Mantan PM Inggris Johnson Ungkap Kesalahan Barat di Ukraina
loading...
A
A
A
LONDON - Barat seharusnya menekan Rusia pada awal krisis Ukraina sembilan tahun lalu daripada menunggu permusuhan skala besar pecah pada tahun 2022.
Klaim itu diungkap mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson pada Kamis (26/1/2023).
Berbicara kepada Saluran TV Rada Ukraina, Johnson mengklaim hukuman seperti itu “akan menjadi serius, tetapi kami tidak melakukan apa-apa,” merujuk pada peristiwa tahun 2014 di Donbass dan Krimea.
Pada saat itu, kudeta yang didukung Barat di Kiev memicu pemberontakan rakyat di Ukraina timur dan menyebabkan Crimea memisahkan diri dari Ukraina dan memilih bergabung dengan Rusia.
“Sanksi apa yang kami kenakan (pada 2014)? Mereka meluncurkan peniruan diplomatik yang disebut proses Normandia dan tidak mencapai apa-apa. Dan (Presiden Rusia Vladimir) Putin menyimpulkan bahwa Barat tidak akan menghentikannya. Itu adalah kesalahan,” papar dia, seraya menambahkan “pelajaran mendasar” ini dipelajari oleh semua pihak.
“Proses diplomatik ini tidak bergerak ke mana-mana. Orang-orang menyadari satu pelajaran besar: kami gagal pada 2014, kami gagal melakukan apa yang diperlukan,” ujar dia.
Proses perdamaian Normandia, yang melibatkan Rusia, Ukraina, Jerman, dan Prancis, merupakan upaya menyelesaikan permusuhan di Donbass.
Akibatnya, pada tahun 2014 dan 2015 para pihak berhasil menandatangani Perjanjian Minsk yang sekarang sudah tidak berlaku.
Kesepakatan itu memberikan status khusus kepada Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Bulan lalu, mantan Kanselir Jerman Angela Merkel mengakui kesepakatan ini hanyalah "upaya untuk memberikan waktu kepada Ukraina" agar pasukannya bisa menjadi lebih kuat.
Belakangan, pengungkapan itu dikonfirmasi mantan Presiden Prancis Francois Hollande, yang mencatat Perjanjian Minsk telah membantu Ukraina mencapai tujuan tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin menjawab bahwa dia "kecewa" dan terkejut dengan pengakuan tersebut, mengutipnya sebagai bukti meluncurkan operasi militer pada Februari 2022 adalah keputusan yang tepat.
Klaim itu diungkap mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson pada Kamis (26/1/2023).
Berbicara kepada Saluran TV Rada Ukraina, Johnson mengklaim hukuman seperti itu “akan menjadi serius, tetapi kami tidak melakukan apa-apa,” merujuk pada peristiwa tahun 2014 di Donbass dan Krimea.
Pada saat itu, kudeta yang didukung Barat di Kiev memicu pemberontakan rakyat di Ukraina timur dan menyebabkan Crimea memisahkan diri dari Ukraina dan memilih bergabung dengan Rusia.
“Sanksi apa yang kami kenakan (pada 2014)? Mereka meluncurkan peniruan diplomatik yang disebut proses Normandia dan tidak mencapai apa-apa. Dan (Presiden Rusia Vladimir) Putin menyimpulkan bahwa Barat tidak akan menghentikannya. Itu adalah kesalahan,” papar dia, seraya menambahkan “pelajaran mendasar” ini dipelajari oleh semua pihak.
“Proses diplomatik ini tidak bergerak ke mana-mana. Orang-orang menyadari satu pelajaran besar: kami gagal pada 2014, kami gagal melakukan apa yang diperlukan,” ujar dia.
Proses perdamaian Normandia, yang melibatkan Rusia, Ukraina, Jerman, dan Prancis, merupakan upaya menyelesaikan permusuhan di Donbass.
Akibatnya, pada tahun 2014 dan 2015 para pihak berhasil menandatangani Perjanjian Minsk yang sekarang sudah tidak berlaku.
Kesepakatan itu memberikan status khusus kepada Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk di dalam negara Ukraina.
Bulan lalu, mantan Kanselir Jerman Angela Merkel mengakui kesepakatan ini hanyalah "upaya untuk memberikan waktu kepada Ukraina" agar pasukannya bisa menjadi lebih kuat.
Belakangan, pengungkapan itu dikonfirmasi mantan Presiden Prancis Francois Hollande, yang mencatat Perjanjian Minsk telah membantu Ukraina mencapai tujuan tersebut.
Presiden Rusia Vladimir Putin menjawab bahwa dia "kecewa" dan terkejut dengan pengakuan tersebut, mengutipnya sebagai bukti meluncurkan operasi militer pada Februari 2022 adalah keputusan yang tepat.
(sya)