4 Strategi Penerapan Otoritarianisme Digital untuk Cegah Kerusuhan

Sabtu, 13 Mei 2023 - 22:57 WIB
loading...
4 Strategi Penerapan...
Warga Pakistan mengakses internet. Foto/Reuters
A A A
JAKARTA - Ketika terjadi suatu kerusuhan di suatu negara, maka pemerintah bergerak cepat dengan mematikan internet dan melakukan pemantauan online terhadap media sosial. Itu merupakan bentuk otoritarianisme digital yang mengancam kebebasan paling dasar, yakni bersuara atau berekspresi.

Seperti kebanyakan negara di Asia, Pakistan menerapkan pendekatan otoritarianisme digital untuk membendung aksi demonstrasi dan kerusuhan para pendukung mantan Perdana Menteri (PM) Imran Khan.

Kenapa pemerintah takut dengan gerakan demokrasi di ranah online? "Khusus di Pakistan, militer dan pemerintah khawatir Khan menggunakan internet dan media sosial untuk memobilisasi gerakan politik anti-militer," kata Asfandyar Mir, pakar politik Pakistan di United States Institute of Peace. "Kita semua tahu bahwa Khan itu sudah berinvestasi besar di dunia virtual," paparnya.

Berikut adalah 4 strategi suatu pemerintah untuk menerapkan otoritarianisme digital,



1. Memutus Akses Internet
4 Strategi Penerapan Otoritarianisme Digital untuk Cegah Kerusuhan

Foto/Reuters

Pemerintah Pakistan mematikan internet karena mengetahui kekuatan utama Khan adalah media sosial. Dia kerap menyebarkan propagandanya melalui konten di media sosial untuk meraih simpati dan dukungan.

Mematikan internet memang menjadi resep mujarab dalam teori dan praktek pemerintahan yang otoriter. Otoritas membendung arus informasi untuk memadamkan demonstrasi.

"Pemerintah memiliki palu, dan bisa dengan mudah memperlakukan internet sebagai ekornya," kata Kathik Nachiappan, pakar politik Asia Selatan berbasis di Singapura, dilansir BBC.

Selain itu, kepercayaan publik juga lebih mengarah kepada informasi yang bersifat virtual. “Orang tidak nyaman menonton televisi karena mereka hanya menyiarkan berita tentang apa yang dikatakan pemerintah,” ujar Uzair Younus, pakar politik Pakistan dari The Atlantic Council.

Hal sama juga terjadi di negara-negara Afrika. Kajian yang dilaksanakan African Digital Rights Network (ADRN) menemukan terdapat 10 negara yang menggunakan upaya memutus jaringan internet dalam dua dekade terakhir di Afrika. Itu menyebabkan rakyat tak bisa menyuarakan opininya.

“Penelitian kita menunjukkan ruang sipil virtual ditutup dengan cara represif,” kata Juliet Nanfuka, peneliti ADRN, dilansirReuters.

2. Spionase Media Sosial

4 Strategi Penerapan Otoritarianisme Digital untuk Cegah Kerusuhan

Foto/Reuters

Pemerintah kerap melakukan aksi spionase terhadap warganya sendiri. Mereka memantau konten di media sosial hingga di grup WhatsApp. Itu dilakukan untuk mengendalikan eskalasi. Seperti diungkapkan Nanfuka, pemantauan terhadap para aktivis yang vokal di media sosial sangat membahayakan.

Pemerintahan otoriter juga bisa menggunakan bantuan artificial intelligence untuk melakukan pemantauan terhadap akun atau pun konten tertentu dengan berbasis pada kata kunci.


3.Sensor Online

Pemerintah yang panik juga akan memberlakukan penyensoran online terhadap konten di internet. Itu bisa menghalangi kebebasan berekspresi dan mengakses informasi.

Pemerintah Pakistan, misalnya, menerapkan sensor internet yang ketat, ketika Khan digulingkan parlemen pada April 2023. Politikus kharismatik itu kembali turun ke jalan dan menggelar kampanye yang dihadiri ribuan orang. Itu juga disiarkan secara virtual.

Netblocks, lembaga yang memonitor internet berbasis di Inggris, mengatakan sedikitnya ada tiga kali sensor terhadap kampanye dan pawai yang dilaksanakan Khan.

"Itu merupakan bentuk sensor paling parah yang kita lacak di Pakistan dalam beberapa waktu ini," kata Alp Toker, peneliti Netblocks.

4. Mewajibkan Registrasi bagi Pencipta Konten

Pemerintahan otoriter kerap menerapkan kewajiban registrasi bagi pencipta konten baik di Youtube dan blog. Itu digunakan untuk memudahkan pemantauan terhadap orang yang bersuara di media sosial.

“Otoritarianisme digital memiliki dampak fundamental terhadap masyarakat demokratis,” kata Tony Roberts, peneliti Institute of Development Studies. “Untuk itulah, kenapa kita harus meningkatkan kesadaran dan membangun kapasitas untuk melindungi hal digital warga,” paparnya.
(ahm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1987 seconds (0.1#10.140)