD8-10 miliar dolar setiap bulan. Cadangan devisa pun jatuh ke angka negatif untuk pertama kalinya sejak 2002.
Apa konsekuensi buruknya?
"Erdogan harus mencari utang," ujar Ozalp. Erdogan akan menggunakan pinjaman luar negeri berbunga tinggi dan memulai diplomasi negara-negara Muslim yang kaya minyak untuk menarik sebagian dana mereka ke Turki. "Ketidakpastian tentang seberapa sukses kebijakan utang dan kemungkinan keuntungan jangka pendeknya dapat membuat ekonomi Turki jatuh ke dalam resesi," paparnya.
Bagi rakyat Turki, seperti diungkap Ozalph, bahwa itu bisa berarti pengangguran besar-besaran dan pengurangan biaya hidup. Tingkat inflasi telah mencapai tertinggi 24 tahun sebesar 85,5% pada 2022. "Pada 2023, inflasi bisa saja lebih tinggi, karena pemerintah yang kekurangan uang terus mencetak uang digital untuk membayar tenaga kerja birokrasinya yang besar," tutur Ozalp.
3. Masyarakat yang Terbelah
Foto/Reuters
Mengapa sebagian besar pemilih tetap mendukungnya meskipun krisis ekonomi, dan respons lambat pemerintah terhadap bencana gempa bumi kembar di bulan Februari, yang menewaskan lebih dari 50.000 orang?
"Saya pikir Erdogan adalah politisi terhebat," kata Profesor Soli Ozel, pakar hubungan internasional di Universitas Kadir Has Istanbul. "Erdogan juga memiliki sentuhan umum. Anda tidak dapat menyangkalnya. Dia memancarkan kekuatan. Itu satu hal yang tidak dimiliki oleh pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu," ujarnya.
Itu semua karena mayoritas warga Turki lebih senang dengan stabilitas politik yang dihasilkan pemimpin otoriter seperti Erdogan. Kepemimpinan yang memberikan jaminan keamanan dan pertahanan yang kuat menjadi hal yang diinginkan oleh warga Turki.
Meskipun, warga Turki tetap akan menghadapi serangkaian konsekuensi negatif. Namun, hal itu tentunya bukan hal baru karena mereka sudah mengalaminya selama 20 tahun terakhir. Berikut adalah 3 konsekuensi negatif bagi rakyat Turki karena Erdogan akan berkuasa kembali selama lima tahun mendatang.
1. Rakyat akan Tetap Ditindas
Foto/Reuters
Konsekuensi dari pemimpin yang one man show adalah tren penindasan terhadap rakyat akan menjadi hal biasa. Itu sudah dilakukan Erdogan dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Dan itu akan dilanjutkan lagi dalam 5 tahun kedepan.
"Bagi rakyat Turki, perpanjangan masa jabatan Erdogan akan berarti 'kelanjutan hari ini',” kata Galip Dalay, seorang peneliti di think tank Chatham House, berbasis di London.
Di bawah pemerintahan Erdogan di mana dia pertama kali berkuasa sebagai Perdana Menteri Turki pada 2003, negara tersebut telah mundur ke arah otoritarianisme. Erdogan telah mengkonsolidasikan kekuasaan melalui perubahan konstitusional, mengikis institusi demokrasi negara, termasuk peradilan dan media. Bahkan, Erdogan memenjarakan lawan politikus dan kritikus.
Institut V-Dem Swedia menyebut berbagai kebijakan Erdogan membuat Turki ditunjuk sebagai salah satu dari 10 negara otokratis tertinggi di dunia. Pada 2018, Freedom House menurunkan status negara dari “sebagian bebas” menjadi “tidak bebas” bagi Turki selama pemerintahan Erdogan.
Dengan lima tahun lagi berkuasa, kecil kemungkinan Erdogan memilih untuk mengubah agenda domestiknya. Jika ada, dia kemungkinan akan melangkah lebih jauh. “Ketika para pemimpin otoriter menghadapi konteks domestik yang tidak stabil, mereka melipatgandakan represi,” kata Gonul Tol, penulis Erdogan War: A Strongman’s Struggle at Home and in Syria, dilansir TIME.
2. Krisis Ekonomi Terus Berlanjut
Foto/Reuters
Erdogan telah menjanjikan kebangkitan Turki pada 2023, yang merupakan peringatan 100 tahun berdirinya republik. Idealnya, Turki seharusnya masuk 10 ekonomi teratas di dunia saat itu. Namun, Turki hanya berada di 20 besar, di urutan ke-19.
"Ekonomi telah mengalami penurunan yang signifikan dalam tiga tahun terakhir. Nilai lira Turki anjlok, mengarah ke ekonomi berbasis dolar," kata Mehmet Ozalp, pakar kajian Islam di Universitas Charles Sturt, dilansir The Conversation.
Bank Sentral Turki menjaga ekonomi tetap bertahan dengan mengosongkan cadangannya dalam beberapa bulan terakhir. Bank Sentral telah mengalami defisit neraca berjalan sebesar USD8-10 miliar dolar setiap bulan. Cadangan devisa pun jatuh ke angka negatif untuk pertama kalinya sejak 2002.
Apa konsekuensi buruknya?
"Erdogan harus mencari utang," ujar Ozalp. Erdogan akan menggunakan pinjaman luar negeri berbunga tinggi dan memulai diplomasi negara-negara Muslim yang kaya minyak untuk menarik sebagian dana mereka ke Turki. "Ketidakpastian tentang seberapa sukses kebijakan utang dan kemungkinan keuntungan jangka pendeknya dapat membuat ekonomi Turki jatuh ke dalam resesi," paparnya.
Bagi rakyat Turki, seperti diungkap Ozalph, bahwa itu bisa berarti pengangguran besar-besaran dan pengurangan biaya hidup. Tingkat inflasi telah mencapai tertinggi 24 tahun sebesar 85,5% pada 2022. "Pada 2023, inflasi bisa saja lebih tinggi, karena pemerintah yang kekurangan uang terus mencetak uang digital untuk membayar tenaga kerja birokrasinya yang besar," tutur Ozalp.
3. Masyarakat yang Terbelah
Foto/Reuters
Mengapa sebagian besar pemilih tetap mendukungnya meskipun krisis ekonomi, dan respons lambat pemerintah terhadap bencana gempa bumi kembar di bulan Februari, yang menewaskan lebih dari 50.000 orang?
"Saya pikir Erdogan adalah politisi terhebat," kata Profesor Soli Ozel, pakar hubungan internasional di Universitas Kadir Has Istanbul. "Erdogan juga memiliki sentuhan umum. Anda tidak dapat menyangkalnya. Dia memancarkan kekuatan. Itu satu hal yang tidak dimiliki oleh pemimpin oposisi Kemal Kilicdaroglu," ujarnya.
(ahm)