Di Gaza, Tetap Terhubung Internet bisa Memakan Nyawa tapi juga Menyelamatkan
loading...
A
A
A
JALUR GAZA - Terpaksa meninggalkan rumahnya lagi saat perang berkecamuk di Jalur Gaza, Khalil Salim sangat ingin menyelamatkan keluarganya, tetapi bagaimana dia bisa yakin bahwa dia tidak akan membawa mereka ke tempat yang lebih berbahaya?
Dia membutuhkan informasi terkini, jadi dia mengakses internet dan memeriksa akun media sosial resmi tentara Israel dan sumber daring lainnya.
“Kami akan mengambil instruksi dari internet. Kami tidak dapat menilai pertempuran internal … jadi kami akan mengikuti berita dan saluran serta melihat Facebook dan melihat apa yang ditulis orang,” ujar Salim.
Namun, ketika dia tidak mendapatkan sinyal atau koneksi, dia dibiarkan dalam kegelapan, tanpa cara pasti untuk merencanakan rute yang aman.
“Yang menyedihkan adalah bahwa (pasukan pendudukan Israel) akan mencantumkan instruksi di Facebook mereka dan kami bahkan tidak akan memiliki internet. Akan sangat sulit bagi kami untuk mengetahui bahwa ada instruksi untuk melakukan ini dan bukan itu. Terkadang kami menghabiskan dua hari, terkadang seminggu, tanpa internet,” papar dia.
Di reruntuhan Gaza, sulit dan berbahaya untuk terhubung ke internet, tetapi aktivis teknologi dan teknisi Palestina memastikan daerah kantong itu tidak benar-benar gelap, mengamankan jalur hidup digital yang berharga bagi ribuan orang.
Mempertahankan koneksi ini harus dibayar dengan harga mahal dan risikonya bisa mematikan bagi pengguna yang putus asa yang memanjat ke dataran tinggi untuk mendapatkan sinyal atau teknisi yang bepergian ke daerah berbahaya untuk memperbaiki kabel atau menara telekomunikasi yang rusak.
“Pada Mei, serangan Israel menghantam sekelompok orang di luar toko Kota Gaza yang menyediakan sinyal internet bagi pelanggan, menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang,” ungkap petugas medis.
Salim tahu betul apa yang mendorong orang-orang itu ke toko itu.
“Internet adalah kehidupan. Tanpa internet, (hidup) tidak ada artinya, seperti penjara," ujar teknisi IT dan apoteker itu kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari Al-Mawasi, daerah di pinggiran barat Khan Yunis tempat dia berlindung bersama keluarganya setelah melarikan diri dari kota perbatasan Rafah.
Dia membutuhkan informasi terkini, jadi dia mengakses internet dan memeriksa akun media sosial resmi tentara Israel dan sumber daring lainnya.
“Kami akan mengambil instruksi dari internet. Kami tidak dapat menilai pertempuran internal … jadi kami akan mengikuti berita dan saluran serta melihat Facebook dan melihat apa yang ditulis orang,” ujar Salim.
Namun, ketika dia tidak mendapatkan sinyal atau koneksi, dia dibiarkan dalam kegelapan, tanpa cara pasti untuk merencanakan rute yang aman.
“Yang menyedihkan adalah bahwa (pasukan pendudukan Israel) akan mencantumkan instruksi di Facebook mereka dan kami bahkan tidak akan memiliki internet. Akan sangat sulit bagi kami untuk mengetahui bahwa ada instruksi untuk melakukan ini dan bukan itu. Terkadang kami menghabiskan dua hari, terkadang seminggu, tanpa internet,” papar dia.
Di reruntuhan Gaza, sulit dan berbahaya untuk terhubung ke internet, tetapi aktivis teknologi dan teknisi Palestina memastikan daerah kantong itu tidak benar-benar gelap, mengamankan jalur hidup digital yang berharga bagi ribuan orang.
Mempertahankan koneksi ini harus dibayar dengan harga mahal dan risikonya bisa mematikan bagi pengguna yang putus asa yang memanjat ke dataran tinggi untuk mendapatkan sinyal atau teknisi yang bepergian ke daerah berbahaya untuk memperbaiki kabel atau menara telekomunikasi yang rusak.
“Pada Mei, serangan Israel menghantam sekelompok orang di luar toko Kota Gaza yang menyediakan sinyal internet bagi pelanggan, menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 20 orang,” ungkap petugas medis.
Salim tahu betul apa yang mendorong orang-orang itu ke toko itu.
“Internet adalah kehidupan. Tanpa internet, (hidup) tidak ada artinya, seperti penjara," ujar teknisi IT dan apoteker itu kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon dari Al-Mawasi, daerah di pinggiran barat Khan Yunis tempat dia berlindung bersama keluarganya setelah melarikan diri dari kota perbatasan Rafah.